Senin, 29 Maret 2021

REFLEKSI 91 : PAHLAWAN NASIONAL (Asal Tondano) SAM RATULANGI


Dr.  Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, panggilan akrab Sam Ratulangi, lahir di Tandano, Sulawesi Utara, 5 November 1890. Wafat di Jakarta, 30 Juni 1949, usia 58 tahun. Putera Jozias Ratulangi dan  Agustina Gerungan. Jozias, ayah Sam Ratulangi, gi dan  Agustina Gerungan. Jozias, ayah Sam Ratulangi, gi dan  Agustina Gerungan. Jozias, ayah Sam Ratulangi, guru di Hoofden School, Sekolah Menengah untuk anak-anak Kepala Desa. Agustina, ibu Sam Ratulangi,  putri Jacob Gerungan, Kepala Distrik (Mayoor), di Tondano.

Sam Ratulangi adalah politikus, jurnalis, dan guru di Tondano. Sam Ratulangi disebut tokoh multidimensional. Si tou timou tumou tou: manusia baru disebut manusia jika dapat memanusia adalah dalil filsafatnya yang tersohor. Sam Ratulangi termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang menghasilkan UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA.

Sam Ratulangi adalah Gubernur Sulawesi pertama. Selalu menggerakkan dan memelopori  berdirinya ORGANISASI SOSIAL.

Tahun 1961, Sam Ratulangi diberi anugrah dengan gelar Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keppres No. 590 Tahun 1961.

Ratulangi mengawali pendidikannya di sekolah dasar  Belanda (Europeeshe Lagere School) dan melanjutkan di Hoofden School, di Mindanao.

Tahun 1904, Sam Ratulangi  berangkat ke Jawa ingin melanjutkan di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA)  di Batavia. Sesampainya di Batavia, Sam Ratulangi memutuskan belajar di Sekolah Menengah Teknik Koningin Wihelmina. Lulus tahun 1908 dan bekerja di kontruksi rel kereta pi

Tahun  1911, Ratulangi kembali ke Minahasa, karena ibunya sakit parah. Ibunya meninggal pada tanggal 19 November 1911. Ayahnya sudah meninggal waktu ia berada di Jawa. Setelah ibunya meninggal, Ratulangi berangkat ke Eropa.

Tahun1912  Ratulangi,, tiba di Amsterdam. Ratulangi  melanjutkan studinya yang dimulainya di Jawa, tetapi tidak selesai karena sakit ibunya. Tahun  1913, ia menerima sertifikat untuk mengajar matematika untuk tingkat sekolah menengah (Middelbare Acte Wiskunde en Paedagogiek).

Atas saran Mr. Abendanon, seorang Belanda yang bersimpati kepada orang-orang dari Indonesia (yang disebut Hindia pada waktu itu), Ratulangi mendaftarkan diri dan diterima  di Universitas Zurich, Swiss. Tahun  1919, ia memperoleh gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr. Phil.) untuk Ilmu Pasti dan Ilmu Alam dari universitas tersebut.

Selama berada di Amsterdam, Ratulangi sering bertemu Sosro Kartono (saudara R.A Kartini), tiga pendiri National Indiseche Partij: Ernest Daowes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryoningrat.

Selain itu,  Ratulangi, juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (Indische Vereeogging. Ratulagni  terpilih sebagai Ketua Umum, 1914. Dia terpilih sebagai ketua Perhimpunan Indonesia pada tahun 1914. Pada masa kepemimpinannya, Ratulangi mengundang  para pakar yang bersimpati pada perjuangan Indonesia: Conrad Theodore van Deventer, Jacques Henrij Abendanonpembicara-pembicara yang bersimpati pada perjuangan Indonesia.

Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1919, Ratulangi pindah ke Yogyakarta, mengajar matematik dan sains di sekolah teknik Prinses Juliana School.   Tiga  tahun mengajar,  Ratulangi pindah ke Bandung. Mendirikan  perusahaan asuransi Assurantie Maatschappij Indonesia dengan Roland Tumbelaka, seorang dokter yang juga berasal dari Minahasa.

Untuk pertama kalinya kata INDONESIA dalam dokumen resmi. Inilah momen pertemuan antara Ratulangi dengan Soekarno. Soekarno melihat nama  perusahaan Ratulangi dengan menggunakan kata a "Indonesia". Dia penasaran dengan pemilik usaha ini dan bertemu dengan Ratulangi.

Tahun  1923, Ratulangi dicalonkan oleh Partai Perserikatan Minahasa  menjadi Sekretaris Badan Perwakilan Daerah Minahasa, di Manado. Ratulangi menjabat dari 1924 s.d. 1927., Ratulangi memperjuangkan hak-hak yang lebih banyak untuk orang-orang Minahasa.

Tanggal  16 Agustus 1927, Ratulangi dan R. Tumbelaka memulai partai Persatuan Minahasa. Pada waktu itu, keanggotaan Perserikatan Minahasa termasuk orang-orang sipil dan militer. Beberapa anggota militer memberontak melawan Belanda dan karena tindakan mereka, mereka dilarang untuk berpartisipasi dalam organisasi politik.

Ratulangi dan Tumbelaka memutuskan untuk membentuk partai baru, Persatuan Minahasa, yang hanya memiliki anggota sipil  Keberadaan partai ini yang mewakili suatu wilayah di Sulawesi memberikan identitas lokal kepada anggota-anggotanya, tetapi juga mempunyai tujuan untuk mempromosikan persatuan secara nasional. Partai ini "menyerukan 'solidaritas semua kelompok penduduk Indonesia'

Ratulangi diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) pada tahun 1927 untuk mewakili rakyat Minahasa. Ia terus mengusik hak-hak rakyat dan mendukung nasionalisme Indonesia dengan menjadi anggota Fraksi Kebangsaan yang dimulai  oleh Mohammad Husni Thamrin.

Selain itu, Ratulangi juga menjadi sponsor Petisi Soetardjo, yang menyatakan keinginan untuk sebuah negara merdeka melalui reformasi bertahap dalam waktu sepuluh tahun. Karena keberaniannya itulah, Ratulangi dipenjara di Sukamiskin, Bandung. 

Tahun  1932, Ratulangi adalah salah satu pendiri Persatuan Cendekiwan Indonesia (Vereniging van Indonesische Academici).

Ia juga termasuk dalam kelompok pemimpin gereja dan yang menginginkan sebuah denominasi gereja yang bebas dan terpisah dari lembaga gereja resmi Hindia Belanda.  Pada bulan Maret 1933, Kerapatan Gereja Protestan Minahasa, didirikan. 

Setelah dibebaskan dari penjara pada tahun 1938, Ratulangi menjadi editor Nationale Commentaren, sebuah majalah berita berbahasa Belanda. Ia menggunakan majalah ini untuk menulis pendapat-pendapat yang menentang tindakan tidak adil pemerintah kolonial dan juga untuk membuat sesama orang Indonesia sadar akan keadaan pada saat itu.

Setelah Belanda menyerah kepada Jepang,  20 Maret 1942,  Jepang melarang segala jenis kegiatan politik di Indonesia. Karena semua organisasi politik dibubarkan. Tahun  1943, Ratulangi ditugaskan sebagai penasihat untuk pemerintah militer pendudukan.  Tahun  1944, ia dipindahkan ke Sulawesi menjadi penasihat pemerintah militer.  Bulan  Juni 1945, Ratulangi mendirikan sebuah organisasi bernama Sumber Darah Rakyat (SUDARA). Ia menggunakan organisasi ini untuk membangkitkan sentimen nasionalis di Sulawesi dalam mengantisipasi kemungkinan kemerdekaan dalam waktu dekat.

Awal  Agustus 1945, Ratulangi diangkat sebagai salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mewakili Sulawesi. Pada saat Soekarno memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, Ratulangi hadir dalam upacara tersebut karena Ratulangi baru saja tiba di Batavia bersama para anggota PPKI lainnya dari wilayah timur untuk mengikuti rapat PPKI. Rapat PPKI yang diadakan pada hari berikutnya menghasilkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan pengangkatan secara aklamasi Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Ratulangi diasingkan ke Serui bersama enam stafnya dan keluarga mereka: Josef Latumahina, Lanto Daeng Pasewang, Willem Sumampouw Tanod 'Wim' Pondaag, Suwarno, IP Lumban Tobing, dan Intje Saleh Daeng Tompo. Di Serui, mereka berinteraksi dengan masyarakat setempat dengan mendirikan sekolah lokal dan organisasi sosial untuk membantu para wanita dalam komunitas. Secara politik, Ratulangi terlibat dalam pembentukan Partai Kemerdekaan Irian Indonesia yang dipimpin oleh Silas Papare.

Pada 23 Maret 1948, setelah penandatanganan Perjanjian Renville, Belanda melepaskan Ratulangi dan rekan-rekannya.Lalu,  mereka menuju ke ibu kota republik di Yogyakarta.  Mereka disambut dengan hangat oleh masyarakat di Yogyakarta dan sebuah acara penyambutan diadakan oleh Soekarno.

Ratulangi ditunjuk sebagai penasihat khusus untuk pemerintah Indonesia dan anggota delegasi Indonesia dalam negosiasi dengan Belanda.

Pada waktu Agresi Militer Belanda ke-2, Yogyakarta dikuasai Belanda dan para pemimpin Indonesia termasuk Soekarno dan Hatta ditangkap dan diasingkan  ke Bangka. Ratulangi ditangkap oleh Belanda pada tanggal 25 Desember 1948. Dia dipindahkan ke Jakarta pada tanggal 12 Januari 1949 untuk kemudian dipindahkan ke Bangka.

Namun, karena masalah kesehatannya, ia diizinkan tinggal di Jakarta sebagai tahanan rumah.  Ratulangi meninggal pada tanggal 30 Juni 1949. Ratulangi dimakamkan  sementara di Tanah Abang. Baru tanggal 23 Juli 1949, jenazahnya diangkut ke Manado dimakamkan di kampung halamannya di Tondano.

 

 

Ratulangi menikah dua kali. Ia menikah dengan Emilie Suzanne Houtman dan memiliki dua anak, Corneille Jose Albert 'Odie' Ratulangi dan Emilia Augustina 'Zus' Ratulangi. Ratulangi dan Houtman bercerai pada tahun 1926. Ratulangi menikah dengan Maria Catharina Josephine 'Tjen' Tambajong pada tahun 1928. Mereka memiliki tiga anak, Milia Maria Matulanda 'Milly' Ratulangi, Everdina Augustina 'Lani' Ratulangi, dan Wularingan Manampira 'Uki' Ratulangi.

Kedua saudara perempuan Ratulangi, Wulan Kayes Rachel Wilhelmina dan Wulan Rachel Wilhelmina Maria, mencapai prestasi tinggi. Wulan Kayes adalah wanita Indonesia pertama yang lulus ujian klein-ambtenaars untuk pekerjaan pemerintah tingkat rendah pada tahun 1898. Nilai ujiannya lebih tinggi daripada laki-laki yang mengikuti ujian yang sama. Wulan Rachel adalah wanita Indonesia pertama yang menerima sertifikat dasar hulpacte untuk pendidikan dasar di Belanda pada tahun 1912.

Ratulangi sangat terkenal di Minahasa. Jalan-jalan besar atau utama di semua kota di Minahasa. Namanya juga dipakai  untuk Bandara Internasional di Manado, nama universitas negeri. Patung-patung tentang Ratulangi terdapat di persimpangan antara Jalan Sam Ratulangi dan Jalan Bethesda di Manado, di kampus Universitas Sam Ratulangi, di samping makam Ratulangi di Tondano, di Jakarta dan Serui, dan bahkan di sebuah taman kota di Davao, Filipina.

REFLEKSI:

Sam Ratulangi adalah politikus, jurnalis, dan guru di Tondano. Sam Ratulangi disebut tokoh multidimensional. Si tou timou tumou tou: manusia baru disebut manusia jika dapat memanusia adalah dalil filsafatnya yang tersohor. Sam Ratulangi termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang menghasilkan UNDANG-UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA.

Lalu, apa yang sudah saya berikan untuk NKRI?

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...