Selasa, 20 Juli 2010

KETUTUHAN ROHANI

Konsumerisme, kini, telah menyeret manusia dari dunia batin ke tingkat lahiriah. Secara material hidup berlimpah, bahkan setiap akhir pekan, banyak yang ber-week end ria ke manca negara. Namun, jiwa dan batin rohani semakin kering, dangkal. Nilai, harga, dan martabat manusia diukur dari yang tampak rompak.
Seorang gadis dianggap cantik bila rambut berganti warna-model setiap hari. Bibir dioles dengan barang impor. Model pakai dengan memamerkan pusar atau celana pendek ketat. Tentu, di tangan blackberry mutakhir dan sebatang rokok. Ibu-ibu menjadi bergensi bila setiap hari bisa shoping-fitness-arisan setiap hari. Atau, si jejaka, baru menjadi ‘jagoan’ bila masuk dalam ‘gang motor’ dengan berkonvoi setiap ada kesempatan.
Komunikasi dan pergaulan antarmanusia terhenti dalam basa-basi. Rumah berubah menjadi hotel: tempat makan-minum, tidur, dan mandi. Tegur sapa hanya sebatas, say hello. Perjumpaan antaranggota keluarga tidak sampai pada saling memahami-menerima-menghargai-mendukung-mencintai. Setelahnya, masing-masing tenggelam dengan urusan pribadi.
Bila menghadapi kesulitan-tantangan-terbeban marah-menyalahkan-menghancurkan. Dalam nuansa hidup seperti ini, kesabaran tidak menjadi pegangan. Manusia semakin kehilangan kesabaran. Tengok saja, buah-buahan dipercepat dengan karbitan. Orang ingin cepat kaya menempuh jalan pintas dengan menghalalkan segala cara. Kalah-kalut-jalan buntu diakhiri dengan bunuh diri.
Dangkal dan pendangkalan batin rohani membawa setiap manusia pada kesia-siaan dan kehampaan. Susah untuk menyadari bahwa setiap manusia memiliki sisi gelap atau shadow. Sisi gelap bukan sesuatu yang jahat. Tetapi, dengan dangkal dan pendangkalan batin rohani sisi gelap akan menjadi kekuatan destruktif yang dapat menghancurkan diri sendiri atau orang lain.
“Datanglah ke pada-Ku yang letih, lesu, dan berbeban. Kedamaian-kebahagiaan akan menudungi setiap saat” Hanya, keberanian datang kepada-Nya, kita mampu mengubah yang dangkal dan pendangkalan batin rohani. Mengapa? Imtimitas jiwa manusia dengan Tuhan sangatlah pribadi. Hasil putusan-pilihan. Hasil sebuah sikap. Hasil sebuah proses penyadaran. Hasil refleksi panjang bahwa hidup ini indah-mulia dan layak disyukuri.
Kebutuhan rohani tidak sama dengan perilaku saleh. Kebutuhan rohani merupakan proses pemenuhan kebutuhan jiwa, batin, dan napas kehidupan. Sehingga, Mencari harta rohani tidak seperti harta jasmani.. Harta rohani tidak bisa diukur, sebagaimana kita dapat mengukur seberapa banyak kekayaan kita. Yang bisa mengukur adalah diri sendiri. Ukurannya adalah merasakan ketenangan. Kedamaian. Kesejahteraan.
Doa hanyalah salah satu cara untuk memperbesar kepekaan aspek spiritual kita.
Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat yang ke 16 berkata tentang doa: "Berkali-kali saya serta merta terdorong untuk berlutut dan berdoa sebab saya amat yakin, saya tidak bisa ke mana-mana. Pengetahuan dan ilmu yang saya miliki sama sekali tidak cukup untuk memulai hari."
Doa seorang ibu adalah "senjata" ampuh untuk hidup anak-anaknya. Kita lihat Santa Monika yang berderai air mata dalam berdoa bagi puteranya yang tercinta, Santo Agustinus.
Madame Chiang Kai-shek berkisah tentang betapa berbahaya hidupnya di Cina. Ditanya bagaimana ia telah sampai mengatasinya jawabnya mantap: Hanya dengan berdoa. Dan saya berdoa paling kurang satu sampai dua jam.
Rabindranath Tagore menulis dalam Gitanyali seperti berikut: "Tuhanmu ada di jalan, di mana orang menumbuk batu dan menanam kebunnya. Bukan hanya di kuil yang penuh dengan asap dupa dan gumawan dan pengiring hitungan tasbih."
Kerja sehari-hari yang dilaksanakan dengan motivasi bagi Tuhan adalah doa dalam bentuk lain.
Kita berdoa agar kuaT saat menghadapi semua masalah. Kuat memanggul beban. Kuat menerjang rintangan. Cerdas dalam mengurai masalah. Kita berdoa, agar sadar atas kekurangan-kesombongan-kemalasan. Kita berdoa agar selalu hidup dalam bimbingan-Nya, tuntunan-Nya, dan panduan-Nya?
Kita, sering terlalu lemah untuk percaya bahwa kita kuat. Kita sering lupa, dan kita sering merasa cengeng dengan kehidupan ini. Tuhan memberikan kita ujian yang berat, bukan untuk membuat kita lemah, cengeng dan mudah menyerah
"Janganlah takut,Akulah yang menolong engkau". Penakut pada umumnya akan mengurung diri, menyendiri atau menutup diri serta berusaha menghindari perjumpaan dengan orang lain. Penakut berarti menjalani hidup seperti kura-kura: menarik kepalanya lalu bersembunyi di dalam batoknya yang keras.
Mencari dan menemukan kebutuhan rohani adalah hidup dengan "trial and error", berani mencoba dan bersalah. Bukalah hati, jiwa, akal budi dan tubuh anda terhadap aneka macam penolong atau pembantu di sekitar anda, belajarlah dari aneka kesuksesan atau kegagalan yang ada di sekitar anda. Untuk itu kita harus berpikiran positif, artinya senantiasa bersikap positif terhadap sapaan, sentuhan, tegoran, kritikan, pujian dst. dari orang lain atau siapapun; sadari dan hayati bahwa semuanya itu adalah perwujudan kasih mereka kepada kita yang lemah dan rapuh. Jangan hanya bersikap posisif terhadap apa yang mengenakkan atau sesuai dengan selera pribadi. Justru, yang menyakitkan atau tidak sesuai dengan selera pribadi itulah yang ”melimpahkan berkah’.
Jika orang hidup dan bertindak demi selera pribadi pasti ”jiwa, hati, dan kehidupan rohaninya tidak sehat” Sadari dan hayati bahwa orang mengritik dan menegur kita dengan keras merupakan perwujudan kasihnya kepada kita; jika mereka tidak mengasihi kita pasti mereka tidak menegur atau mengritik kita dengan keras, melainkan mendiamkan kita.
Pertolongan Tuhan kepada kita menjadi nyata dalam dan melalui aneka perlakuan yang terarah pada kita, entah yang enak maupun tidak enak, yang sesuai atau tidak sesuai dengan dengan selera pribadi kita. (doc.js kamdhi.13.12.2008)

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...