Selasa, 16 Maret 2021

REFLEKSI : 67 RAGU

“Kaisarea Filipi” bisa berupa rumah atau keluarga kita, gereja, kapel Adorasi, atau tempat ziarah.  Di tempat-tempat itulah, kita beristirahat sejenak dari kesibukan dan kepenatan perjalanan kita, menimba kesegaran yang dianugerahkan Tuhan dan mengungkapkan pengakuan iman kita kepada-Nya, lalu melanjutkan perjalanan kita bersama Tuhan, TANPA RAGU...

Hidup dan kehidupan kita ada dalam alur berpasangan. Ada utara, ada selatan. Ada baik, ada buruk. Ada benar, ada salah. Ada jujur, ada bohong. Ada tinggi, ada rendah. Ada ringan, ada berat. Ada pengampun, ada pendendam. Ada pahlawan, ada pecundang. Ada pasti, ada ragu. Demikin seterusnya, bagi roda pedati yang terus berputar.

Kita pernah gagal. Kita pernah kecewa. Pernah menyesal. Pernah sedih. Pernah sial. Pernah ditipu. Pernah dibohongi. Atau,  pernah  merasa menjadi orang yang paling ragu.

Refleksi kita, tentu saja apakah penggambaran tersebut dalam alur hidup dan kehidupan kita? Lalu, bagaimana kita “berdamai” dengan perasaan-perasaan tersebut? Kesempatan ini kita akan merefleksi realitas “RAGU”: apa, mengapa, bagaimana kita “bersahabat” dengan ragu atau “keraguan” (mudah-mudah refleksi berikutnya kita dapat mengangkat lainnya.)

Perasaan ragu,  terhadap diri sendiri, muncul dalam  berbagai kesempatan. Saat harus memilih. Saat harus menyimpulkan. Saat harus bersikap. Saat  harus berpendapat. Dalam setuasi dilematis  perasan ragu seolah mencengkeram perasaan, nurani, jiwa, dan pikiran kita.

Perasaan ragu terhadap diri sendiri adalah bagian dari emosi dan perasaan setiap manusia. Setiap orang punya rasa takut, sesekali kita pun akan merasa ragu-ragu terhadap diri kita sendiri. Dalam realitas sejarah penyelamatan, orang-orang besar satu persatu pernah ragu.

Siapa yang berani berkata bahwa Abraham tidak pernah ragu? Siapa yang berani berkata bahwa Abraham tidak pernah ragu? Siapa yang berani berkata bahwa Yakub tidak pernah ragu? Siapa yang berani berkata bahwa Yusup tidak pernah ragu? Siapa yang berani berkata bahwa Musa tidak pernah ragu? Siapa yang berani berkata bahwa Daud  tidak pernah gu? Siapa yang berani berkata bahwa Paulus  tidak pernah ragu? Pernah ragu-ragu karena mereka sekadar manusia.

Bahkan, para rasul, yang mengikuti Yesus dalam karya penebusan dan penyelamat pun, masih ada yang ragu:

“Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.”

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” 

Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Akupun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga.” (Matius 16:13-19)

Kaisarea Filipi merupakan  tempat yang tenang. Ada  sumber mata air  yang mengalirkan air  hingga suasana segar, damai, dan  nyaman untuk beristirahat sejenak setelah menempuhkan perjalanan yang melelahkan. Maka, di tengah kesibukan dan aktivitas sangatlah  penting : untuk menemukan, menciptakan, dan mendatangi “Kaisarea Filipi”.

“Kaisarea Filipi” bisa berupa rumah atau keluarga kita, gereja, kapel Adorasi, atau tempat ziarah.  Di tempat-tempat itulah, kita beristirahat sejenak dari kesibukan dan kepenatan perjalanan kita, menimba kesegaran yang dianugerahkan Tuhan dan mengungkapkan pengakuan iman kita kepada-Nya, lalu melanjutkan perjalanan kita bersama Tuhan.

Dalam suasana  yang tenang dan nyaman itulah, Yesus ingin mengetahui sejauh mana para murid, (1)  peka untuk mendengar dan menangkap apa yang diyakini oleh orang banyak berkaitan dengan diri-Nya, (2) Yesus juga ingin mengetahui pengenalan murid, TERMASUK KITA, akan jati diri-Nya, berdasarkan pengalaman dan keyakinan para murik, termasuk kita. “Tetapi, apa katamu, siapakah Aku ini?”

Tentu, “Tetapi, apa katamu, siapakah Aku ini?”  menegaskan bahwa pengakuan iman akan Yesus itu dibentuk, dihayati, diperteguh  dalam perjalanan hidup kita, sepanjang perjalanan hidup kita.

Tepatlah nasihat Santo Yakobus, “Hendaklah ia memintanya dalam iman. Janganlah  bimbang sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian ke mari oleh angin. Orang yang demikian janganlah mengira, bahwa ia akan menerima sesuatu dari Tuhan. Sebab orang yang mendua hati tidak akan tenang dalam hidupnya” (Yakobus 1:6-8)

Sahabat, iman yang kokoh, arah hidup yang pasti, dasar hidup yang kuat menjadikan kita menemukan diri sendiri. Kita menjadi diri kita sendiri, sebagaimana Sabda Tuhan Yesus pada Petrus, “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga.”

Marilah kita BERSAHABAT DENGAN RAGU...karena kita adalah BATU KARANG...

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...