Kamis, 12 Februari 2009

JS KAMDHI: TETESAN EMBUN FEBRUARI

Februari 2009 Berserah dalam Pelayanan

MENTRADISI NO. 02/Th. I/2/2009

SAPAAN

Mengapa Tetesan Embun?

Ada beraneka kegunaan gelas. Di antaranya, untuk minum dan status sosial. Harga pun beragam; ribuan dan jutaan. Status pengguna pun beragam. Dari mereka yang di gubuk kartun hingga istana negara. Isi gelas, lebih beragam; air putih, kopi, teh, susu, anggur, sirup, hingga yang beralkohol.

Secara analog, agama dan keberagamaan seperti gelas dan isi gelas. Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan kebaktian pada Tuhan dengan segala aspeknya: yuridis, resmi, peraturan, hukum, ritual, serta seluruh organisasi tafsir alkitabiah.Termasuk di dalamnya institusinya!

Sedang, keberagamaan atau religiositas lebih melihat dalam lubuk hati, riak getaran hati-nurani pribadi, sikap sembah, sikap tobat, yang sedikit banyak misteri bagi orang lain karena merupakan intimitas jiwa, cita-rasa yang mencakup totalitas jiwa.

Religiositas, sebagai isi gelas, harus diperjuangkan setiap saat meski harus dengan jatuh-bangun, gagal-sukses, bersemangat-loyo. Religiositas menunjuk pada ”kuatnya relasi dengan Tuhan sebagai awal-akhir kehidupan”

Pertanyaan kita, mengapa banyak orang ”bergelas kosong atau sedikit berisi”? Mengapa, di negeri berketuhanan ini, orang hanya sibuk dengan bentuk, harga, dan kegunaan gelas?Mengapa orang tidak berusaha dan berjuang dengan sepenuh hati dan jiwa bagaimana mengisi gelas hidupnya?

REFLEKSI:

DO THE BEST, GIVE THE BEST

Segala sesuatu yang kaulakukan kepada saudara-Ku yang paling hina, itu kaulakukan kepada-Ku(Matius 25:40)

Sebuah dongeng India mengisahkan seorang petani yang membawa satu karung gandum di pundaknya. “Berilah saya sejumlah gandum,” kata Tuhan. Petani itu pun memberikannya ikatan terkecil.

Tuhan terima gandum itu. Diubahnya, menjadi emas. Dan, diberikannya lepada petani. “Kenapa aku hanya berikan untaian yang terkecil. Kenapa tak kuberikan separuh dari gandumku,” sesal petani.

Orang yang sulit memberi, sedikit menerima. Benarkah? Bukankah benda yang dilempar ke atas, pasti jatuh? Jujur harus kita akui bahwa kita, sebenarnya, menerima lebih dulu baru memberi. Menerima dari orangtua, sanak-famili, handai-taulan, dari Tuhan. Karena kita telah menerima (sudut datang), selayaknyalah kita memberi (sudut pantul). Dengan memberi, kita menrima.

Zaman ini, memberi semakin sulit dilakukan. Memberi menjadi beban, sesuatu yang berat. Memberi dipahami sebagai kehilangan. Kini, semuanya diukur dengan uang. Il n’y a pas d’argent, il n’y a pas d’aisance. Tidak ada uang, tidak ada persahabatan.

Eric Fromm, pakar psikoanalisis dari Amerika pernah berkata, ”Kesalahpahaman yang sudah umum adalah memberi diartikan sebagai menyerahkan sesuatu, kehilangan sesuatu, mengorbankan sesuatu. Orang menjadi berkekurangan karena memberi itu kehilangan. Orang yang berkecukupan memberi merupakan tanda kekuatan, kehebatan, kebanggaan. Mereka lupa memberi lebih membahagiakan daripada menerima, bukan kekurangan tetapi wujud kuatnya religiositas.”

Do the best, give the best” harus menjadi pegangan dan pedoman hidup. Menjadi arah dan perjuangan hidup. Mengapa? Memberi dan melakukan yang terbaik berarti memberi dan melakukan untuk Tuhan: terlibat dan melibatkan diri dalam penebusan, penyelamatan, dan menjadi alter Christi.’

Berapa banyak orang yang sakit jiwa. Banyak orang lebih suka menjadi ‘be athers’: hidup dalam dunia mimpi, dalam dunia khayal. Menjadikan dirinya Tuhan: hantam sana-sini, pukul sana-sini. Demi alasan semu! Sebab, orang yang tahu sedikit akan berbuat di luar batas kewajaran, orang menjadikan dirinya Tuhan: dengan memberi stigma orang lain kafir, sesat, bejat.

Tuhan menciptakan semua orang dengan kelebihan dan kekurangan. Dengan kelebihannya manusia harus berbagi sehingga kekurangan dimiliki menjadi hilang. Sebaliknya, kelebihan yang Tuhan anugerahkan berlipat ganda sehingga menghapus segala kekurangan.

Kelebihan-kekurangan yang kita miliki saling melengkapi. Kelemahan menyadarkan kita untuk rendah hati, refleksi, mawas diri, selalu berbenah, dan membangun relasi. Sedangkan kelebihan, menjadikan orang berendah hati manakala menyadari kekurangannya.

Tuhan tidak pernah mempersoalkan etnismu apa, kamu kaya atau miskin, kamu berpendidikan atau buta huruf. Tuhan selalu mendorong kita! untuk DO THE BEST. GIVE THE BEST

INSPIRASI

Pohon Pisang

Pernah memperhatikan pohon pisang? Barangkali lepas dari perhatian kita. Meski, kita sering mengonsumsi, namun toh kita jarang memperhatikan. Padalah, pohon pisang luar biasa. Betapa tidak? Di satu pihak, seluruh bagian pohon pisang memiiki nilai tinggi: batang, daun, pelepah, buah. Di pihak lain, daya hidup yang luar biasa. Sore hari kita tebas, pagi hari sudah bertunas. Pagi kita tebas, menjelang petang bertunas. Seribu kali kita tebas, seribu kali pula bertunas.

Pohon pisang tak akan menyerah. Ada daya yang luar biasa. Ada kekuatan, daya hidup, daya tumbuh. Tak padam semangat. Tak pupus harapan.

Pohon pisang tak surut langkah. Baru menyerah setelah mengahssilkan buah.

Dengan baptisan, selayaknya kita pun seperti pohon pisang. Tak kan pernah berhenti dalam menebar kasih. Bukankah dengan baptisan, immanuel ada dalam hati kita?

Pohon Jati

Apa yang kita kenal dengan pohon jati? Spontan kita akan menjawab: daunnya. Bukankah daun jatimenjadi trade mark ”wong cerb0n?: nasi jamblang.

Bila kita cermati, pohon jati adalah pohon yang cerdas. Sangat cerdas. Betapa tidak? Menjelang musim kemarau, pohon jati akan ”merontokkan daunnya”. Sehingga, ketika kemarau panjang menjelang, hutan jati hanya dipadati pohon tanpa daun.

Demikian halnya, menjelang musim penghujan, tunas muda bersemi menghadirkan pemandangan mempesona, indah tak terperi.

Pohon jati, pohon cerdas. Seolah ada daya luar biasa untuk masuk dalam situasi. Berkemampuan menyesuaikan diri tanpa kehilangan ”jati diri”: Apakah kita juga cerdas layaknya pohon jati? Atau tergerus arus peradaban, tak berdaya laruk dalam pencarian sia-sia?

Ilalang

Bagi petani, ilalang menjadi kawan dan lawan. Kawan, karena daripadanya dapat dibuat menjadi atap rumah yang perkasa. Peneduh waktu panas atau hujan. Lawan, karena menjadi pengganggu daya tumbuh tanaman.

Bagi orang kreatif ilalang memiliki “harga tinggi”: lukisan, anyaman, atau kerajinan lainnya.

Dalam dunia persilatan, ilalang menghadirkan jurus-jurus perkasa-kokoh-mematikan. Tak heran, tumbuhan ilalang menjadi simbol : tak berdaya tetapi perkasa. Betapa tidak?

Ilalang akan menantang-menerjang apa pun yang dihadapi. Topan yang berhembus kuat dari selatang dihadang dan diterjang. Meski, harus jatuh terkulai, namun akan tegak berdiri lagi. Badai menerjang dari timur, dihadapi dengan percaya diri, terkulai, tetapi tetap bangun dan tegak berdiri. Demikian juga bila angin datang dari barat atau utara, ilalang akan menghadangnya!

Pohon Kelapa

Seharusnya, hidup rakyat negeri ini makmur-sejahtera. Lihat saja, dari pohon kelapa. Seluruh bagiannya, mampu memakmurkan rakyatnya. Meski kenyataannya, sengsara.

Sabut kelapa mimiliki nilai ekonomis tinggi, batok kelapa, kopra, lidi, daun kelapa, dan batangnya. Luar biasa! Tak ada yang terbuang.

Buah kelapa tidak sama besar, meski satu tangkai. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang berkualitas, ada yang “kurang bermanfaat”.

Dalam hidup nyata, sering kita lupa: menuntut anak-anak kita dengan usuran yang sama. Bahkan, kita memanding-bandingkan: kakakmu lebih rajin, lebih pintar, menurut, Sedang kau, apa yang dapat dibanggakan.

PESONA

Soe Hok Gie namanya. Harum mewangi. Terpatri dalam hati setiap anak muda yang “cinta”: kebenaran, kejujuran, keberanian, ketulusan, pengorbanan, dan keberpihakan pada yang hina-papa.

Lahir 17 Desember 1942. Meninggal 16 Desember 1969. Hidup yang begitu singkat, Nahum menorehkan sejarah keberanian melibas kemunafikan, kesewenangan.

Tak heran bila Mira Lesmana dan Riri Reza mengabadikan perjalanan hidup Soe Hok Gie menjadi sebuah tontonan memikat-mengharukan dalam film GIE. Film Gie diangkat dari buku Soe Hok Gie berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494.

Setelah lulus SMA Kanisius . kuliah di UI, menjadi dosen, mendirikan MAPALA UI.

Semasa mahasiswa, gerakan dan sepakterjan Gie diyakini berpengaruh tumbangnya Orde Lama. Meski, harus kecewa, teman-teman seperjuangan “bermuda ganda” (persis aktivis reformasi): menumbangkan rezim, mengulangi sepak terjang rezim yang ditumbangkan.

Menarik sekali mencermati komentar DR John Maxwell, yang yang sangat terpesona pada sosok Gie dalam bukunya Soe Hok Gie Pergulatan Intelectual Muda Melawan Tirani, berikut ini:

Gie hanya seorang mahasiswa dengan latar belakang yang tidak terlalu hebat. Tapi dia punya kemauan melibatkan diri dalam pergerakan. Dia selalu ingin tahu apa yang terjadi dengan bangsanya. Walaupun meninggal dalam usia muda, dia meninggalkan banyak tulisan. Di antaranya berupa catatan harian dan artikel yang dipublikasikan di koran-koran nasional” ujarnya. “Saya diwawancarai Mira Lesmana (produser Gie) dan Riri Reza (sutradara). Dia datang setelah membaca buku saya. Saya berharap film itu akan sukses. Sebab, jika itu terjadi, orang akan lebih mengenal Soe Hok Gie”

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...