Selasa, 16 Maret 2021

REFLEKSI : 66 BUNDA TERESA

REFLEKSI : 66

BUNDA TERESA

Ketika Yesus mendarat, Ia melihat sejumlah besar orang banyak, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka, Karena mereka seperti domba yang tidak mempunyai gembala. Lalu mulailah Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka. (Markus 6:34)

 

Merefleksikan “belas kasih” teringatlah saya pada Bunda Teresa atau Santa Teresa dari Kalkuta. Seorang biarawati Katolik yang membaktikan seluruh hidupnya di India.

 

Nama aslinya Agnes Gonxha Bojaxhiu (Gonxha berarti "kuncup mawar" atau "bunga kecil" di Albania lahir di Albania, 26 Austus 1910, Ibukota Republik Makedonia.  lahir dari pasangan NikollĂ« dan Drana Bojaxhiu. Ayahnya, meninggal pada tahun 1919 ketika ia berusia delapan tahun. Setelah kematian ayahnya, ibunya membesarkannya sebagai seorang Katolik Roma.

Sejak belia Agnes terpesona cerita-cerita kehidupan misionaris dan pelayanan mereka di Benggala. Pada usia 12 tahun, ia merasa yakin dan berkomitmen dan merasa terpanggil melayani orang miskin.  Ia meninggalkan rumah pada usia 18 tahun untuk bergabung dengan Suster-suster Loreto sebagai  misionaris.

Pada  awalnya, Agnes  pergi ke Biara Loreto, Irlandia, untuk belajar bahasa Inggris, karena bahasa Inggris adalah bahasa yang digunakan Suster-suster Loreto untuk mengajar anak-anak sekolah di India.

Agnes tiba di India pada tahun 1929.  Memulai  novisiat (masa persiapan) di Darjeeling, dekat Pegunungan Himalaya. Agnes pun tekun mempelajar bahasa Bengali. Di samping itu, Agnes juga mengajar di  di Sekolah St. Teresa, sebuah sekolah yang dekat dengan biaranya.

Tanggal 24 Mei 1931, Agnes  mengambil sumpah sebagai seorang biarawati. Saat itu, Agnes  memilih nama  Theresia de Lisieuxm, santo pelindung para misionaris. Dikarenakan nama itu  sudah dipakai nama namun salah satu biarawati di biara sudah memilih nama itu, Agnes memilih pengejaan Spanyol: Teresa.

Suster Teresa mengucap kaul pertama pada tanggal 14 Mei 1937, saat sedang pelayanan sebagai guru di sekolah biara Loreto di Entally, sebelah timur Kalkuta. Teresa bertugas disana selama hampir dua puluh tahun dan pada tahun 1944 diangkat sebagai kepala sekolah.

Meskipun Teresa menikmati mengajar di sekolah, ia terganggu oleh kemiskinan masyarakat sekitarnya. Kelaparan di Benggala 1943 menyebabkan penderitaan dan kematian.

Pada tanggal 10 September 1946, Teresa mengalami "panggilan" saat bepergian dengan kereta api ke biara Loreto  di Darjeeling untuk mengikuti retret tahunan.  Pada saat itu juga, Ia mendengar kata "saya haus". Maka Suster Teresa pun berucap "Saya meninggalkan biara dan membantu orang miskin sewaktu tinggal bersama mereka. Ini adalah sebuah perintah. Kegagalan akan mematahkan iman."

Dia memulai pekerjaan misionarisnya bersama orang miskin pada 8 Desember 1948, meninggalkan jubah tradisional Loreto dengan sari katun sederhana berwarna putih dihiasi dengan pinggiran biru. Bunda Teresa menghabiskan beberapa bulan di Patna untuk menerima pelatihan dasar medis di Rumah Sakit Keluarga Kudus dan kemudian memberanikan diri ke daerah kumuh.

Ia mengawali sebuah sekolah di Motijhil (Kalkuta); kemudian ia segera membantu orang miskin dan kelaparan. Pada awal tahun 1949, ia bergabung dalam usahanya dengan sekelompok perempuan muda dan meletakkan dasar untuk menciptakan sebuah komunitas religius baru untuk membantu orang-orang "termiskin di antara kaum miskin". Usahanya dengan cepat menarik perhatian para pejabat India, termasuk perdana menteri yang menyampaikan apresiasinya.

dalam buku hariannya, Teresa mengisahkan  bahwa tahun pertamanya penuh dengan kesulitan. Ia tidak memiliki penghasilan dan harus memohon makanan dan persediaan. Teresa mengalami keraguan, kesepian dan godaan untuk kembali dalam kenyamanan kehidupan biara. 


 

Suster Teresa berbagi pengalaman pertamanya dalam buku hariannya, “Tuhan ingin saya masuk dalam kemelaratan. Hari ini saya mendapat pelajaran yang baik. Kemelaratan para orang miskin pastilah sangat keras. Ketika saya mencari tempat tinggal, saya berjalan dan terus berjalan sampai lengan dan kaki saya sakit. Saya bayangkan bagaimana mereka sakit jiwa dan raga, mencari tempat tinggal, makanan dan kesehatan. Kemudian kenikmatan Loreto datang pada saya. ‘Kamu hanya perlu mengatakan dan semuanya akan menjadi milikmu lagi,’ kata sang penggoda... Sebuah pilihan bebas, Tuhanku, cintaku untukmu, aku ingin tetap bertahan dan melakukan segala keinginan-Mu merupakan kehormatan bagiku. Aku tidak akan membiarkan satu tetes air mata jatuh karenanya.”.

Tanggal 7 Oktober 1950, Teresa mendapatkan  izin Vatikan untuk memulai kongregasi keuskupan, yang kemudian menjadi Misionaris Cinta Kasih. Misinya adalah untuk merawat "yang lapar, telanjang, tunawisma, orang cacat, orang buta, penderita kusta, semua orang yang merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak diperhatikan seluruh masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan dihindari oleh semua orang."

Kongregasi Misionaris Cinta Kasih dimulai dengan 13 orang anggota di Kalkuta. Dan,  kini,  telah lebih dari ribuan  suster menjalankan panti asuhan, rumah bagi penderita AIDS dan pusat amal di seluruh dunia, dan merawat para pengungsi, pecandu alkohol, orang buta, cacat, tua, orang miskin dan tunawisma, korban banjir, dan wabah kelaparan.

Pada tahun 1952, Bunda Teresa membuka Home for the Dying pertama di atas lahan yang disediakan oleh kota Kalkuta. Dengan bantuan pejabat India, Bunda membangun sebuah rumah sakit gratis untuk orang miskin. Mereka yang dibawa ke rumah tersebut menerima perhatian medis dan diberikan kesempatan untuk meninggal dalam kemuliaan, menurut ritual keyakinan mereka; Muslim membaca Al-Quran, Hindu menerima air dari Sungai Gangga, dan yant Katolik menerima Ritus Terakhir.

Bunda Teresa segera menyediakan tempat tinggal untuk mereka yang menderita  kusta dan menyebut tempat ini sebagai Shanti Nagar (Kota Kedamaian)  Para Misionaris Cinta Kasih juga mendirikan beberapa klinik kusta yang terjangkau di seluruh Kalkuta, menyediakan obat-obatan, perban dan makanan.

Bunda Teresa merasa perlu untuk membuat rumah bagi anak-anak yang hilang. Pada tahun 1955, ia membuka Nirmala Shisu Bhavan, sebagai perlindungan bgi yatim piatu dan remaja tunawisma. Pada tahun 1960-an, ordo ini telah membuka penampungan, panti asuhan dan rumah lepra di seluruh India. Bunda Teresa kemudian memperluas ordo di seluruh dunia. Rumah pertama di luar India dibuka di Venezuela, tahun 1965 dengan lima suster. Selanjutnya di Roma, Tanzania,  dan Austria pada tahun 1968.  

Selama tahun 1970, Misionaris Cinta Kasih membuka rumah dan yayasan di puluhan negara baik di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Serikat. Pada tahun 2007, Misionaris Cinta Kasih berjumlah kurang lebih  450 bruder dan 5.000 suster di seluruh dunia, menjalankan 600 misi, sekolah dan tempat penampungan di 120 negara.[37]

Pada tahun 1982 saat puncak Pengepungan Beirut, Bunda Teresa menyelamatkan 37 anak yang terjebak di garis depan sebuah rumah sakit dengan menengahi sebuah genjatan senjata antara Israel dan Palistina. Dengan ditemani oleh para pekerja Palang Merah, Bunda Tesera melakukan perjalanan melalui zona perang ke rumah sakit yang hancur untuk mengevakuasi para pasien muda.

Bunda Teresa bepergian untuk membantu dan melayani penderita kelaparan di Rthiopia, korban radiasi Chernpbyl, dan korban gempa di Armenia. Pada tahun 1991, Bunda Teresa kembali untuk pertama kalinya ke tanah airnya dan membuka rumah Misionaris Cinta Kasih Bruder di Tirana,  Albania.

Pada tahun 1996, ia menjalankan 517 misi di lebih dari 100 negara. Selama bertahun-tahun, Bunda Teresa mengembangkan Misionaris Cinta Kasih untuk melayani "termiskin dari yang miskin" di 450 pusat di seluruh dunia. Rumah Misionaris Cinta Kasih pertama yang ada di Amerika  Serikat.

Bunda Teresa menderita serangan jantung ketika di Roma, tahun 1983, saat mengunjungi Paus Yohanes Paulus II. mengunjungi Setelah serangan kedua pada tahun 1989, ia menerima alat pacu jantung buatan. Pada tahun 1991, karena  menderita masalah jantung lebih lanjut,   Bunda Tersa menawarkan mengundurkan diri dari posisinya sebagai kepala Misionaris Cinta Kasih, tetapi para biarawati ordo dalam sebuah pemungutan suara yang rahasia, memilihnya untuk tetap menjabat. Bunda Teresa sepakat untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai kepala ordo.

Pada tanggal 13 Maret 1997, dia turun dari jabatannya sebagai kepala Misionaris Cinta Kasih dan memberi jabatannya kepada Suster Nirmala Joshi. Ia meninggal pada tanggal 5 September 1997.

Bunda Teresa dibaringkan dalam ketenangan di Gereja St. Thomas, Kalkuta selama satu minggu sebelum pemakamannya pada September 1997. Pemakaman Kenegaraa dilakukan  oleh pemerintah India sebagai  rasa syukur atas jasanya kepada kaum miskin dari semua agama di India.

 Wafat Bunda Teresa ditangisi baik di masyarakat sekuler dan religius. Nawaz Sharif, Perdana Menteri Pakistan mengatakan bahwa Bunda Teresa adalah "seorang individu langka dan unik yang tinggal lama untuk tujuan yang lebih tinggi. Pengabdian seumur hidupnya untuk merawat orang miskin, orang sakit, dan kurang beruntung merupakan salah satu contoh pelayanan tertinggi untuk umat manusia. Sedangkan mantan Sekretari Jenderal PBB, Javier Oerrez de Cuellar mengatakan: "Ia adalah Pemersatu Bangsa. Ia adalah perdamaian di dunia ini".

Sahabat, Belas kasihan, welas asih, atau kepedulian adalah emosi manusia yang muncul akibat penderitaan orang lain. Lebih kuat daripada empati, perasaan ini biasanya memunculkan usaha mengurangi penderitaan orang lain.

."Kita tahu bahwa, menurut Alkitab, Allah adalah "penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setia" (Mazmur 86:15). Sama-halnya dengan semua sifat Allah, belas kasih-Nya tak terbatas dan ada sepanjang masa. Belas kasih-Nya tak kunjung gagal; mereka selalu diperbarui tiap pagi (Ratapan 3:22-23).

Yesus Kristus, Sang Anak Allah, meneladani semua sifat Sang Bapa, termasuk belas kasih-Nya. Ketika Yesus melihat sahabat-sahabatNya menangis di kuburan Lazarus, Ia tergerak berbelas kasih pada mereka dan ikut menangis (Yohanes 11:33-35)

Kini-sini, marilah kita menghidupi dan menghidupkan “belas kasih”...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...