Senin, 15 Maret 2021

REFLEKSI : 65 MENDENGAR-MENDENGARKAN

Pernahkah anda merefleksikan makna mendengar dan mendengarkan? Atau, pernahkan anda merefleksikan perbedaan mendengar dan mendengarkan?

Dalam kehidupan sehari-hari, kita berhadapan dengan realitas: mendengar tetapi tidak mendengar, mendengar tetapi tidak mendengarkan. Pengalaman membuktikan karena sedang asyik main games on line, instagram, youtube, panggilan mama atau papa berulang-ulang tetapi kita tidak mendengar. Telinga kita “mendengar panggilan”, namun kita tidak bereaksi. Kita mendengar tetapi tidak meresponnya. Seolah, kita tidak mengenali suara siapa yang memanggil. Seolah panggilan yang kita dengar tidak bermakna.

 


Dalam KBBI,  mendengar bermakna dapat menangkap suara, dapat mendengar bunyi dengan telinga. Karena mendengar berkait dengan telinga, maka orang yang mendengar  tidak tuli. Sedangkan mendengarkan merujuk maksud : (1) mendengar sesuatu dengan sungguh-sungguh; (2) memasang telinga baik-baik untuk mendengar, (3) memperhatikan; mengindahkan; menurut nasihat, atau bujukan. 

Tuhan menganugerahkan pada kita: satu mulut dan dua telinga. Pasti Tuhan menghendaki agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Pasti Tuhan menghendaki agar kita mampu memahami lebih mendalam, lebih komprehensif, dan  cerdas memahami makna tersirat dari kata, kelompok kata yang kita dengarkan.

Kualitas manusia: intelektualitas, etika, moral, dan religiositas berdasarkan pada kecerdasan mendengar dan mendengarkan. Kualitas manusia tidak ditentukan semata-mata oleh gelar, kedudukan, status sosial tetapi sejauh mana “mampu mendengarkan” baik  dalam keluarga,  dalam pergaulan masyarakat, maupun dalam pekerjaan.

Keluarga sejahtera, damai, tenteram, dan bahagia. Masyarakat akan guyup, rukun, dan bergotong-royong karena kecerdasan mendengarkan dari seluruh warga masyarkat. Maka, bila akhir-akhir ini, kegaduhan politik, mewabahnya hoaks, laris-manisnya ujaran kebencian, fitnah disebabkan “ketidakmampuan mendengar”. Aksi  kelompok fanatik, radikalis, rasis yang menghalalkan segala cara disebabkan  perbedaan  perspektif berbeda tanpa  ada kehendak bermufakat.

Dalam situasi ini, masihkah kita mampu mendengar dan mendengarkan suara Tuhan? Masih mampukah menangkap kehendak Tuhan dan Jalan Tuhan? Masih mampukah kita menangkap tugas dan panggilan Tuhan? Tentu, karena tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Satu pintu ditutup, seribu pintu akan dibuka...

1)      Mengurai keraguan itu, kita dapat belajar pada Samuel. Samuel masih sangat suara Tuhan. Disangkanya Nabi Elia yang memanggilnya. Berulang sampai tiga kali Tuhan memanggil Samuel untuk berbicara dengannya. Namun, suara Tuhan sangat asing di telinganya. Samuel pun mendatangi Nabi Elia, saat tengah malam, pada panggilan Tuhan untuk ketiga kalinya. Pada saat itulah Elia menyadari Tuhan yang memanggil Samuel. Sebab itu ia berkata kepada Samuel, “Tidurlah kembali, dan jika engkau dipanggil lagi katakanlah, ‘Bicaralah, Tuhan, hamba-Mu mendengarkan.’ ” Lalu pergilah Samuel ke tempat tidurnya lagi.

Kemudian datanglah Tuhan, dan berdiri di tempat itu serta memanggil lagi, “Samuel, Samuel!” Dan Samuel menjawab, “Bicaralah, Tuhan, hamba-Mu mendengarkan.” Lalu berkatalah Tuhan kepadanya, “Aku akan melakukan sesuatu yang dahsyat terhadap orang Israel sehingga setiap orang yang mendengarnya akan kebingungan (1 Samuel 3:1-21).

2)      Tuhan bersuara melalui alam semesta (Mzm 19:1, Ay 38-41, Rm 1:20). Sura Tuhan melalui alam semesta hanya dapat kita dengar bila keindahan danau, gunung, pantai, laut, sawah, kicauan burung dan kelepaknya kita masuki. Kita mencoba “menghidupi dan menghidupkan alam semesta.

3)      Betapa Tuhan adalah pencipta yang luar biasa. Dia adalah seniman yang agung. Dengan memasuki indahnya alam semesta, baik dengan merenungkan, memikirkan, dan membayangkan kehebatan alam semesta ini, kita akan  mendengar bisikannya: inilah anak-Ku yang terkasih, kepada-Nya Aku berkenan  (Mrk 1:11 Luk 3:22)

4)      Santa Teresa dari Kalkuta bersakasi, “Tuhan berbicara melalui keheningan hati.” Seiring dengan berkembangnya teknologi, segala sesuatu dituntut untuk berjalan cepat dan seketika. Dunia bisa menjadi sangat berisik, tanpa waktu untuk berhenti dan menunggu. Keheningan menjadi sesuatu yang sulit ditemukan. Padahal, Tuhan seringkali berbicara atau menyatakan sesuatu di dalam keheningan.

Keheningan menghantarkan kita pada Tuhan. Keheningan membuat kita menghadapi diri kita sendiri. Keheningan membantu kita lebih jelas melihat segala sesuatu yang terjadi dalam relasi dengan Tuhan.

5)      Teman-teman atau lingkungan kita menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menyapa dan berbicara. Teman-teman atau lingkungan sering mengingatkan untuk bertumbuh menjadi orang yang lebih baik. Tuhan bisa berbicara melalui teguran dari mereka, sapaan penuh kasih, atau pun hanya dengan keberadaan mereka.

Kerendahan hati juga sangat dibutuhkan agar mampu mendengar suara Tuhan, kehendak Tuhan, jalan Tuhan.. "Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka kamu akan mendengarkan Aku; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati". (Yeremia 29:12-13).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...