Minggu, 20 Juni 2021

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,  anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,  14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert Wolter Monginsidi adalah Bote. Penghargaan yang Bote terima, antara lain;

1)      Robert Wolter Mongisidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973.

2)      Mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973.

Malalayang adalah desa kecil yang diapit oleh lautan dan rimba belantara. Di sinilah Bote ditempa hingga nantinya menjadi seorang anak muda pejuang bernyali tinggi dan tak kenal menyerah. Dari pelosok Celebes, inilah kisah Robert Wolter Monginsidi yang ditembak mati Belanda di Makassar pada usia 24 tahun.

 Wolter Mongisidi, Sang Putra Bantik di Mata Soekarno | Barta1.com

 

Bote, begitu panggilan akrabnya, memang dibesarkan di lingkungan keluarga yang religius. Kitab suci selalu menjadi pegangan hidup anak ke-4 dari 11 bersaudara pasangan Petrus Monginsidi dan Lina Suawa ini. Tepat di hari kasih sayang 14 Februari 1925, Bote dilahirkan di pesisir Desa Malalayang, Manado, Sulawesi Utara.

Usai menamatkan pendidikan dasarnya, 1931, Bote langsung merantau. Pergilah ia ke Manado untuk melanjutkan studi ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Frater Don Bosco di Manado. MULO adalah sekolah menengah pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dan di Manado, sekolah yang dinaungi Yayasan Katolik Don Bosco itu terbilang  bagus.

Sejak usia 17, Wolter Monginsidi sudah ikut laskar pro-Republik. Pada umur 24 dia dieksekusi Belanda.

Usai menamatkan pendidikan dasarnya, 1931, Bote langsung merantau. Pergilah ia ke Manado untuk melanjutkan studi ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Frater Don Bosco di Manado. MULO adalah sekolah menengah pada masa pemerintahan kolonial Belanda, dan di Manado, sekolah yang dinaungi Yayasan Katolik Don Bosco itu terbilang  bagus.

Bote lulus dari MULO ketika kekuasaan Belanda di Indonesia baru saja berakhir, digantikan oleh pendudukan militer Jepang sejak tahun 1942. Ia kemudian masuk ke dua sekolah sekaligus, yakni sekolah pertanian bentukan Jepang dan Sekolah Keguruan Bahasa Jepang, keduanya di Tomohon.

Mengantongi kemampuan berbahasa Jepang, ia pulang ke Malalayang dan menjadi guru di sana. Bote yang pada saat itu berusia 18 tahun juga mengajar di beberapa daerah lainnya seperti Minahasa, Liwutung, hingga Luwuk Banggai. Tapi, 2 tahun berselang, tak lama setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Bote hijrah ke Makassar.

Di pusat peradaban Sulawesi Selatan itu, Monginsidi, terhenyak karena kemerdekaan yang baru dinikmati sesaat

Meski masih belia, keberanian Monginsidi sudah teruji. Beberapa kali ia turut dalam peperangan melawan NICA yang bersenjatakan lebih canggih. Kecakapan inilah yang membuatnya dipercaya menjadi salah satu pimpinan LAPRIS. Ia memimpin pasukan sendiri untuk memberikan tekanan terhadap Belanda di Makassar dan sekitarnya.


 
Pada 27 Oktober 1947, kawan-kawan seperjuangan Monginsidi berhasil menyelundupkan 2 granat yang dimasukan ke dalam roti. Granat pun diledakkan, seisi kompleks penjara kacau-balau. Melalui cerobong asap dapur, Monginsidi dan ketiga rekannya berhasil melarikan diri.

Monginsidi sebenarnya punya sebuah granat yang bisa saja ia lemparkan. Tapi, terlalu tinggi risikonya karena gang tempatnya terkepung itu juga menjadi area pemukiman warga. Monginsidi pun akhirnya menyerah demi keselamatan rakyat.

Dan, bersamaan dengan tiga kali pekikan merdeka, 8 peluru menembus raganya: 4 di dada kiri, 1 di dada kanan, 1 di ketiak kiri menembus ketiak kanan, 1 di pelipis kiri, dan 1 di tepat pusar. Monginsidi tersimpuh, gugur pada waktu subuh di umur yang juga masih terbilang dini, 24 tahun.(disarikan dari berbagai sumber)

Cirebon, 12 November 2020

J.S. Kamdhi,

 

REFLEKSI : 103 PAHLAWAN NASIONAL (Pahlawan Nasional Pertama NTT) IZAAK HURU DOKO

Izaak Huru Doko lahir di Sabu, Nusa Tenggara Timur, 20 November 1913. Wafat di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 29 Juli 1985, usia 71 tahun. Izaak Huru Doko adalah Pahlawan Nasional Pertama dari Nusa Tenggra Timur.  

Ia bersekolah di Hollandsche Indlandsche Kweekschool (HIK, Sekolah Guru) di Bandung bersama Herman Johannes (Pahlawan Nasional).

Tahun  1937 Cak Doko, nama panggilan Izaak Huru Doko,   menamatkan sekolahnya dan ditempatkan sebagai guru muda pada Openbare Schakel School di kota Kupang, ibukota keresidenan Timor. Dengan motto: “memerangi kemiskinan dan ketertinggalan melalui pendidikan” ia banyak berhasil membimbing kader perpendidikan didaerahnya.

Ia pun aktif dalam politik dengan membentuk sekaligus menjadi ketua partai politik “Perserikatan Kebangsaan Timor” yang berazaskan Nasionalis/Kebangsaan dengan tujuan mencapai Indonesia merdeka.

 

Doko  memimpin Timorsche Jongeren (Pemuda Timor) dengan tujuan mempersatukan para pelajar Timor dan memiliki beberapa cabang yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia. Ia juga merintis berdirinya partai politik bernama Perserikatan Kebangsaan Timor dan menjadi ketua pada partai tersebut.

Saat pendudukan Jepang, Doko ia diangkat menjadi Kepala Bunkyo Kakari (Pengajaran/Penerangan) yang menangani pendidikan, kesehatan, penerangan, dan keagamaan,  sejak tahun 1942 hingga 1945.  Ia  mengasuh surat kabar Timor Syuho untuk memelihara cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Izaak Huru Doko mendirikan Partai Demokrasi Indonesia yang memiliki cabang di Flores, Sumba, dan Sumbawa. Ia mendapat  mandat dari Partai Demokrasi Indonesia untuk memperjuangkan zelfbeschikkingsrecht (hak menentukan nasib sendiri) bagi bangsa Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta menghapuskan Korte Verklaring (Plakat Pendek)

Izaak Huru Doko dinobatkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 2006 atas sumbangannya kemerdekaan Indonesia bersatu. Ia juga dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 085/TK/2006 pada tanggal 3 November 2006.

Pahlawan Nasional Indonesia, Pahlawan Nasional PERTAMA, asal Nusa Tenggara Timur (NT),  dikenal aktif dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Selama penjajahan Jepang, ia turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui surat kabar asuhannya, Timor Syuho.

Dukungan terhadap kedaulatan RI setelah proklamasi ditunjukkan saat ia terlibat sebagai anggota parlemen dan menteri Negara Indonesia Timur (NIT).

Bersama Herman Johannes, seorang mahasiswa Technische Hogeschool (sekarang ITB), ia memimpin perkumpulan Pemuda Timor (Timorsche Jongeren) yang memiliki cabang yang tersebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Bahkan, jabatan Ketua Partai Politik Perserikatan Kebangsaan Timor di Kupang juga pernah dipercayakan padanya.

Partai yang berasaskan nasionalisme kebangsaan itu mempunyai tujuan mencapai Indonesia merdeka. Saat Jepang menduduki Tanah Air, ia diangkat menjadi Kepala Bunkyo Kakari (Pengajaran/Penerangan) di Kupang terhitung sejak 1 Maret 1942 hingga 1945.

Saat  Jepang menyerah,  dan tentera Australia/sekutu mendarat di pulau Timor, Cak Doko bersama Tom Pello mengorganisir tenaga-tenaga Nasionalis untuk menghadapi Pemerintah Reaksioner Belanda (NICA) bersama kaki tangannya yang membonceng pendaratan tentera Sekutu.

Tanggal 22 Agustus 1945, dalam sebuah rapat raksasa beliau berpidato di depan Penguasa Jepang dan rakyat Amarasi tentang perjuangan rakyat Timor untuk memperoleh kemerdekaan, dan pada tanggal 24 Agustus 1945, Jepang menyerahkan kekuasaan Pemerintahan Kota Kupang kepada Dr. Gabeler, Tom Pello dan I.H.Doko.

Beliau kemudian mendirikan dan mengetuai Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Timor sebagai penjelmaan Perserikatan Kebangsaan Timor (PKT). Beliau turut aktif dalam penyelesaian masalah pemulangan para Heiho dan Romusha yang umumnya didatangkan bala tentera Jepang dari pulau Jawa.

 

 Pahlawan Nasional

Pada Konperensi Malino 1946 beliau menjadi Penasihat utusan daerah Timor dengan mandat untuk memperjuangkan “zelfbeschikkingsrecht” bagi bangsa Indonesia, tetap mempertahankan negara kesatuan RI dan menghapuskan korte verlaring dari daerah-daerah swapraja. Karena kegigihan dan keteguhan dalam memperjuangkan aspirasi untuk merdeka dalam negara kesatuan RI, van Mook (Gubernur Jenderal) menamakannya: “ayam jantan dari Timor” (buku: Malino bouwt een Huis).

Pada tanggal 14 Maret 1950 dalam Kabinet Anak Agung Gde Agung beliau diangkat sebagai Menteri Pengajaran NIT dalam lingkungan RIS. Dan sering bertindak mewakili Perdana Menteri berhubung Perdana Menteri sering meninggalkan Makasar untuk konsultsi dengan Pemerintah RI-Yogyakarta.

Dalam rangka pembubaran Negara Indonesia Timur, beliau bertugas sebagai wakil Sekretaris Jenderal Kementrian Pengajaran NIT dalam kabinet Likwidasi dibawah Ir. Putuhena (bekas Menteri PUT-RI di Yogya). Beliau sempat ditahan saat APRI dibawah pimpinan Kol. Kawilarang mendarat dan menduduki kota Makassar, tetapi kemudian dibebaskan tanpa syarat.

Beberapa jabatan penting kenegaraan RI, Jakarta, ia tolak dan ingin lebih membaktikan diri pada bidang pendidikan di daerah. Demikian pula desakan beberapa partai politik seperti Parkindo, PNI yang mencalonkannya sebagai Gubernur pertama NTT, beliau tolak dengan alasan yang sama yaitu ingin mengabdi dibidang pendidikan.

Jabatan Kepala Inspeksi Pengajaran Sunda Kecil berkedudukan di Singaraja (Bali) beliau pegang sejak 1950 s.d 1958 dan sehubungan dengan pemekaran daerah dan terbentuknya propinsi NTT ditahun 1958, beliau diangkat menjadi Kepala Perwakilan Departemen P dan K Provinsi NTT berkedudukan di Kupang.

Jabatan ini dipangkunya sampai saat pensiun ditahun 1971, dengan pangkat  Pegawai Utama, golongan IV/D. Untuk jasanya dalam bidang pendidikan ini Pemerintah Indonesia melalui Departemen Sosial menganugerahkannya Bintang Sosial dengan gelar Pahlawan Pendidikan.

Pada tahun 1957 beliau menjadi anggota perutusan Propinsi Sunda Kecil ke Musyawarah Nasional I dan II dalam usaha mempersatukan kembali Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, dan dalam tahun 1961 menjadi Anggota Front Nasional Nusa Tenggara Timur dan Anggota team Indoktrinasi NTT. Pada Gerakan 30 September tahun 1965 oleh PKI, beliau termasuk dalam daftar orang yang harus dilenyapkan.

Sampai dengan masa pensiunnya beliau tetap aktif dalam berbagai jabatan dibidang Pendidikan, Gerejawi dan Sosial:

1)      mengetuai Yayasan Pendidikan Kristen NTT (Yupenkris),

2)      Dewan penyantun APDN,

3)      mendirikan Akademi Teologia Kupang,

4)      mendirikan Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang;

5)      Dekan Koordinator IKIP Malang ,Cabang Kupang,

6)      Anggota Presidium dan Dewan Penyantun Universitas Nusa Cendana-Kupang,

7)      Penasihat Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT),

8)      Ketua Palang Merah Indonesia NTT.

 

Dalam jabatan sebagai Ketua PMI ini beliau pernah harus mundar-mandir dari Kupang ke Surabaya untuk mengantar para pengungsi dari Timor Portugis sehubungan pergolakan ditahun 1974. Untuk pengabdian kemanusiaannya ini Palang Merah International yang berkedudukan di Swiss memberikan Piagam Penghargaan.

 

Atas jasa-jasa beliau, Pemerintah RI dengan Keputusan Presiden RI Nomor: 085/TK/Tahun 2006 tanggal 3 Nopember 2006 menganugerahi Bintang Mahaputera Adipradana dan Gelar Pahlawan Nasional dalam suatu upacara di Istana Negara pada tanggal 9 Nopember 2006.

Cirebon, 12 November 2020

J.S. Kamdhi,

 

 

REFLEKSI : 102 PAHLAWAN NASIONAL BERNARD WILHELM LAPIAN

Bernard Wilhelm Lapian lahir di Kawangkoan, 30 Juni 1892. Wafat di Jakarta, 5 April 1977, usia 84 tahun.  Bernard Wilhelm Lapian  berjuang dari zaman Belanda, Jepang, sampai pada zaman kemerdekaan Indonesia.

Ayahnya bernama Enos Lapian dan ibunya bernama Petronella Geertruida Mapaliey. Karena jabatan ayahnya sebagai kepala Sekolah Rakyat (Volksschool) di Kawangkoan, Lapian bisa masuk sekolah dasar bahasa Belanda (Amurangse School) di Amurang, sekitar 40 kilometer dari Kawangkoan.

Lapian berusia 17 pada tahun 1909 ketika ia mulai bekerja di perusahaan pelayaran Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Dia bekerja untuk KPM selama 20 tahun. Pada awalnya ia bekerja di atas kapal, tapi pada tahun 1919 Lapian mendapat tanggung jawab sebagai hofmeester yang mengurus logistik kapal dan bekerja di Batavia.

Pada saat dia berada di Batavia, ia mengirim artikel-artikel ke surat kabar Pangkal Kemadjoean dengan fokus memerangi kolonialisme Belanda. Dia juga menerbitkan surat kabar bernama Fadjar Kemadjoean (1924–1928) yang berisi tulisan-tulisan berkaitan dengan memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia  Kemudian pada tahun 1940, ia menerbitkan sebuah koran lokal di Kawangkoan bernama Semangat Hidoep.

Lapian pernah menjadi wakil rakyat dalam dua kapasitas, yang satu dalam wilayah lokal dan satu lagi untuk seluruh Hindia Belanda. Dari 1930 hingga 1942, ia adalah anggota dewan lokal yang disebut Dewan Minahasa (Minahasaraad) di Manado. Anggota dewan ini mewakili orang-orang di seluruh wilayah Minahasa dan Lapian mewakili rakyat dari Kawangkoan. Pada tahun 1938, Lapian juga menjadi anggota Dewan Rakyat untuk Hindia Belanda (Volksraad) di Batavia. Dia bergabung dengan Fraksi Nasional yang dipimpin oleh Mohammad Husni Thamrin. 

 Tag: Bernard Wilhelm Lapian - Sosok BW Lapian, Tokoh di Balik Peristiwa  Merah Putih 14 Februari 1946, Jabat Wali Kota Manado - Tribun Manado

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, di mana semua gereja Kristen berada di bawah naungan satu institusi Indische Kerk) yang dikendalikan oleh pemerintah, Lapian bersama tokoh-tokoh lainnya (termasuk Sam Ratulangi dan AA Maramis) mendeklarasikan berdikarinya Kerapatan Gereja Protestan di Minahasa (KGPM) pada bulan Maret 1933.

KGPM adalah suatu gereja mandiri hasil bentukan putra-putri bangsa sendiri yang tidak bernaung di dalam termasuk.  Pada mulanya, Lapian diangkat sebagai sekretaris. Dia kemudian diangkat sebagai ketua KGPM pada tahun 1938 dan dalam jabatannya ia membantu mendirikan 16 sekolah dasar dan 17 sekolah menengah.

 

Pada akhir Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan, 17 Agustus 1945,  pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda “tetap bernafsu menguasai Indonesia”, denga dibantu sekutu.

 

Tanggal  14 Februari 1946, sekelompok prajurit Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) di Manado.  Dengan  bantuan pemuda setempat dan pejuang kemerdekaan,  para perwira KNIL, tertangkap.  

 

Pada tanggal 16 Februari 1946, Lapian yang merupakan Residen Manado,  ditunjuk menjadi kepala pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi Utara. Keadaan ini berlangsung hingga 10 Maret 1946. ketika Belanda berhasil menduduki Manado,  Lapian ditangkap dan dipenjarakan di Manado. Dia dipindahkan ke Cipinang, Jakarta,  1947.  Kemudian, dipindahkan ke Sukamiskin, Bandung, 1948. Ia dibebaskan pada tanggal 20 Desember 1949, sesudah Konferensi Meja Bundar.  

 

Lapian menjadi Penjabat Gubernur Sulawesi, tanggal 17 Agustus 1950 dan menjabat sampai 1 Juli 1951. Selama masa jabatannya sebagai pejabat gubernur, Lapian membuka dan mengembangkan daerah di sekitar Dumoga di Bolaang  Mongondow, untuk pemukiman dan pertanian. Dia membangun jalan yang menghubungkan Kota Mabagu  dan wilayah Molibago.

 B.W. Lapian - Wikiwand

Dia juga membentuk dewan perwakilan daerah di seluruh wilayah Sulawesi dan melakukan pemilihan pasca-kemerdekaan pertama di wilayah Minahasa pada tanggal 14 Juni 1951. Dia juga memulai upaya untuk mencapai perdamaian dengan pemberontakan yang dipimpin Kahar Muzakar.

 

Lapian meninggal pada tanggal 5 April 1977 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

1.       Pada tahun 1958, Lapian dianugerahi penghargaan Bintang Gerilya.

2.       Pada  tahun 1976 ia menerima penghargaan Bintang Mahaputra Pratama

3.       Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo  dalam sebuah upacara di Istana Negara, tanggal 5 November 2015, Berdasarkan: Keppres No.116/TK/Tahun 2015, Tanggal 4 November 2015

4.       Sebuah monumen didirikan di Kawangkoan untuk Lapian dan  Ch. Taulu untuk memperingati keterlibatan mereka dalam peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado.

Cirebon, 9 November 2020

JS Kamdhi

 

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...