Senin, 15 Maret 2021

REFLEKSI : 61 JALAN TUHAN

 

Lukas 10:21 : Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: "Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.

 

Sering kita terjebak keyakinan “salah kaprah”: jika sesuatu terjadi sesuai dengan harapan dan kehendak kita, kita meyakini inilah “jalan Tuhan”. Sebaliknya,  jika sesuatu terjadi tidak  sesuai dengan harapan dan kehendak kita, kita meyakini pasti  bukan “jalan Tuhan”. Sehingga banyak orang menjalani hidup dengan dikotomi “jalan-Mu Tuhan, bukan jalankau”.

 

Refleksi kita, tentu saja,  benarkah  Tuhan merancang Jalan-Jalan-Nya sebagaimana realitas tersebut? Bagaimanakah memilah dan memilih antara jalan kita atau jalan Tuhan?

Memang, kita mengalami, dalam perjalanan hidup kita, “Jalan Tuhan” sering terasa aneh, tak terpahami, bahkan tak masuk akal.  Tidak jarang, kita terkesima, “jalan Tuhan” bertentangan dengan apa yang kita inginkan dan kita harapkan. 


 

Dalam situasi seperti ini, yang kita lakukan: mengeluh, menggerutu, mengumpat, bahkan menjadi “masa bodoh”. Kita lupa pada penegasan Yesaya, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman Tuhan.. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. ( Yes: 55 : 8-9).

Secara spesifik Yesus menunjukkan dan mempertegas apa, mengapa, bagaimana “jalan Tuhan” yang harus dihidupi dan dihidupkan. Dengan lugas Yesus menyampaikan dalam “Kisah Orang Samaria yang Murah Hati” (Lukas 10:25-37). Kisahnya menarik, memikat, mengnspirasi, bahkan menantang keberagamaan kita: sungguhkan kita telah, sedang, dan terus berada dalam “Jalan Tuhan”.

Dari “Kisah Orang Samaria yang Murah Hati”,  kita tersadarkan “jalan yang harus kita tempuh” agar memperoleh hidup kekal. Secara praktis dan aplikatif “Jalan Tuhan” adalah “Jalan Kasih”. Seberapa besar dan kuatnya kita menjadikan diri kita sebagai “Jalan Kasih”? Benarkah “Jalan Kasih” telah menjada “way of life” para pengikut Kistus?

Mengurai “Jalan Kasih”, dalam perjalanan hidup,  kita berhadapan dengan beberapa peneguhan:

  1. “Jalan Kasih”   tidak dipagari oleh etnis, status sosial, agama, kedudukan, jabatan, bahkan usia.
  2. “Jalan Kasih” harus didasari ketulusan, keikhlasan, tanpa  pamrih.
  3. “Jalan Kasih” adalah jalan terjal: penuh risiko, dan berani memanggul salib.
  4. “ Jalan kasih” mensyaratkan kerendahan hati, berdaya tahan, dan berintegritas.

Belas kasih dan pertolongan orang Samaria terhadap orang Yahudi yang dirampok itu, sungguh luar biasa karena melampaui segala permusuhan yang selama itu terjadi. Orang Samaria mampu mengatasi kebencian, harga diri, keegoisan,  dan kepentingan dirinya. Dia mau menjadikan "musuhnya" itu sebagai sesamanya. 

 

Dengan kisah ini Yesus mau mengatakan kepada kita bahwa jika ingin memperoleh hidup yang kekal hendaklah kita seperti orang Samaria yang baik itu. "Pergilah dan lakukanlah demikian". Jangan ada lagi permusuhan di antara kita. Berbaik hatilah dengan semua orang tanpa kecuali: Kita  bersaudara karena ada persaudaraan.

 

Sayangnya karena kepentingan politik, agama, bisnis, jabatan, atau status sosial, perintah Yesus tak bergema, lenyap dalam hidup dan kehidupan bersama. Orang makin  eksklusif,  terkotak-kotak, menganggap paling benar, paling berjasa, dan paling berhak atas bangsa dan negara.

Kisah “Orang Samaria yang Murah Hati” bukan sekadar kisah teladan dalam tolong-menolong orang lain tanpa pamrih. Bukan sekadar siapa yang benar, siapa peragu, atau siapa yang salah. Kisah “Orang Samaria yang Murah Hati”  adalah cermin agar keangkuahan, kesombongan, kedunguan manusia yang menganggap jalan Tuhan dan jalan kasih terkikis. Cermin  bagi orang beriman bahwa hukum terutama adalah kasihilah Tuhan Aĺlah dan kasihilah sesama manusia. 

Sahabat, mengasihi Tuhan bersifat pribadi. Bersifat induvidual, tanggung jawab individual,  sedangkan mengasihi sesama manusia bersifat  terbukaesama manusia. dapat diamati, dapat dilihat, dan dapat dinilai oleh  dan dapat dilihat mata jasmani oleh orang lain. 

 

Orang  yang mengasihi Tuhan selalu berusaha memberikàn yang terbaik dlam proses penyempurnaan penebusan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...