Senin, 29 Maret 2021

REFLEKSI : 86 PAHLAWAN NASIONAL MAYOR TNI JOHANNES ABRAHAM DIMARA

Johannes Abraham Dimara lahir di Korem, Biak Utara, Papua, 16 April 1916, wafat di Jakarta, 20 Oktober 2000, dalam usia 84 tahun.

Dua  orang putra terbaik bangsa, yang  menerima gelar Pahlawan Nasional. Pertama, 8 November 2010 adalah Johannes Leimena (Alm) dan  Johannes Abraham Dimara (Alm). Johannes Leimena (Alm). merupakan salah satu pemuda Indonesia yang berjasa dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda tahun 1928. Yang kedua adalah Johannes Abraham Dimara (Alm), memiliki jasa besar dalam pembebasan Namlea di Maluku, dan dalam perjuangan membebaskan Irian Barat.

Keduanya diangkat menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan hasil sidang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada tanggal 1 November 2010 dan dengan Keputusan Presiden Nomor 52/TK/TAHUN 2010 tanggal 8 November 2010.

Penghargaan

(1)     Satyalancana Perang Kemerdekaan Kesatu

(2)     Satyalancana Peristiwa Perang Kemerdekaan Kedua

(3)     Satyalancana Satya Dharma

(4)     Satyalancana Bhakti

(5)     Satyalancana Gerakan Operasi Militer III

(6)     Satyalancana Perintis Pergerakan kemerdekaan

Usia  13 tahun, Johannes Abraham Dimara menjadi  anak angkat oleh Elias Mahubesi, seorang anggota polisi Ambon dan membawahnya ke Ambon. Di kota ini, Johanes Abraham Dimara menyelesaikan pendidikan setingkat sekolah dasar pada tahun 1930.  Sesudahnya, menyelesaikan  sekolah pertanian di Laha.

Dari tahun 1935 s.d.1940 Dimara menempuh pendidikan sekolah injil. Sesudah  lulus, Dimara membaktikan dirinya sebagai guru Injil di Leksuka, Pulau Buru. Sebagai lulusan sekolah agama, ia bekerja sebagai guru Injil di Kecamatan Leksuka, Pulau Buru.

 


Tahun 1942  Jepang memasuki Pulau Buru.  Semua  sekolah ditutup. Pendeta pemimpin sekolah ditangkap oleh Jepang. Para guru pembantunya menjadi penganggur. Pada suatu hari datang seorang prajurit yang tengah mencari tenaga pembantu prajurit yang asli berasal dari Papua. Penduduk memberitahukan dan orang Papua yang dimaksud ia adalah Johanes Abraham Damara  Papua seorang guru agama. Damara  dibawa menghadap Komandan pendudukan Pulau Buru, bernama Ishido, Kepala Pemerintahan dan (Watanabe) Komandan pasukan pendudukan.

Memasuki dunia kemiliteran sudah barang tentu ia harus berlatih tata cara militer terutama penggunaan senjata. Penampilan Pak Guru Johanes Papua berubah setelah mengenakan seragam. Ia diangkat sebagai Kempei-ho (Pembantu Kempei Kesatuan Polisi Militer atau Polisi Militer Jepang) yang ditempatkan di Markas Kempetai di Pulau Buru. Tugas seorang Kempei Ho sebagai penyelidik keamanan, mengobservasi kegiatan orang-orang yang diduga sebagai mata-mata musuh atau membantu musuh sampai perang berakhir.

Setelah Jepang menyerah sebagai seorang Kempei-ho, tidak jelas pekerjaannya. Namun ada yang berubah dalam kejiwaan Dimara. Propaganda Jepang yang anti penjajah orang kulit putih dan patriotism sangat mendalam dirasakan, diksriminasi rasial, pendidikan, jabatan yang dipraktekkan oleh pemerintah Hindia Belanda membuka kesadarannya bahwa betapa mulianya sebagai manusia yang merdeka.

Berita Proklamasi Kemerdekaan baru ia dengar pada bulan Mei 1946, setelah ada ekspedisi dua kapal kayu ke Maluku yaitu KM Sindoro dan KM Semeru. KM Sindoro yang dinahkodai oleh Letnan Ibrahim Saleh dan juru-mesin Yos Sudarso sampai perairan Pulau Buru, yang berjarak 500 m dari Namlea, kota utama Pulau Buru. Kedatangan kapal ini menarik perhatian penduduk karena berbendera merah putih.

Beberapa orang pemuda yang dipimpin Dimara berusaha mendekat. Dengan sebuah perahu dayung akhirnya berhasil mencapai Kapal Sindono. Mereka bertemu dengan Komandan Kapal Ibrahim Saleh dan Perwira Pertama Letnan Yos Sudarso. Mereka saling berkenalan. Dimara dan kawan-kawannya menyarankan agar kapal berlabuh di Namelek yang jaraknya satu kilometer dari tempat mereka berhenti.

Pada 6 April 1946 beberapa orang pemuda telah berkumpul di rumah Raja Bahadin: Anton Papilaya salah seorang anggota ekspedisi yang berhasil turun dari kapal diperkenalkan dengan para pemuda yang sedang berkumpul. Dengan tekad yang mantab mereka berencana menyerang Namlea untuk mengakhiri kekuasaan NICA di Pulau Buru, Adam memberi semangat: “Inilah saatnya untuk menghabisi Belanda!”.

 Dimara dipilih sebagai salah seorang pemimpinnya, karena selain pemberani ia telah memperoleh pelatihan militer pada masa pendudukan Jepang. Pemimpinan lainnya dipilih Anton Papilaya, karena ia seorang pemberani yang datang dari Jawa. Tatkala gerakan penyerangan ke Namka yang dipersiapkan seorang anggota polisi yang membantu pemuda memberitahukan bahwa kapal Sindoro telah disergap oleh Belanda dan ditarik ke Ambon.

Pada bulan April 1946, para pemuda yang bergerak dari Kumbrasa telah mendekat ke Namlea. Sebelum itu, kepada rakyat diumumkan bahwa Residen Maluku Van Ball akan datang ke Namlea. Masyarakat Namlea diperintahkan untuk membersihkan kota untuk menyambut kedatangan Residen.

Pada 8 April 1946, para pemuda yang berkekuatan 300 orang bergabung dengan masyarakat berpura-pura ikut kerja bakti membersihkan kota. Sampai di depan kantor polisi mereka menyergap sejumlalh polisi dan langsung menyerah. Jatuh korban seorang polisi tertembak. Serangan dilanjutkan ke kantor Kecamatan (Asisaten Wedana), Bendera Merah Putih Biru yang berkibar di depan kantor diturunkan dan dirobek birunya dinaikkan kembali menjadi merah putih.

Pada bulan Juli 1946, Dimara dan kawan-kawannya diajukan ke pengadilan militer Batu Gajah Ambon. Sebuah jeep datang menjemputnya. Tangan dan kakinya dirantai, dengan susah payah ia naik ke Jeep. Tidak ada yang membantu. Akhirnya vonis pun jatuh. Dua puluh tahun penjara untuk Dimara. 

Keluar dari penjara, ia tinggal tiga bulan di Makassar, kemudian kembali ke Ambon. Situasi di Ambon sedang memanas, karena Gerakan Republik Maluku Selatan. Dimara mendapat ancaman akan dibunuh. Demikian pula anggota Merah Putih lainnya diteror, diancam dan dibunuh. Terpaksa ia dan kawan-kawannya kembali ke Makassar.

Tiba di Makassar, ia menghadap Komandan Batalyon Pattimura Mayor Pieters dan melaporkan situasi di Ambon. Soumofkil telah memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Tanpa prosedur administrasi militer yang rumit, ia langsung diterima sebagai anggota Batalyon Pattimura.

Pada bulan Juli, Batalyon Pattimura diperintahkan berangkat ke Pulau Buru. Dimara dimasukkan dalam Kompi Letnan Mailoa. Rupanya di Pulau Buru, terutama Namka, pertahanan pasukan RMS sangat kuat, yang dipimpin oleh Liestieka mantan Sersan Mayor Baret Hijau KNIL. Kekuatan mereka lebih kurang satu kompi 150 orang.

Pada 14 Juli 1950 pasukan TNI didaratkan di Pulau Buru. Pendaratan TNI di Namka ini amat dramatis. Pasukan RMS yang berada di balik pohon-pohon sagu melepaskan tembakan tanpa henti. Namun, Pasukan TNI berhasil mendarat, dan merebut Namka. Pasukan pendarat melanjutkan gerakannya ke Pulau Seram. Di Pulau Buru ditempatkan dua batalyon; Batalyon Pellupessy dan Batalyon Pieters, Kesatuan Induk Dimara.

Beberapa bulan setelah terjadi peristiwa pembangkangan Kapten Aziz (April 1950), Presiden RIS; Ir. Soekarno melakukan perjalanan dinas ke Makassar. Pada kesempatan itu, Presdien mengunjungi para prajurit yang dirawat di rumah sakit itu. Ada seorang pasien yang menarik perhatian Presiden. Presiden menanyakan identitasnya. “Itu orang Papua”, jawab Dokter Mailoa yang mendampingi Presiden.

Presiden menghampirinya dan terjadi tanya jawab singkat. Setelah sembuh dari luka-lukanya, Dimara bersama seorang kawannya pergi ke Jakarta, menginap di rumah Mahmud Rumagesang, seorang putra Papua yang diangkat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Baginya yang penting sudah melihat Jakarta dari dekat.

Pada suat hari, Dimara memperoleh panggilan dari Jakarta yaitu dari Presiden Soekarno. Presiden memberikan perintah “Anak Dimara, Bapak perintahkan masuk Irian Barat dengan pasukanmu. Bagaimanapun Anak harus berbuat sesuatu”. Peristiwa itu terjadi pada 3 April 1954.

Dua minggu kemudian tepatnya 14 Oktober 1954, ia dipanggil Komandan Resimen Infanteri 25/TT VII, Kolonel Sokowati untuk membicarakan penugasannya masuk daratan Irian Barat. Para anggota OPI yang pernah di latih di Base camp dipanggil dan dilatih kembali selama satu minggu. Suatu latihan fisik dirasakan berat oleh para anggotanya. Bagi Dimara ada satu hal yang dirasakan amat berat, yaitu meninggalkan isteri yang sedang mengandung tua. Terjadi pergumulan bathin antara tugas dan keluarga. Ia melapor kepada Kolonel Sokowati tentang keluarganya. Sokowati menjawab “Jangan khawatir, saya kasih rumah di Ambon”.

Pada saat terakhir Dimara ditunjuk sebagai Komandan pasukan dengan kekuatan satu peleton atau 40 orang. Tanggal  17 Oktober 1954, dengan menggunakan sebuah kapal motor berangkat dari Ambon, menuju Dobo Kepulauan Aru, tiba pada tanggal 19 Oktober 1954.

Dimara dipanggil Presiden Soekarno. Presiden didampingi oleh Pak Was dan Pak Subandrio, Menteri Luar Negeri. Kata Presiden: “Anak Dimara, terima kasih sudah pulang dengan selamat. Kamu Pahlawan Irian Barat! Mulai sekarang Dimara sebagai tokoh Irian Barat. Dimana saya utus untuk menjadi perwakilan Irian Barat di PBB”.

Menjelang sidang Majelis Umum PBB bulan September, Dimara berangkat ke New York. Rombongan Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio. Ada tiga orang Irian lainnya yaitu; Mary Dapare, Moses Weror dan Mathias Wondiri.

Sekembali dari sidang Majelis Umum PBB (Oktober 1961), Dimara terpilih sebagai Ketua Gerakan Rakyat Irian Barat (GRIB) menggantikan Silas Papare. GRIB adalah salah satu organisasi dari Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNPIB) yang dipimpin oleh Jenderal Nasution. Aktivitas GRIB terutama sekali melakukan kontra propraganda Belanda.

Nasib Dimara yang masih berpangkat Bintara (Pembantu Letnan) mendapat perhatian dari Presiden. Mengingat jasa-jasanya yang luar biasa itu, Presiden menaikkan pangkatnya secara luar biasa dari Pembantu Letnan menjadi Mayor. Nasib Dimara yang masih berpangkat Bintara (Pembantu Letnan) mendapat perhatian dari Presiden. Mengingat jasa-jasanya yang luar biasa itu, Presiden menaikkan pangkatnya secara luar biasa dari Pembantu Letnan menjadi Mayor.

Dalam sejarah TNI, barangkali hanya Dimara yang pernah memperoleh penghargaan kenaikan pangkat secara luar biasa. Pelatihannya dilakukan oleh Jenderal Gatot Subroto (Wakil Kepala AD) bertempat di MBAD pada tanggal 28 April 1962. Selanjutnya Dimara memang tidak terjun langsung dalam jajaran Komando Trikora, karena sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional kiprah dalam jajaran politik.

 

Dalam sejarah TNI, barangkali hanya Dimara yang pernah memperoleh penghargaan kenaikan pangkat secara luar biasa. Pelatihannya dilakukan oleh Jenderal Gatot Subroto (Wakil Kepala AD) bertempat di MBAD pada tanggal 28 April 1962. Selanjutnya Dimara memang tidak terjun langsung dalam jajaran Komando Trikora, karena sebagai anggota Dewan Pertahanan Nasional kiprah dalam jajaran politik.

Johanes Abraham Dimara meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2000. Ia mendapat beberapa tanda penghargaan dari pemerintah, antara lain Satyalancana Perang Kemerdekaan Kesatu dan Satyalancana Bhakti.

REFLEKSI :

Mayor TNI Johannes Abraham Dimara merupakan putra asli Papua layak menjadi teladan dan inspirator:

(1)     Ikut serta dalam Pengibaran Bendera Merah Putih di Namlea, pulau Buru, Maluku pada tahun 1946.

(2)     Turut memperjuangkan pengembalian wilayah Irian Barat ke tangan Republik Indonesia. Pada tahun 1950, dia diangkat menjadi Ketua OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat).

(3)     Menjadi anggota TNI dan melakukan infiltrasi pada tahun 1954 yang menyebabkan dia ditangkap oleh tentara Kerajaan Belanda dan dibuang ke Digul, hingga akhirnya dibebaskan tahun 1960.

(4)     Menjadi contoh sosok orang muda Papua dan bersama Bung Karno ikut menyerukan Trikora di Yogyakarta. Dia juga turut menyerukan seluruh masyarakat di wilayah Irian Barat supaya mendukung penyatuan wilayah Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun 1962, diadakanlah Perjanjian New York.

(5)     Menjadi salah satu delegasi bersama Menteri Luar Negeri Indonesia dalam Perjanjian New York. Isi dari perjanjian itu akhirnya mengharuskan pemerintah Kerajaan Belanda untuk bersedia menyerahkan wilayah Irian Barat ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Maka mulai dari saat itu wilayah Irian Barat masuk menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...