Senin, 29 Maret 2021

REFLEKSI: 84 MUZAfiR

Saudara-saudara terkasih,  Lihatlah, betapa besar kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita,  sehingga kita disebut anak-anak Allah,  dan memang kita sungguh anak-anak Allah.  Karena itu dunia tidak mengenal kita,  sebab dunia tidak mengenal Dia.  

 

Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita ini sudah anak-anak Allah, tetapi bagaimana keadaan kita kelak belumlah nyata.  Akan tetapi kita tahu bahwa, apabila Kristus menyatakan diri-Nya,  kita akan menjadi sama seperti Dia,  sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.  Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, ia menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci. (1Yoh 3:1-3)

 

Bacaan kedua Minggu, 1 Yoh 3:1-3, 1 November 2020, sangat menggelitik untuk kita refleksikan. Pertama, Yohanes mempertegas, kita semua mendapat  karunia sebagai anak-anak Allah. Kedua, dunia tidak mengenal kita. Ketiga,  jika setiap manusia tetap menjadi  anak-anak Allah harus menyucikan diri seperti Yesus yang suci. Artinya, “kedudukan anak Allah” tidak secara otomotis menjadi milik kita. Kita harus “memperjuangkan dalam peziarahan”:  menjadi musafir.

Muzafir adalah orang yang melakukan ziarah. Orang-orang Kristiani perdana melakukan peziarahan ke tempat-tempat penderitaan Kristus di Yerusalem. Pasti, terjadi transformasi: semakin menyadari betapa besar kasih Tuhan pada umat-Nya.  Pasti, iman para muzafir diteguhkan dan dikuatkan. Pasti, spirit hidup melayani dan mewartakan “kabar gembira” semakin membara.

Sisi lain, hidup dan kehidupan para muafir atau peziarah tidak sekadar terfokus pada tempat yang mereka kunjungi. Hidup dan kehidupan ditumbuhkan sehingga, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib (Filipi 2: 5-8)

Kemuzafiran, bercirikhas hidup dan kehidupan sebagai anak-anak Allah, harus berpikiran dan berperasaan seperti Kristus Yesus.

Bagaimana dengan kita yang sedang berziarah di dunia ini? Apakah kita termasuk dalam kumpulan orang banyak yang layak disebut kudus?

Banyak orang berkata bahwa hidup itu tidak adil. Dunia menjunjung tinggi kesempurnaan fisik, kekayaan, popularitas, dan kedudukan. Setiap hari media sosial mencuci otak banyak orang bahwa seolah yang bahagia hanyalah milik para miliuner, pejabat, atau publik figur.

 

Maka tidak heran jika kita melihat kenyataan masyarakat di media sosial, televisi-televisi,  tampak yang kaya tambah kaya, sementara yang miskin tambah miskin..

 

Setiap orang yang dibaptis menerima identitas baru sebagai anak-anak Allah,  dalam peziarahannya harus tetap teguh, entah cara hidupnya, perjuangannya, kesaksian hidupnya, sampai akhir hidupnya kelak. Inilah kekudusan seorang muzafir.

 


Materai seorang muzafir, dengan tegas disampaikan oleh Yesus, Matius 5:1-12:


Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah,  karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga.  

1)       Berbahagialah orang yang berdukacita,  karena mereka akan dihibur.  

2)       Berbahagialah orang yang lemah lembut,  karena mereka akan memiliki bumi.  

3)       Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran,  karena mereka akan dipuaskan. 

4)        Berbahagialah orang yang murah hati,  karena mereka akan beroleh kemurahan.  

5)       Berbahagialah orang yang suci hatinya,  karena mereka akan melihat Allah. 

6)       Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. 

7)       Berbahagialah orang yang dianiaya demi kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah kamu,  jika demi Aku kamu dicela dan dianiaya,  dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat; bersukacita dan bergembiralah,  karena besarlah ganjaranmu di surga.”

Sahabat, pengalaman hidup membuktikan bahwa materi dan kedudukan bukan jaminan hidup bahagia. Bergelimpang materi dan “kekuasaan abadi” bukan jaminan kebahagiaan. Kebahagiaan dan hidup bahagia menjadi milik kita bila kita hidup di jalan Tuhan  yang secara tegas dalam kotbah di atas bukit Yesus sampaikan “delapan jalan kebahagiaan”.

Dengan demikian,  kita tetap bahagia menjalani peziarahan hidup sebagai MUZAFIR....

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...