Rabu, 17 Maret 2021

REFLEKSI 82: PAHLAWAN NASIONAL FRANS KAISIEP

 

Frans Kaisiepo,  lahir di Pulau Biak, 10 Oktober 1921. Wafat di Jayapura, 10 April 1979. Frans Kaisiepo, berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993, adalah PAHLAWAN NASIONAL, dari Papua.

 

Frans Kaisiepo, dimakamkan di Taman Pahlawan Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Namanya  diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo dan  Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut (AL), putra Frans Kaisiepo dari pasangan suami istri (Pasutri) Albert Kaisiepo dan .Frans Kaisiepo. Dikaruniai  dua puteri: Suzana Kaisiepo dan Kartini. 

 

Frans Kaisiepo sosok pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Tanah Papua yang dikenal karena jasanya bagi Bumi Cendrawasih. Frans kaisiepo merupakan Gubernur Irian Barat ke-4, 1964 s.d. 1973. Dikenal atas perjuangannya dalam memmpersatukan wilayah Papua dengan Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Pada 31 Agustus 1945, Papua masih diduduki Belanda, Frans termasuk salah satu orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan orang pertama yang mengibarkan Merah Putih dan menyayikan lagu “Indonesia Raya di Papua.

Perjuangan Frans Kaisiepo dibuktikan dengan pergerakannya melawan Belanda di Biak pada 1948. Ia  menolak usulan pembentukan Negara Indonesia Timur. Dalam perjuangannya, Frans Kaisiepo bahkan pernah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara oleh Belanda. Ia menjadi tahanan politik mulai 1954 hingga 1961.

Debut Kaisiepo sebagai tokoh politik bermula saat menjadi utusan dalam Konferensi Malino. Sebelum menuju Malino, Kaisiepo menyusup ke penjara Hollandia untuk bertemu Soegoro dan meminta petunjuk. Dengan  nekat menerobos masuk ke dalam penjara kolonial di Hollandia ( Jayapura).

Setelah melobi dalam bahasa Biak, Kaisiepo dengan mulus bertamu ke penjara. Guru dan murid bersua. Soegoro memberinya wejangan singkat namun begitu melekat dalam pikiran Kaisiepo.

“Hari itu, yaitu 9 Juli 1946,” kenang Kaisiepo dalam risalah berjudul “Irian Barat” yang terbit tahun 1961 dan termuat dalam koleksi ANRI khazanah arsip Marzuki Arifin No. 383. “Rahasia dan janji dipegang teguh. Pertemuan berlangsung selang sejam, tetapi cukup berkesan. Waktu bersalam-salaman tak disengaja keluarlah air mata beliau membasahi pipinya.”

 


Pada 18 Juli 1946, Kaisiepo memainkan peranannya di Malino dengan penuh semangat. Sebagai delegasi dari Papua, Kaisiepo nyatanya tak selalu mewakili kepentingan Belanda. Dia mengusulkan agar nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea yang dipakai saat itu diganti dengan Irian.

Bagi pemerintah Belanda, sikap Kaisiepo mengejutkan dan di luar dugaan. Residen Papua van Eechoud yang kesal ucapan Kaisiepo tentang Irian tak lebih sebagai bentuk “chauvinisme Biak”. Karena  ulahnya di Malino, pemerintah Belanda berusaha menyingkirkan  Kaisiepo. Kaisiepo dibungkam dengan  disekolahkan selama lima tahun di Sekolah Pendidikan Pamong Praja atau Opleidingsschool voor Inheemsche Bestuursambtenaren (OSIBA). Antara 1954-1961, dia ditugaskan di distrik-distrik terpencil seperti di Ransiki, Manokwari, Ayamu-Taminabuan, Sorong, dan di Mimika, Fak-fak.

Pada  konferensi-konferensi selanjutnya, tak ada lagi wakil dari Papua. Kepastian masa depan Papua dalam negara federal tak menemui titik terang. Keadaan ini terus berlanjut hingga Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949.

Sewaktu menjabat kepala distrik Mimika pada 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai politik Irian. Sebagian Indonesia (ISI). Tujuan partai ini menuntut penyatuan Papua ke dalam Republik Indonesia. Pada tahun yang sama, Trikora dikumandangkan Presiden Sukarno. Melalui ISI, Kaisiepo berperan dalam membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke Mimika.

Sejak pengakuan kedaulatan, wilayah Papua disengketakan antara Indonesia dan Belanda. Belanda menangguhkan penyerahan wilayah ini karena kepentingan politik dan ekonomi. Indonesia mendapat pengakuan atas wilayah Papua dalam Perjanjian New York, 15 Agustus 1962.

Pada 1964, Kaisiepo ditunjuk sebagai gubernur menggantikan Eliezer Jan Bonay –sosok antikolonial tapi juga menentang kesewenang-wenangan pemerintah Indonesia atas rakyat Papua sehingga harus kehilangan jabatannya, bahkan ditahan, dan setelah bebas pergi ke Belanda untuk mendukung Organisasi Papua Merdeka sampai wafat pada 1989.

Semasa kepemimpinannya, Kaisiepo mengemban misi khusus: memenangkan Indonesia dalam penentuan pendapat rakyat (Pepera) –yang ditetapkan dalam Perjanjian New York– tahun 1969. Dia juga ditunjuk sebagai ketua Penggerak Musyawarah Besar Rakyat Irian Barat yang bertujuan mempersiapkan langkah penyatuan Irian Barat menjelang Pepera.

Secara maraton, Kaisiepo melancarkan kampanye ke seluruh kabupaten: Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, dan Jayapura. Setiap kabupaten diwakili beberapa wakil dalam Dewan Musyawarah Pepera. Kaisiepo terus meyakinkan anggota dewan agar memilih Indonesia, alih-alih memerdekakan diri.

“Sebagai orang tua dan Bapak Irian Barat ingin menanyakan kepada saudara-saudara sekalian. Apakah saudara-saudara ingin tetap merdeka dalam keluarga besar Republik Indonesia atau tidak? Saya yakin, bahwa saudara-saudara telah mengenal dan mencintai merah putih,” ujar Kaisiepo dalam pidato di kabupaten Jayawijaya,” (Salikin Soemowadjojo dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Pepera dimenangkan pemerintah Indonesia. Pada 1969, Frans Kaisiepo menjadi delegasi Indonesia yang turut menyaksikan ratifikasi hasil Pepera di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Namun, di sana dia “dijaga ketat” dan tak diberikan kesempatan untuk bersuara.

Selepas pensiun, Kaisiepo ditarik pemerintah pusat ke Jakarta. Dia diperbantukan sebagai pegawai tinggi Kementrian Dalam Negeri. Pada saat bersamaan, dia diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sampai akhir hayatnya tahun 1979.  (disarikan dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...