Minggu, 28 Februari 2021

REFLEKSI : (3) KERINDUAN HAKIKI

Dalam salah satu cerita pendeknya, pengarang besar Kuntowijoyo, yang berjudul “Sepotong Kayu untuk Tuhan” (Pustaka Firdaus, 1992) merentangluaskan bagaimanakah seharusnya setiap orang menghidupi dan menghidupkan keberagamaannya dengan selalu berjalan di dalam terang kebenaran.

 

Dengan bahasa "cerdas”, Kuntowijoyo mengisahkan seorang lelaki tua yang ingin menyumbang sebatang kayu nangka (bagi orang Jawa: kayu nangka adalah bahan bangunan yang paling agung dan mulia) dari kebunnya untuk pembangunan sebuah surau di desanya. Lelaki tua sederhana-polos-tulus-saleh itu ingin merahasiakan sumbangannya.

 

Dengan bersusah-payah lelaki tua itu, dalam kegelapan malam yang paling sempurna, saat paling tepat untuk mistikus bersembah-syukur, berhasil menghayutkan segelondong kayu nangka dari kebunnya untuk dihanyutkan di sungai. Hingga, akan sampai di tempat dekat pembangunan surau.

 

Pagi-pagi buta, lelaki tua itu ingin meletakkan segelondong kayu nangka di dekat pembangunan surau agar orang melihat ‘sebuah mukjizat’ hingga orang-orang penasaran dan bertanya: dari mana asal kayu nangka ini?

 

Ternyata, kayu nangka itu hilang dibawa banjir. Gagalkah lelaki tua itu mempersembahkan yang paling agung dalam hidupnya? Apakah sumbangannya sampai pada Tuhan?

 

Sahabat, “Sepotong Kayu untuk Tuhan”, mampu menorehkan refleksi religiositas mendalam. Bak sebuah sumur tanpa dasar (meminjam istilah Arifin C. Noer alm.) takkan mengering meski setiap saat airnya ditimba, ditimba, ditimba...

 

“Sepotong Kayu untuk Tuhan” mengajak kita sampai pada kerinduan hakiki yaitu kesadaran untuk beramal dan menolong sesamanya yang membutuhkan, tersingkir, tersungkur, tertindas : tentu tidak hanya dalam soal materi, tapi juga dalam afeksi, sosio-kultural, psikologis, maupun politis.

 

Sebuah religiositas yang praktis dan kini-sini. Tidak abstrak-abstrakan. Sebuah religiositas yang mendarah daging dalam kehidupan konkret bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebuah religiositas yang berbela rasa : rasa handarbeni dan bertoleransi.

 

Selalu melihat perbedaan sebagai anugerah. Selalu optimis walau “knowing that they will be beaten" tetapi tetap bijaksana. Perang yang utama, akhirnya, memerangi “kekufuran diri sendiri’. Perang yang utama adalah memerangi pola dan mentalitas hidup “kura-kura”: bersembunyi di balik batoknya yang keras.

 

Inilah kerinduan hakiki: kerinduan sejati....


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...