Minggu, 28 Februari 2021

REFLEKSI : (2) PRIORITAS

 

“Setia pada hal-hal kecil, pasti setia pada hal-hal besar.”

 

Inilah kisah kakak-adik yang sama-sama mendapat warisan masing-masing 200 meter persegi. Si Sulung menanami tanahnya dengan berbagai tanaman: 50 meter untuk padi, 50 meter untuk kacang panjang, 50 meter untuk jagung, 50 meter untuk singkong. Ia pun panen: padi-kacang panjang-jagung-singkong. Hanya, jumlahnya sedikit-sedikit. Ia pun bisa menikmati empat macam hasil tanamannya, meski tidak dalam kurun lama.

 

Si Bungsu mempunyai pilihan berbeda. Tanah seluas 200 meter ia Tanami padi. Ia rawat dengan cermat: cukup air, cukup pupuk. Rumput liar disiangi. Hasilnya? Panenan melimpah. Keluarga si Bungsu memiliki persediaan beras, hingga panen beriutnya.

 

Realitas hidup yang kini sangat akrab, orang kehilangan fokus. Orang kehilangan prinsip hidup. “Mentalitas seketika” kini merajalela. Artinya, kita tidak mampu lagi melihat “yang penting dan perlu" dalam kehidupan kita keseharian.

 

Saat ini, “Setia hal-hal kecil, pasti setia pada hal-hal besar,” hanyalah sekadar rasionalisasi yang seolah-olah ada dan terjadi, tetapi, hanya terjadi dalam alam pikiran-alam retorika.

 

Hidup dengan prioritas memiliki terminologi ‘do and give the best. Melakukan dan memberikan yang terbaik. Tidak semata-mata personal atau kelompok. Tetapi, salus populi suprema lex esto: kesejahteraan rakyat menjadi hukum tertinggi. Hidup dengan prioritas, menempatkan pada pilihan pertama hal-hal penting dan perlu: untuk diri sendiri-masyarakat-bangsa-negara.

 

Hidup dengan prioritas berarti menyemai dan menanam tanah “warisan” yang Tuhan berikan pada kita semaksimal mungkin. Tentu, tidak dengan aneka ragam jenis tanaman. Selalu fokus pada pilihan: prioritas, dan “yang penting dan perlu" . Setiap biji yang kita semai dan tanam akan mengambil kehidupannya sendiri, berakar, bertumbuh, dan menghasilkan buah yang berlipat ganda.

 

Demikian halnya, jika kita menyemai dan menanam kata-kata positif, kehidupan kita pun akan bergerak maju pada hal-hal yang mencerdaskan-memberdayakan-mencerahkan-menguduskan. Kiita akan menuai tepat seperti apa yang kita tabur.

 

Ingatkah bagaimana Daud menghadapi Goliat? Daud yang pendek, Goliat bak raksasa. Tapi, Daud tidak menggerutu atau mengeluh. Ia mengubah seluruh keadaannya melalui keyakinan-keteguhan akan pilihannya. Ia tidak terpatri pada kenyataan Goliat tiga kali lebih besar darinya. Ia tidak dikuasai asumsi bahwa Goliat adalah pejuang yang ahli dalam berperang, sedang dirinya hanyalah seorang gembala.

 

Ia memusatkan pikiran-perasaan-jiwanya pada kebesaran Tuhan. Saat Goliat melihat Daud yang belia-kecil, ia pun berujar, “Apakah aku seekor anjing hingga kau datang dengan membawa tongkat?” Daud pun menjawab, “Dalam nama Tuhan aku datang melawanmu!”

 

Daud sadar keberadaannya. Ia tidak terpekur. Dan, dengan perkasa Daud pun berteriak lantang, “Aku akan mengalahkanmu. Tubuhmu akan menjadi makanan burung-burung!”.

Sahabat, ada mukjizat dalam mulut kita. Jika kita ingin mengubah dunia marilah mengubah kata-kata yang kita gunakan. Jika kesukaran-tantangan-kegagalan menerpa jangan menyerah dengan menggerutu-mengeluh. Urailah semua dengan menggunakan kata-kata berdaya, kata-kata yang menghadirkan mukjizat. Bila kita menemukan kata yang tepat untuk setiap kesulitan-tantangan-kegagalan, Tuhan akan mengubah menjadi rahmat-berkat-karunia.

 

Hidup dengan prioritas adalah menghidupi dan menghidupkan kata yang kita temukan untuk setiap kesulitan-tantangan-kegagalan. Inilah kata-kata berdaya, kata-kata yang menghidupkan.

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...