Minggu, 28 Februari 2021

REFLEKSI : (1) BAHAGIA

 

Kebahagiaan adalah suatu pilihan. Kita sendirilah yang menentukan untuk hidup bahagia atau menderita. Untuk hidup damai sejahtera atau hidup dalam kubangan duka nestapa. Untuk hidup penuh syukur atau mengeluh-menggerutu. Untuk hidup tanpa beban atau hidup dirundung malang.

 

Banyak orang memilih hidup menderita. Hari baru, yang seharusnya menjadi awal hidup baru, tetap saja dikuasai kekacauan pikiran-perasaan. Tetap saja memelihara kemarahan-kekecewaan-kegagalan yang terjadi ‘hari-hari sebelumnya’. Tetap saja dikuasai situasi dan keadaan masa lalu. Tetap saja tidak mampu menghapus keputusasaan-kegagalan.

 

Orang yang memilih menderita adalah orang-orang gagal, orang-orang sombong, orang-orang bermasalah. Orang-orang yang memilih menderita adalah orang-orang yang tidak memiliki sikap mental EMPAT B: berubah-bertumbuh-berkembang-berbuah.

 

Orang-orang yang melihat dan menganggap apa pun, siapa pun selalu tetap-kekal-abadi. Itu sebabnya, orang-orang semacam sedang ‘bunuh diri pelan-pelan’. Dalam korelasi dan interaksi orang-orang yang memilih menderita selalu memberi stigma, memberi cap, memberi label:  baik pada seseorang, komunitas, tempat, realitas, maupun fenomena.

 

Akibatnya, selalu berburuk sangka-curiga-picik-licik. Sekali orang berbuat salah, bagi orang-orang yang memilih hidup mendertia, selamanya dianggap salah. Sekali orang memberontak-melawan-menentang, selamanya diberi label-cap-stigma pengacau.

 

Orang-orang yang memilih menderita, dari hari ke hari, selalu berpenampilan palsu, basa-basi, licik, penjilat, otoriter, dan sadis. Mereka membuat ‘benteng kebenaran subjektif’ yang dijadikan senjata setiap menghadapi seseorang, komunitas, tempat, realitas, maupun fenomena.

 

Ciri-ciri orang yang memilih hidup menderita di antaranya: tidak mudah percaya pada orang lain, selalu curiga pada orang lain dan konteks hidupnya, selalu kawatir. Hal-hal kecil-bahkan yang remeh-temeh menjadi prioritas, yang bukan masalah dijadikan masalah, berpikiran serba instan, mau menang sendiri, tidak menghargai reputasi-dedikasi orang lain, tingkah-polahnya aneh-aneh.

 

Sahabat, hidup kita hanyalah seperti kabut-uap air-sesaat kemudian lenyap. Hidup hanya “mampir ngombe (ninum)’ ungkap pepatah. “Inilah hari yang dijadikan Tuhan. Marilah kita bersorak-sorai dan bersuka-cita karenanya,” tulis Daud dalam mazmurnya.

 

Hari yang kita lalui dijadikan oleh Tuhan. Dianugerahkan pada umat-Nya. Untuk disyukuri hingga menjadi hari yang penuh damai, penuh suka-cita, hari yang membahagiakan. Hari yang kita songsong setiap fajar merekah adalah berkat-kudus-indah mempesona yang selayaknya menciptakan damai sejahtera dan kebahagiaan.

 

Janganlah kita biarkan untuk tidak bahagia. Biarkan semua dalam ritme dan gaya hidup mereka. Desahkan saja, “Ya, sudahlah!” Lalu, kibaskan debu dan ambil jarak. Asal, jangan membencinya!

 

Jagalah sikap baik. Tetaplah berubah-bertumbuh-berkembang-berbuah di mana pun, kepada siapa pun, dan kapan pun kita berada. Biarkan Tuhan yang bekerja dan berkarya. Bukankah Sodom-Gomorah atau air bah dan perahu telah mengajarkan kebijakan ??

 

Biarkan orang hidup seturut pilihannya: bahagia atau menderita. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...