Rabu, 17 Maret 2021

REFLEKSI 80 : PAHLAWAN NASIONAL LETJEN T.B SIMATUPANG PENGGANTI PANGLIMA BESAR JENDERAL SOEDIRMAN

 

Letnan Jenderal Tahi Bonar Simatupang, yang lebih dikenal dengan nama T.B. Simatupang,  lahir di Sidakalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920, wafat di Jakarta, 1 Januari 1990, yang dimakaman di Taman Pahlawan Kalibata, adalah tokoh Militer Indonesia.  Dari pernikahannya dengan Sumarti Budiardjo Simatupang, adik dari teman seperjuangannya Ali Budiardjo,  dikaruniai empat putera.

Simatupang pernah ditunjuk  oleh Presiden Soekarno, tahun 1953,  sebagai Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KASAP) menggantikan Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang wafat tahun 1950. Secara hierarki kemeliteran  Jabatan KASAP berada di  atas Kepala Staf Angkatan  Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan.

Tanggal 8 November 2013, Keppres Nomor 68/TK/2013,   mendapat gelar Pahlawan Nasional. Juga, atas jasanya, tanggal 19 Desember 2016, Pemerintah Indonesia mengabadikan belian dalam pecahan uang logam rupiah baru: pecahan Rp 500, 00.

Sidikalang, tempat lahir Simatupang, kini , menjadi ibu kota Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara. Simatupang  adalah anak kedua dari delapan saudara. Ayanya, seorang ambtenaar, Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang. Ibunya, Nima Boru Ayahnya seorang ambtenaar bernama Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan ibunya bernama Mina Boru Sibutara. Ayahnya bekerja sebagai pegawai kantor pos dan telegraf (PTT: Post, Telefoon en Telegraaf) yang sering berpindah tempat tuga.

Simatupang menempuh pendidikannya di HIS Pematang Siantar, lulus tahun 1934. Melanjutkan ke MULO Dr. Nomensen, Tarutung, lulus  1937. Sesudahnya, melanjutkan nya, melanjutkan di di AMS, Jakarta, lulus 1940. Saat bersekolah di Batavia, terbilang siswa yang cerdas, termasuk fasih berbahasa Belanda.

Saat belajar sejarah, pernah mendebat guru sejarahnya hingga dia diusir, karena gurunya dianggap terlalu merendahkan kemampuan bangsa Indonesia. Gurunya tersebut, Meneer Haantjes, menyatakan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin bersatu mencapai kemerdekaan karena perbedaan besar di antara suku-suku, dan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin membangun tentara yang modern untuk mengalahkan Belanda.

Simatupang  menyatakan bahwa Meneer Haantjes telah menyebarkan mitos yang tidak benar. Simatupang mengatakan  sejarah akan membuktikan. Direktur sekolah, Meneer de Haan, menasihati  agar dalam mengemukakan pendapat tidak menyakiti hati orang lain. Semula Simatupang  merasa nasihat itu berjiwa kolonial.

Setelah menyelesaikan pendidikan di AMS Batavia, memutuskan mengikuti ujian masuk KMA untuk membuktikan ucapan gurunya tentang mitos orang Indonesia tidak akan pernah merdeka dan tidak bisa membangun angkatan perang, pendapat yang keliru.

Simatupang lulus KMA tahun 1942 dengan mendapatkan gelar taruna mahkota perak karena dinilai berprestasi khususnya di bidang teori. Rekan seangkatannya di KMA di antaran A.H. Nasution dan Alex Kawilarang.

Simatupang  menikah dengan Sumarti Budiardjo, adik dari teman seperjuangannya Ali Budiardjo. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, yaitu: Tigor, Toga, Siadji, dan Ida Apulia. Salah seorang di antaranya meninggal. Ia dikarunia empat cucu, yaitu: Satria Mula Habonaran, Larasati Dameria, dan Kezia Sekarsari, serta Hizkia Tuah Badia. 


 

Sebenarnya, karier militer Simatupang, sudah dimulai saat diterima menjadi kadet di KMA, Bandung, tahun 1940. Setelah menempuh pendidikan selama 2 tahun, Simatupang pun lulus sebagai perwira muda. Namun belum sempat ditugaskan di KNIL (Koninlijke Nederlands Indische Leger), pasukan Jepang merebut kekuasaan di Hindia Belanda dan KNIL pun dibubarkan.  Simatupang  dan beberapa temannya sesama perwira pribumi direkrut Jepang dan ditempatkan di Resimen Pertama di Jakarta  dengan pangkat Calon Perwira.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Simatupan bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Simatupang  bergerilya bersama Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman. Selama Perang Kemerdekaan, Simatupang diangkat  menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (WAKASAP) RI. 1948 s.d. 1949. Ia pun ikut menghadiri Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Inti konferensi  adalah mendesak Belanda menghapus KNIL dan menjadikan TNI sebagai inti kekuatan tentara Indonesia.

Ketika Jenderal Soedirman wafat pada tahun 1950, Simatupang, dalam usia 29 tahun, diangkat sebagai Kepala  Staf Angkatan Perang RI (KSAP) dengan  pangkat Mayor Jenderal, 1953.

Tahun 1953, Presiden Soekarno menghapuskan jabatan KSAP. Simatupang diangkat sebagai Penasihat Militer di Departeman Pertahanan RI, 1954 s.d. 1959.. Setelah nonaktif dari kemiliteran, Simatupang menulis buku dan mengajar di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, dan Akademi Hukum Milter/AHM). Simatupang sangat menyadari pengabdian  di militer pasti akan berakhir. Untuk itulah Simatupang mempersiapkan doktrin dan kader melalui tulisan dan membekali perwira-perwira di sekolah militer.

Simatupan resmi pensiun dari dinas militer, 21 Juli 1959, dalam usia 39 tahun, dengan Pangkat Letnan Jenderal..

Setelah melepaskan tugas-tugas aktifnya sebagai militer, Simatupang terjun ke pelayanan Gereja dan aktif menyumbangkan pemikiran-pemikirannya tentang peranan Gereja di dalam masyarakat.

Dalam aktivitas gerejawinya itu, Simatupan  pernah menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-gereaj Indonesia (PGI), Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Gereja-gereja Asia, dan Ketua Dewan Gereja-gereja se-Dunia.

Keterlibatan Simatupang dalam gerejawi  adalah rencana Tuhan. Sebuah pilihan terbaik k yang dikehendaki oleh Tuhan untuk Simatupang. Dengan pensiun muda, usia 39 tahun, Pangkat Letnan Jenderal, cerdas, malang-melintang dalam kemileteran, tepatlah Th. Sumartana, menyebut Simatupang sebagai "Teoretikus oikumenis pertama yang lahir dari lingkungan gereja-gereja di Indonesia setelah kemerdekaan".

Simatupang juga termasuk salah satu tokoh yang banyak memberikan sumbangan bagi pengabaran Injil di tanah Batak, khususnya pada era Dr. Ingwer Ludwig Nommensen, seorang misionaris Jerman, yang kemudian dijuluki dengan Rasul bangsa Batak. Karena sumbangsihnya, selain di bidang keagamaan, orang-orang Batak juga mengalami kemajuan di bidang pendidikan dan kesehatan.

Tahun 1969 Simatupang dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat.

 

Sejak kecil Simatupang sangat gemar membaca dan menulis. Banyak buku telah diterbitkan. Di antaranya adalah "Soal-Soal Politik Militer di Indonesia" (1956), "Pengantar Ilmu Perang di Indonesia" (1969), "Laporan dari Banaran" -- penuturan Simatupang tentang serangan mendadak Belanda atas Yogyakarta pada tanggal 18 Desember 1948 (diterbitkan Sinar Harapan, 1980), "Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pancasila yang Membangun" (Yayasan Idayu, 1980), "Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai", "Sinar Harapan" (1981), "Iman Kristen dan Pancasila" (BPK Gunung Mulia, 1984), "Harapan, Keprihatinan dan Tekad: Angkatan 45 Merampungkan Tugas Sejarahnya" (Inti Idayu Press, 1985), dan terakhir buku "Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos: Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa, dan Negara" yang diterbitkan oleh harian umum Suara Pembaruan dan Pustaka Sinar Harapan pada tahun 1991.

Jasa Simatupang dalam membangun masa depan, sangat dihargai oleh bangsa dan negara Indonesia. Sebagai bentuk penghargaan, Simatupang diberi anugerah Bintang Mahaputera Adipradana (diberikan pada tanggal 9 November 1995). Penghargaan ini juga diabadikan dalam bentuk pendirian Perhimpunan Institut T.B. Simatupang. Kehadiran Perhimpunan Institut T.B. Simatupang telah membuka wacana baru tentang perlunya penggalian para tokoh besar yang pernah dilahirkan bangsa Indonesia, di luar dua nama besar Sang Proklamator, Bung Karno dan Bung Hatta.

Di lingkungan kemasyarakatan, Simatupang menjabat sebagai Ketua  Yayasan Universitas Kristen Indonesia, Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM),  bahkan merupakan salah satu pencetus lembaga pendidikan ini.  ketika di Indonesia belum banyak orang yang memikirkannya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...