Secara kasat mata durian dan kedondong berbeda. Bukan hanya bentuk dan ukurannya yang berbeda. Bukan hanya warna dan rasanya yang berbeda. Tetapi juga harga dan penggemarnya. Pada musim raya durian, buah ini berlimpah. Apalagi, di sentra-sentra produksi.
Secara tradisional, daging buah yang berlebih biasa diawetkan menjadi dodol durian. Ada yang memfermentasikannya menjadi tempoyak Durian pun kerap diolah menjadi campuran bahan kue-kue tradisional, seperti gelamai atau jenang.
Terkadang, durian dicampurkan dalam hidangan nasi pulut bersama dengan santan. Dalam dunia masa kini, durian (atau aromanya) biasa dicampurkan dalam permen, es krim, maupun permen dan berbagai jenis minuman penyegar lainnya.
Bijinya bisa dimakan sebagai camilan setelah direbus atau dibakar,atau dicampurkan dalam kolak durian. Biji durian yang mentah beracun dan tak dapat dimakan karena mengandung asam lemak siklopropena (cyclopropene). Biji durian mengandung sekitar 27%. Kuncup daun (pucuk), mahkota bunga, dan buah yang muda dapat dimasak sebagai sayuran.
Berbeda dengan kedondong, tentunya. Kedondong adalah tanaman buah yang tergolong ke dalam suku mangga-manggaan. Buahnya tidak sebesar dan sesangar durian. Ukuran kecil, berwarna hijau bila masih muda. Kuning keemasan bila sudah masak. Buah kedondong dapat dimakan langsung dalam kondisi segar, atau sering pula diolah menjadi rujak, asinan, acar, atau dijadikan selai. Daun kedondong dapat dijadikan penyedap dalam pembuatan pepes ikan.
Merefleksikan ‘durian dan kedondong’ kita berhadapan dengan dua tipe manusia.
Pertama, manusia tipe kedondong. Tipe kedondong selalu menjaga ‘citra diri’. Selalu ‘jaim’. Berpenampilan ‘perlente’. Bertutur kata halus. Berperilaku santun. Tegasnya, secara kasat mata tidak ada yang kurang: Sempurna. .
Di permukaan tampak manis dan cemerlang serba menarik dan memikat siapa pun, tetapi mengecewakan. Seperti buah kedondong, di luarnya tampak halus mengkilat bersinar tetapi di dalamnya penuh serabut.
Kedua, manusia tipe durian. Bertampang ‘angker’. Terkesan angkuh. Bahkan tidak jarang ‘divonnis’: sadis, sangar, atau kejam. Meski, ‘hati. jiwa, afeksi, sangat manis, dan terpuji.
Dalam realitas, kini-sini, manusia tipe kedondong malah menjadi idola-populer. Mengapa? Orang hanya menghargai yang kasat mata, penampilan, tutur kata, atau perilaku. Sebaliknya, manusia tipe durian menjadikan orang yang akan bergaul dengannya sudah ber-apri ori sebagai orang jahat-sadis-kejam. Mengapa begitu? Karena penampilannya tidak ‘mencitradirikan’.
Sahabat, selayaknya kita bertanya termasuk manusia kedondong atau durian? Apakah kita hanya terhenti pada hal-hal yang kasat mata atau yang lahiriah? Atau kita cerdas menghargai dan menerima orang yang secara kasat-mata angker, seram, angkuh, tetapi memiliki nurani yang tulus-ikhlas?
Hidup dan kehidupan tidak sekadar popular, jaga image, jaga penampilan. Kebaikan dan kesalehan seseorang tidak didasarkan pada aspek-aspek yang kasat mata, tetapi lebih-lebih sikap batin rohani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar