Minggu, 28 Februari 2021

REFLEKSI: (6) BENING DAN KERUH

Kisah si bening dan si keruh yang aku dengar sejak masa anak-anak hingga kini tetap membekas dalam olah batin-rohani. Dikisahkan bertemulah dua saudara kandung itu di ‘tempuran’, yaitu tempat bertemunya dua sungai; si bening dan si keruh yang berasal dari sumber yang sama di kaki sebuah gunung.

Begitu keluar dari kaki bukit, si saudara tua (sulung) mengambil arah kanan yang membelah hutan. Sedang saudara mudanya mengambil arah kiri yang melewati persawahan dan permukiman.

Si saudara tua melewati hutan lebat. Hutan lindung maupun perkebunan. Airnya tetap bening, maka disebut si bening. Si bening bangga karena mampu mempertahankan diri tetap asli, tak berubah. Bahkan, mampu mengajak saudara-saudara baru yang keluar dari rawa-rawa.

Alirannya pun membesar. Jernih mempesona. Tampak kebiruan dari kejauhan sebab kedalamannya. Tak heran si bening begitu congkak, sombong, angkuh. Merasa hebat, kuat, berkuasa. Merasa dibutuhkan dan menjadi panutan.

Berbeda dengan si muda (bnngsu) yang melewati pesawahan-permukiman airnya berubah menjadi keruh dan berlumpur, maka disebut si keruh. Begitu keluar dari induknya di kaki bukit, dialirkan ke pesawahan. Untuk menyuburkan tanaman, Ada pula yang memanfaatkan untuk kolam ikan, mencuci pakaian, memandikan ternak-piaraan. Bahkan, anak-anak memanfaatkan untuk bermandi-ria sekadar melepas lelah.

Namun, si keruh tidak pernah mengeluh, menggerutu, atau menyesali perjalanannya. Si keruh bangga dapat membantu petani dalam menggarap sawah. Membantu petani ikan untuk melipatgandakan usaha. Membantu peternak, ibu-ibu rumah tangga, dan anak-anak yang memanfaatkan untuk bermandi-ria.

Betapa bahagianya si keruh ketika bertemu dengan saudara tuanya di tempuran. Dengan penuh kegembiraan ia menyapa, namun umpatan, cacian, bahkan penyesalan. Si bening tak mengenali dan tidak pernah memiliki saudara kotor, berlumpur, berbau.

Si bungsu pun menjelaskan, meski kotor, berlumpur, bau tapi bahagia karena telah memberikan ‘kebeningannya’ kepada mereka yang membutuhkan. Tapi, apa lacur, keduanya menyatu hingga masuk ke samudra luas. Sayang, si bening tetap menggerutu dan marah sepanjang perjalanan.

Sebuah kisah sederhana tapi kaya makna bila dengan hati terbuka mengurainya. Si keruh tetap bahagia memasuki samudra luas karena telah memberikan diri untuk mereka yang membutuhkan, meski, kehilangan ‘kebeningan’.

Pertama, Orang yang bersih tangannya, yaitu tidak melumuri tangannya dengan lumpur, debu, atau kotoran. Orang yang selalu melakukan apa yang harus dilakukan dan bukan apa yang tidak diinginkan tetapi dilakukan.

Kedua, orang yang murni hatinya, murni hati adalah hati mulia, tidak pernah berpikir negatif. Selalu hidup lurus, bersih, jujur.

Ketiga, orang yang tidak pernah berbohong. Orang yang berani berkata "Ya" karena benar dan berkata "Tidak" karena tidak benar. Tidak ada tipu daya atau tipu muslihat demi pembenaran-pembenaran.

Keempat, orang yang tidak pernah menipu. Tidak pernah pernah mark-up, tidak pernah mengambil yang bukan haknya. Selalu melakukan apa yang wajib dan layak dilakukan.

Yang manakah gambaran hidup kita, ‘si bening” atau “si keruh”?

Pasti, tidak ada kata terlambat untuk memperbaharui paradigma baru menziarahi hidup. Kita harus berani berubah, bertumbuh, berkembang hingga dimampukan untuk berada di Gunung Tuhan. Inilah iman dan yang Tuhan kehendaki dalam diri setiap orang beriman. (*)


 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...