Sering kita pun jengah mengapa banyak orang menyimpan dendam, memelihara perilaku menyimpang, memelihara dosa. Mengapa kedudukan-kekuasaan-jabatan selalu diburu dan harus dipertahankan? Mengapa para pemangku jabatan-kedudukan-kekuasaan lupa akan sumpahnya: menjadi abdi masyarakat sebagai wujud bela negara.
Saat Alengka diserbu balatentara Ramawijaya, Kumbakarna sedang tidur. Tidak mengetahui bahwa Alengka porak-poranda. Rahwana dan prajuritnya tak mampu lagi menandingi kekuatan prajurit Ramawijaya.
Sebenarnya, Kumbakarna sering menasihati Rahwana. Terus-menerus berusaha menyadarkan Rahwana untuk mengembalikan Dewi Sinta pada Ramawijaya. Namun, Rahwana, kakaknya tak menggubrisnya. Ketika Rahwana kewalahan menghadapi Ramawijaya, ia menyuruh adiknya bela Negara.
Usaha membangunkan Kumbakarna pun berhasil. Kumbakarna maju ke medan laga. Bukan untuk membela kakaknya. Bukan untuk membela keangkaramurkaan, kesewenangan. Kumbakarna maju bela Negara, kewajiban sebagai anak bangsa.
`
Dengan tujuan suci bela Negara yang diluluhlantakkan prajurit Ramawijaya, Kumbakarna, sang raksasa besar dan sakti itu mampu menghalau musuh. Walau, akhirnya, Kumbakarna tewas terkena busur panah Ramawijaya. Kematian Kumbakarna adalah kematian suci. Memberikan jiwa-raga demi ibu pertiwi.
Sahabat, dalam kehidupan sehari-hari, kita terjebak dalam buruk sangka. Kita melihat orang lain dari sisi kelemahan, kekurangan. Kita hanya melihat aspek fisik. Di samping itu, sering kita tidak melihat “apa yang dipikirkan-dirasakan”: ide-ide, gagasan, pemikiran. Kita hanya melihat “siapa” yang berbicara.
Seorang yang ditandai sebagai “orang vokal” karna berani mengatakan yang benar, mengingatkan kekeliruan secara otomatis harus dibatasi gerak-hidupnya. Kekritisan, keberanian mengatakan yang benar menjadi alas an untuk menyingkirkan seseorang dalam pergaulan keseharian.
Sering kita pun jengah mengapa banyak orang menyimpan dendam, memelihara perilaku menyimpang, memelihara dosa. Mengapa kedudukan-kekuasaan-jabatan selalu diburu dan harus dipertahankan? Mengapa para pemangku jabatan-kedudukan-kekuasaan lupa akan sumpahnya: menjadi abdi masyarakat sebagai wujud bela negara.
Sering, sebagai manusia, kita pun tidak dapat menerima perlakuan yang tidak adil. Sering, kita merasakan bahwa keharusan hidup benar-tertib hukum-taat aturan hanya berlaku untuk kaum sudra-papa. Dalam bidang hukum, misalnya, gara-gara satu buah semangka-mangga-coklat atau semangkuk sup, penjara menjadi tempatnya.
Sahabat, pemikiran-perasaan tersebut sangat wajar dan manusiawi. Hanya, tidak menjadi wajar bila kita “memeliharanya”. Tidak menjadi wajar bila kita menjadi patah arang. Menjadi tidak wajar bila kita memusuhi atau melawan.
Semakin memusuhi dan melawan, semakin kita terjerumus dalam lingkaran derita-sengsara. Bukankah kejahatan yang dibalas dengan kejahatan hanya menyengsarakan karna muncul kejahatan baru?
Meski hanya ada dalam dunia pewayangan, belajarlah kita pada keperkasaan Kumbakarna yang tulus-ikhlas bela Negara dengan maju ke medan laga demi kejayaan ibu pertiwi.
Belajarlah kita pada kesucian hati dalam mencintai bumi pertiwi. Banyak hal yang dapat kita lakukan demi belanegara. Mendoakan siang-malam, tak pernah henti, mereka yang melupakan janji. Mendoakan, siang-malam, mereka yang menyengsarakan dan berlaku tidak adil. Bukankah doa orang benar selalu Tuhan dengarkan?
Marilah, pada masa sulit yang tidak berperikemanusiaan ini, kita selalu mengucap mazmur Daud: “Allah adalah tempat perlindungan dan kekuatan, penolong dalam kesesakan. Kita tidak takut dan gentar sekalipun bumi berubah, gunung-gunung berguncang, bangsa-bangsa rebut, kerajaan-kerajaan guncang.” (Mazmur 46: 2-4)
Berlandaskan iman mendalam, kita yakin Tuhan yang punya rencana akan menyempurnakan rencana-Nya untuk kita semua.
Biarlah segala pembalasan ada pada Tuhan, bukan ada pada kita.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar