Rabu, 03 Maret 2021

REFLEKSI: 40 HABIS MANIS, SEPAH DIBUANG...

“Habis manis, sepah dibuang” adalah peribahasa yang paling pas untuk menggambarkan nuansa pergumulan dan pergulatan hidup, kini-sini. Semua segmen kehidupan dari tingkat yang paling bawah hingga istana mewah-megah dikuasai semangat hidup “Habis Manis, Sepah Dibuang”.

Bahkan, sendi-sendi bermasyarakat-berbangsa-bernegara, yaitu keluarga, semangat “Habis Manis, Sepah Dibuang” mematahkan kesucian perkawinan hingga menyengsarakan anak-anak buah kasih mereka. Angka perceraian pada masa covid 19 sangat memprihatinkan.

Periode April dan Mei 2020, terlihat pendaftaran cerai masih di bawah angka 20 ribu yang tercatat di PA seluruh Indonesia. Jumlah itu, lantas meningkat pada masa adaptasi kebiasaan baru yang melonjak menjadi 57 ribu perceraian pada Juni hingga Juli 2020. wilayah Jawa Barat berada di urutan teratas (2020/08/28/)

“Habis Manis, Sepah Dibuang” menumbuhkan luka batin. Menumbuhkan kekecewaan. Menumbuhkan rasa antipasti. Dan, bila tidak mampu mengelola luka batin-kekecewaan-antipati dampaknya seperti yang kita rasakan dan alami. Hal yang sangat ‘sepele’, misalnya, bersenggolan saat berjoget ‘perang saudara’ tak terelakkan. Saling memandang saat berpasan, tawuran tak bias tertahankan.

Merefleksikan “Habis Manis, Sepah Dibuang” dalam olah batin rohani mendorong kita untuk menyadari bahwa hidup ini berpasangan: utara-selatan, siang-malam, gagal-sukses, bahagia-sengsara, baik-buruk, dan seterusnya.

Dalam pemahaman dan kesadaran inilah kita akan berkemampuan untuk mengelola dengan arif-bijaksana bila situasi “Habis Manis, Sepah Dibuang” melanda hidup kita.

Tegasnya, kita harus siap gagal, siap sukses. Siap bahagia, siap sengsara. Siap diagungkan, siap dilecehkan. Dengan demikian, kita cerdas menciptakan situasi dan tidak dikuasai situasi.


 

Bila kita dikuasai situasi, kita menjadi orang kalah. Menjadi orang tak berdaya, tidak cerdas, bahkan lemah iman. Bila kita dikuasai situasi, kita tak berkemampuan menemukan jalan lain yang lebih mulus dan bebas hambatan. Kita tidak dapat menemukan alternatif-alternatif. Kita menjalani hidup seperti kura-kura: memelas dan bersembuni di batoknya yang keras.

Sebaliknya, bila kita mampu menciptakan situasi, kita menjadi pemenang. Dengan melihat dari sisi positif, sekalipun menyakitkan-menyulitkan-menyengsarakan, kita akan menemukan dimensi dan alternatif baru. Kita menemukan sinar, walaupun kecil dan jauh, tetapi kita tegak-tegar menantang badai.

Kemampuan menciptakan situasi bersumber dari kuatnya intimitas jiwa kita dengan sumber dan asal kehidupan. Kita menempatkan Tuhan sebagai penolong ‘ajaib’: tepat waktu dan susah dipahami dengan nalar kita. Kita dimampukan untuk mereguk berkat-karunia dari situasi “Habis Manis, Sepah Dibuang”

Sahabat, dalam pergumulan dan pergulatan hidup, sisi mana yang dominan dalam diri kita: dikuasai situasi atau cerdas menciptakan situasi? Sungguhkah, mazmur Daud menjadi dasar dan orientasi hidup kita?

“Tuhan adalah gembalaku,

takkan kekurangan aku.

Ia membaringkan aku

di padang yang berumput hijau.

Ia membimbing aku ke air yang tenang.

Ia menyegarkan jiwaku.

Ia menuntun aku di jalan yang benar

oleh karena nama-Nya.

Sekalipun aku berjalan

dalam lembah kekelaman,

aku tidak takut bahaya,

sebab Engkau besertaku,

gada-Mu dan tongkat-Mu

itulah yang menghibur aku” Mazmur 23: 1-4)

Sahabat, nuansa hidup “Habis manis, sepah dibuang” tidak dapat kita ingkari, tak dapat kita hanya berkelit, menggerutu, mengeluh, melawan, atau bahkan menyembunyikan di dasar lubuk hati. Kita harus berani menciptakan situasi dengan berpegang teguh ‘rencana Tuhan sangat indah.

Sebab,”Ia membimbing aku ke air yang tenang. Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku, gada-Mu dan tongkat-Mu itulah yang menghibur aku”

Janganlah kita takut kesulitan sebelum kesulitan menyulitkan. Bukankah semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa? Tuhan memberkati…

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...