Kita dibuat bingung: yang benar menjadi salah, yang salah dibenarkan, yang baik menjadi buruk, yang buruk menjadi baik, yang pahlawan dijadikan kambing hitam, yang pecundang dipahlawankan.
Dalam realitas hidup, kini-sini, yang setiap tarikan napas diteror dengan berita-berita, melalui media cetak, media elektronik, media maya, yang menyesakkan, kita pun bingung.
Kehadiran medsos lebih banyak digunakan untuk menghujat, memfitnah, penyebaran kebencian, hoaks. Kehadiran medsos, yang dirancang untuk MENCERDASKAN, MEMBERDAYAKAN, bahkan MENYEJAHTERAKAN...berubah menjadi “ajang saling menikam, saling meniadakan..
“Komersialisasi informasi", menjadikan kita gamang: sudah separah inikah masyarakatku?? Bahkan, dalam obrolan dengan teman sekerja-dengan tetangga di pos ronda, sudah seganas inilah masyarakat kita?
Kita dibuat bingung: yang benar menjadi salah, yang salah dibenarkan, yang baik menjadi buruk, yang buruk menjadi baik, yang pahlawan dijadikan kambing hitam, yang pecundang dipahlawankan.
Merefleksikan ‘nuansa bingung dan kebingungan’ kita pun menarik napas panjang: sangat manusiawi.
Bingung dan kebingungan sangat wajar. Wajar selagi kita masih ‘enjoy’ sebagai manusia. Wajar selama kita masih ‘happy’ sebagai manusia.
Pertama, kita sering hilang akal: tidak tahu harus berbuat apa. Serangan Covid 19, di seluruh pelosok dunia, termasuk di Indonesia, kebingungan beranak-pinak, karena tidak siap dengan budaya hidup bersih, disiplin, dan berempati...
Kedua, kita sering tidak tahu arah: mana barat, mana timur, tidak tahu jalan apa yang kita lakukan. Sering kita hilang pegangan siapa yang harus kita ikuti, siapa yang harus kita teladani, siapa yang harus kita jadikan kiblat dalam pergumulan dan pergulatan hidup
Ketiga, kita pun sering kurang paham dan kurang mengerti. Celakanya, malah dikategorikan orang yang memang tidak mengerti, diposisikan sebagai ‘orang bodoh; karna tidak bergelar. Kita sering tak bias mengerti harkat dan martabat manusia dihargai dari gelar yang tertera dalam selembar ijazah dan bukan dalam ‘kiprah hidup kongkret.
Sahabat, haruskah kita bertahan dan mempertahankan nuansa ‘bingung dan kebingungan’ meski wajar dan manusiawi? Haruskah kita menyerah kalah dalam pergumulan dan pergulatan hidup dengan pasrah tanpa ada kekuatan untuk berubah-bertumtuh-berkembang-berbuah?
Terjadilah kehendak-Mu harus menguasai cipta-rasa-karsa-karya kita. Terjadilah kehendak-Mu harus menjadi napas hidup kita, apa pun agama dan kepercayaan yang kita yakini. Terjadilah kehendak-Mu harus menjadi dasar pergumulan dan pergulatan hidup kita. Terjadilah kehendak-Mu, akhirnya, harus melandasi keberimanan dan keberagamaan kita.
Terjadilah kehendak-Mu menjadikan kita yakin. Kita menjadi pasti akan arah dan tujuan hidup. Kita menjadi sadar bahwa Tuhan ikut serta dalam pergumulan dan pergulatan hidup. Kita tidak akan bingung dan kebingungan menghadapi realitas hidup yang selalu membingungkan.
“Terpujilah Tuhan, sebab kasih setia-Mu, selalu ditunjukkan dengan cara ajaib pada saat aku dalam kesesakan. Sangkaku, dalam kebingungan Kau tinggalkan kesendirian. Sesungguhnya, Engkau selalu mendengar teriakan hatiku.” (Mazmur 31: 22-23).
Pasti, madah Daud menjadi napas hidup yang menghembus saat kita menarik napas. Pasti, madah Daud, mengokohkan-meneguhkan-meyakinkan hingga kita cerdas mengucap terjadilah kehendak-Mu
Dan, inilah pergumulan dan pergulatan hidup yang Tuhan rindukan…(*)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar