(Bagi mereka yang memahami “ada gula, ada semut” sebatas menghadirkan keuntungan materi akan berjuang untuk tetap ada dan berada bersama ‘orang-orang kuat’ yang berkemampuan memenuhi kebutuhannya. )
Merefleksikan pepatah “ada gula, ada semut”, kita berhadapan dengan dua realitas pergumulan dan pergulatan hidup. Dua realitas yang kontradiktif; bertolak belakang. Dua realitas yang terlahir dari putusan-pilihan berdasarkan penghayatan kebebasan, berdasarkan sikap-prinsip-gaya hidup.
Pertama, “ada gula, ada semut” dilihat dari keuntungan materi. Mereka yang menempatkan “ada gula, ada semut” demi materi-harta-kekayaan-kemudahan selalu berpihak kepada mereka yang berkemampuan memenuhi harapan dan impiannya.
Pergumulan-pergulatan hidup sebatas pada pemenuhan kebutuhan papan-sandang-pangan-kedudukan. Maka, kehilangan harga diri-jati diri pun dijalani. Yang utama-penting-perlu, segala kebutuhan tercukupi.
Bagi mereka yang memahami “ada gula, ada semut” sebatas menghadirkan keuntungan materi akan berjuang untuk tetap ada dan berada bersama ‘orang-orang kuat’ yang berkemampuan memenuhi kebutuhannya.
Tak heran, mereka aka ada dan berada di lingkaran orang-orang berharta melimpah atau orang-orang berkedudukan-berkuasa.
Bagi orang yang menempatkan “ada gula, ada semut” sebatas pemenuhan keuntungan materi, tak menjadi soal hilangnya eksistensi sebagai manusia. Oleh karenanya, menghalalkan segala cara pun akan dilakukan.
Kedua, “ada gula, ada semut” dilihat dari pemenuhan kehidupan spiritual. Mereka yang menempatkan “ada gula, ada semut” demi pemenuhan kualitas hidup spiritual selalu dan terus-menerus menempatkan olah-batin rohani sebagai kerinduan hakiki.
Hidup keberimanan tidak sekadar sebagai sebuah kebutuhan atau sebuah kewajiban tetapi sebuah ‘metanoia’; srbuah kerinduan, sebuah perubahan radikal dalam sikap tobat-sikap sembah.
Itu sebabnya, mereka yang menempatkan “ada gula, ada semut” sebagai sebuah proses pemenuhan kualitas kehidupan spiritual akan ada dan berada bersama dengan orang-orang yang menjadi hamba Tuhan.
Selalu dan tidak pernah lelah mereka akan ‘mengecap’ indahnya ‘madu rohani’ pada ‘guru spiritual”: ustad-pstor-pendeta-bikshu demi pencerahan-pemberdayaan-pencerdasan dalam pergumulan dan pergulatan hidup.
Pergumulan dan pergulatan hidup yang bertujuan materi sama halnya hidup menurut daging. Sepanjang perjalanan hidup hanya berkutat pada hal-hal yang dari daging, meski endingnya maut-kesengsaraan-penderitaan dunia-akhirat. Dalam nuansa hidup seperti ini terciptalah ‘tuhan’ yang berwujud uang, harta, kedudukan, kehormatan.
Sebaliknya, pergumulan dan pergulatan hidup yang bertujuan terciptanya kualitas kehidupan spiritual selalu berproses hidup dalam roh hingga selalu menempa dan ditempa dalam kasih-persaudaraan-harapan.
Hidup dihayati dan disyukuri sebagai berkat-karunia. Hingga, setiap tarikan napas hanyalah damai sejahtera yang membahana.
Sahabat, refleksi kita, tentu saja, berada dalam realitas pergumulan dan pergulatan hidup yang mana: materi atau spiritual?
Tuhan tidak pernah ‘merepresif’ kita untuk memilih yang mana. Kitalah yang harus memilih-menentukan. Hanya, ingatlah, salah pilih penyesalan-penderitaan-kesengsaraan akan menghiasi pergumulan-pergulatan hidup kita.
Mereka yang hidup menurut daging memikirkan hal-hal yang dari daging. Mereka yang hidup dalam roh memikirkan hal-hal yang dari roh.
Keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan roh adalah hidup dan damai sejahtera. Keinginan daging adalah perseteruan karena tidak taat akan hukum Allah, dan tidak berkenan pada-Nya,” (Roma 8: 5-8)
Sahabat, janganlah salah pilih. Hidup seumpama embun pagi, beeess, hilang dalam sekejab. Tuhan memberkati…(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar