Selasa, 02 Maret 2021

REFLEKSI: (23) JANGAN AJARI IKAN BERENANG

“Tuhanku, aku mengembara di negeri asing, di pintumu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling.”

“Jangan ajari ikan berenang”, sebuah pernyataan yang singkat, namun kaya makna. Sebuah pernyataan bijak, namun jarang masuk dalam pergumulan dan pergulatan hidup kita.

Sebuah pernyataan singkat, namun mampu menuntun kita pada kerinduaan hakiki: intimitas jiwa manusia dengan Tuhan bagai Chairil Anwar, dalam sajak AKU, berdesah penuh iman, “Tuhanku, aku mengembara di negeri asing, di pintumu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling.”

“Jangan ajari ikan berenang”, kini-sini, jauh dari hidup dan kehidupan manusia. Selalu dan terus-menerus manusia membangun diri dengan ‘pribadi semu” yang serba srakah-bengis-represif.

Tampak dengan gamblang betapa tak berdayanya ‘memberantas korupsi’, betapa rapuhnya ‘penegakan hukum”, betapa mudahnya ‘rakyat kecil tergusur-tersingkir’.

Selalu dan terus-menerus manusia tampil sebagai “sosok” yang paling hebat-paling berkuasa. Dengan kekuasaan (juga dengan uang) manusia bisa berbuat apa saja. Dengan kekuasaan manusia bisa memutarbalikkan fakta dan peristiwa.

“Jangan ajari ikan berenang,” mengarahkan kita untuk bersikap rendah hati. Mendorong kita untuk bersikap hormat-santun bahwa orang lain bukanlah ‘sebagaimana yang kita piker dan rasakan’.

Menginspirasi kita untuk tidak ‘mengenakan baju yang kita pakai’ pada orang lain.

Tegasnya, “jangan ajari ikan berenang” mengajarkan keutamaan: orang lain lebih pintar, lebih cerdas, lebih bijak, lebih saleh.

Pengakuan-penghargaan bahwa orang lain ‘memiliki kelebihan’ daripada yang kita pikIr dan bayangkan akan mendorong kita untuk tidak berlaku sewenang-wenang, semena-mena. Mendorong kita hidup dengan ilmu padi , “semakin berisi semakin menunduk’”

Pengakuan-penghargaan bahwa orang lain ‘memiliki kelebihan’ daripada yang kita bayangkan akan mendasari persaudaraan sejati, tanpa harus dibatasi sekat-sekat lahiriah. Bukankah apa yang kita lakukan untuk saudara kita yang paling hina kita lakukan pada Tuhan?

Sahabat, kerendahan hati dan kearifan ‘jangan ajari ikan berenang’ hanya dimiliki oleh orang-orang yang selalu berucap, “Ya Tuhan, Allahku, pada-Mu aku berlindung, Engkau yang menguji hati dan batin orang, ya Allah yang adil. Perisai bagiku adalah Allah, yang menyelamatkan orang-orang yang tulus hati,” (Mazmur 7:10-11) apapun agama dan kepercayaannya. 


 

Hanya orang-orang yang selalu berlindung pada Tuhan akan menjalani hidup dalam ‘sinar kasih ilahi’. Hormat pada sesama, berlaku adil, jujur dan tulus dalam berkata dan berbuat, solider dan familiar menjadi perwujudan hidup, dan menjadi berkat-kegembiraan-kedamain setiap saat.

Sahabat, kerendahan hati dan ketulusan yang menjadi perekat keindonesiaan selayaknya menjadi tujuan pergumulan dan pergulatan hidup kita.

Berlomba-lombalah dalam mewujudkan kerendahan hati dan ketulusan agar hidup kita menjadi indah mempesona.

Berlomba-lombalah dalam mewujudkan kerendahan hati dan ketulusan hati agar kedamaian-ketenteraman-kesejahteraan sungguh menjadi kenyataan di negeri yang kita cintai bersama.

“Jangan ajari ikan berenang", sungguh kaya makna. Menuntun kita untuk berintimitas jiwa, besikap sembah, bersyukur, dan bertobat. Di dalamnya, kita yakin dan percaya, Perisai bagiku adalah Allah, yang menyelamatkan orang-orang yang tulus hati, Tuhan memberkati… (*)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...