Kita takut berada dalam suasana hening:
saat-saat teduh, saat-saat mengatur napas,
saat-saat berduaan dengan Tuhan,
saat-saat menyatukan kodrati dan adikodrati.
Sebuah iklan mempunyai pengaruh yang luar biasa. Perhatikan saja di televisi: jelas lebih enak, pakai...lupakan yang lain, ewes-ewes bablas. Anak-anak (juga orang tua, remaja) gampang terpengaruh. Kata-kata iklan gampang diingat, berpengaruh, malah menggedor relung kesadaran untuk mewujudkannya. Tunda belanja Anda hingga tanggal... diskon 70%. Luar biasa kan? Tidak sedikit orang ’terkecoh’. Sangkanya semua barang didiskon 70%. Nyatanya, kita temukan wajah-wajah kecewa.
Dari realitas tersebut, kita berhadapan dengan manusia modern dengan ciri khas ”bergaya hidup model iklan”. Bersikap konsumtif, glamour, suka pamer kemewahan. Celakanya, anak-anak dan remaja juga terjebak ’gaya hidup iklan’. Indikatornya? Malas, tidak sanggup berprihatin, berpenampilan trendy, dan budak teknologi.
Di negara berketuhanan ini, seharusnya, ayat-ayat Kitab Suci bergema-bermakna. Selayaknya setiap orang dihidupi dan dihidupkan oleh kekuatan ayat-ayat Suci. Selayaknya, ayat-ayat Suci memampukan setiap pribadi untuk ’tahu diri, tahan uji, bervisi, bernurani’.
Senyatanya, negeri ini semakin porak-poranda karena Ayat-ayat Kitab Suci, tidak menjadi dasar hidup. Ayat-ayat Suci yang seharusnya seperti air yang membuat tidak pernah haus, makanan yang membuat tidak pernah lapar, pakaian yang tidap pernah usang, kini, tak lagi bergema-bermakna.
Mengapa hati manusia Indonesia tak lagi merasa berdosa bila merampas hak hidup orang? Mengapa hati manusia Indonesia tak lagi terbeban dengan malu bila ’mencuri- merampok-merampas uang rakyat’? Bukankah setiap hari membaca atau mendengar Ayat-ayat Suci?
Pertama, kita lebih ’betah’ dengan diri sendiri: pola pikir, pola rasa, pola bertindak. Demikian juga dalam memandang hidup dan kehidupan sekitar; dengan cara pandang dan pola yang kita kehendaki. Mengapa? Diri sendirilah ukuran dan takaran kebenaran.
Tidak mengherankan bila Ayat-ayat Suci sulit bergema-bermakna bagi orang yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka telah ”membatu”, telah ”mematung”. Pinjam istilah Ebiet G. Ade mereka ”mati dalam hidup”
Kedua, kita terkondisikan dalam ’sistem orang ndablek’: sakarepe dhewe (semaunya sendiri). Yudas Iskariot, misalnya, setiap hari bergulat bersama Yesus tetapi tak bergeming, tak bertumbuh, tak berkembang. ”Orang ndablek” adalah orang-orang yang mampu mengalahkan Tuhan!
Ketiga, kita takut berada dalam suasana hening: saat-saat teduh, saat-saat mengatur napas, saat-saat berduaan dengan Tuhan, saat-saat menyatukan kodrati dan adikodrati.
”Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab itu, Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin: dan Ia telah mengurapi Aku untuk memberitahukan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, membebaskan orang-orang tertindas bahwa Tahun Rahmat telah datang (Lukas 4: 19-20)
Secara analog, agama dan keberagamaan seperti gelas dan isinya. Agama lebih menunjuk kelembagaan kebaktian pada Tuhan dengan segala aspeknya: yuridis, resmi, aturan, hukum, ritual, serba seluruh organisasi tafsir alkitabiah.
Sedang, keberagamaan atau religiositas lebih melihat dalam lubuk hati, riak getaran hati-nurani pribadi, sikap sembah, sikap tobat, yang sedikit banyak misteri bagi orang lain karena merupakan intimitas jiwa, cita-rasa yang mencakup totalitas jiwa Mari kita bangun negeri ini dengan menggemakan ayat-ayat Suci hingga hidup kita bermakna.
Banyak kita temukan di Youtube: orang bangga bila dapat merendahkan agama yang dianut orang lain. Orang bangga dengan omongan yang ngawur tentang agama yang dianut orang lain.
Mereka hanyalah gelas-gelas kosong. Gelas tanpa isi.
Orang yang memiliki keberagamaan atau religiositas tinggi:
pasti menerima, menghormati, mengakui sesama yang berbeda kepercayaan dan keyakinan.
Tuhan memberkati...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar