Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah diasinkan?
Rendah dirilah yang mendasari orang membangun ‘citra diri’ atau ‘pencitraan’ semu. Mereka lupa bahwa citra diri tidak dapat direkayasa. Citra diri tidak terjadi karena ada ‘tim sukses” dengan berbagi strategi pencapaian. Citra diri tidak bisa dibeli. Citra diri adalah wujud keberagamaan. Proyeksi dari ketulusan, kejujuran, serta keikhlasan dalam setiap perbuatan.
Orang yang tidak percaya diri serta rendah diri akan berusaha dengan berbagai cara demi citra diri yang baik-benar-penuh kasih. Orang yang tidak percaya diri serta rendah diri ‘memproyeksikan dunia angan-angan’ seolah-olah nyata. Laksana sabun cuci berbusa-busa namun hilanglah ‘si sabun cuci’.
Sebaliknya, orang yang percaya diri dan memiliki harga diri tidak ambil pusing dengan citra diri atau pencintraan. Bagi mereka yang utama adalah “do and give the best”: melakukan dan memberikan yang terbaik. Yang utama adalah pengabdian-pelayanan. Yang mereka pikir dan lakukan hanyalah mencerdaskan, memberdayakan, dan menyejahterakan. Orang-orang yang percaya diri dan memiliki harga diri pasti bernurani serta berkerendahan hati.
Bila tangan kanan memberi, maka tangan kirinya tak layak mengetahuinya. Tidak pernah hidup dalam narsisme: mengagung-agungkan diri. Tidak pernah menonjolkan diri. Sangat sadar bahwa apa yang dilakukan-diberikan hanyalah setetes air di lautan luas, hanyalah sebutir pasir di pantai.
Orang-orang yang percaya diri, berkerendahan hati, dan berharga diri sangat sadar dalam pergumulan hidup sebagai garam dan terang.
Orang-orang yang percaya diri, berkerendahan hati, dan berharga diri selalu berjuang untuk memberi rasa dalam hidup bermasyarakat-berbangsa-bernegara. Dengan tulus-ikhlas akan berusaha merajutkan kasih persaudaraan, pengabdian, dan pengorbanan tanpa pamrih.
Tidak pernah lelah dan berhenti dalam merajut kasih persaudaraan: kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. Orang-orang yang percaya diri, berkerendahan hati, dan berharga diri akan memberi arah dalam hidup bermasyarakat-berbangsa-bernegara. Kehadirannya akan selalu memotivasi-menyemangati hingga kedamaian-kesejahteraan-ketenteraman terjadi dalam keidupan bersama.
Garam dan Terang adaLah sebuah metafora yang digunakan oleh Yesus pada saat Kotbah di Bukit, salah satu pengajaran utama Yesus tentang moralitas dan kedisiplinan. Metafora tersebut muncul dalam Matius 5:13-16 menyusul Ucapan bahagia dan merujuk kepada ekspektasi dari para murid.
Siapapun yang mengikuti-Ku tak akan berjalan dalam kegelapan, namun akan memiliki terang kehidupan. Yesus kembali mengklaim menjadi Terang Dunia dalam Yohanes 9:5, pada saat mukjizat menyembuhkan orang buta sejak lahir, dengan berkata: Ketika Aku ada di dunia, Akulah Terang Dunia.
Menjadi garam dan terang, dengan memberi rasa dalam hidup serta memberi arah dalam hidup, inilah yang akan menunjukkan kualitas kita sebagai manusia. Bukankah gajah mati meninggalkan gading?
Orang-orang yang menjadi garam dan teranglah yang akan menjadi panutan-teladan. Mereka memiliki citra diri abadi. Dibangun dan diperkokoh setiap tarikan napas.
Kamu adalah garam dunia.
Jika garam itu menjadi tawar,
dengan apakah diasinkan?
Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.
Kamu adalah terang dunia.
Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.
Lagipula orang menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang,
melainkan di atas kaki dian
sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.
Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Tuhan di surga,” (Matius 5: 13-16)
Tuhan memberkati...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar