Selasa, 02 Maret 2021

REFLEKSI : (15) NALURI ROHANI

 

REFLEKSI : (15)

NALURI ROHANI

 

Sejak manusia diciptakan, naluri rohani dianugerahkan dalam diri manusia. Pengalaman persatuan yang sangat mendalam dan personal antara Tuhan dengan manusia menjadi dasar religiositas. Pengalaman mistik pertama-tama adalah sebuah anugerah Tuhan. Artinya, kita tidak pernah tahu kapan Tuhan akan menganugerahkan pengalaman tersebut kepada kita. Kita juga tidak dapat ”merekayasa” dengan usaha-usaha manusiawi.

 

Tuhanlah yang mempunyai inisiatif untuk menyapa manusia secara personal. Pengalaman ini terjadi karena ada kerja sama yang baik antara Tuhan dan manusia.

 

Tuhan: menawarkan rahmat, karunia dan berkat sedangkan manusia menanggapi. Tuhan begitu rindu untuk dekat dan masuk ke kedalaman hati manusia, dan manusia membiarkan diri untuk didekati dan dimasuki Allah.

 

Sejak manusia diciptakan, naluri rohani dianugerahkan dalam diri manusia. Naluri rohani yang dianugerahkan bagaikan sebuah benih. Dan, perkembangan benih naluri rohani ini dipengaruhi oleh keluarga, lingkungan/masyarakat juga budaya yang ada.

 

Jika keluarga, masyarakat, budaya mendukung berkembangnya benih naluri rohani ini, maka naluri rohani seseorang akan semakin berkembang. Demikian pula sebaliknya jika keluarga, masyarakat, budaya kurang mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya benih naluri rohani ini, maka benih tersebut juga tidak akan berkembang.

Pengalaman persatuan yang mendalam dan personal dengan Tuhan, bukanlah pengalaman yang terjadi sekali dan selesai, tetapi sebuah proses pembangunan sebuah relasi yang semakin personal antara Allah dengan manusia. Sebuah latihan rohani yang dilakukan secara terus menerus, melalui proses jatuh bangun dan melibatkan rahmat Allah.

 


Tidak ada istilah selesai dalam pembangunan relasi ini. Semakin relasi yang kita bangun intens dan berkualitas, semakin mendalam dan personallah relasi kita dengan Tuhan.

 

Beberapa sikap yang perlu kita bangun dalam menjalin relasi dengan Tuhan agar semakin mendalam dan personal adalah: kerinduan untuk datang dan tinggal bersama Tuhan. Tiga prasyarat menumbuh-kembangkan ”naluri rohani”: kerinduan, datang, dan tinggal bersama Tuhan.

Pertama, doa sebagai kerinduan untuk bersemuka dengan Tuhan. Kita dapat merefleksikan apakah doa itu suatu kewajiban, kebutuhan, atau kerinduan?

Jika kita menghayati doa sebagai suatu kewajiban, maka kita akan memandang bahwa doa sebagai sebuah aturan yang mesti dilakukan.

 

Sedangkan kalau kita menghayati doa sebagai sebuah kebutuhan, maka kita akan berdoa kalau kita membutuhkan Tuhan. Doa kita maknai sebagai pemenuhan kebutuhan kita.

 

Bila doa dihayati sebagai kerinduan pada Tuhan, pasti ada dorongan dari dalam yang kuat untuk selalu bertemu dengan Tuhan secara personal.

Kerinduan untuk bertemu dengan Tuhan akan mendorong seseorang untuk datang ke Tuhan. Setelah datang ke Tuhan, Dia akan mengajak kita untuk tinggal bersama Tuhan. Daud, dalam mazmur-mazmurnya selalu berkidung:

Seperti rusa merindukan air sungai, demikianlah jiwaku rindu akan Engkau, ya Allah... (Mz. 42:2). Hal serupa juga diungkapkan: ”Ya Allah Engkaulah Allahku, kucari dan kurindukan Engkau. Seperti tanah tandus haus akan air, begitulah aku haus akan Dikau” (Mz. 63:2).

 

Kedua, keterbukaan hati. Terbuka tidak hanya berkait dengan kemampuan menerima, tetapi juga rela melepaskan kerinduan/sesuatu yang paling berharga yang dimilikinya.

 

Ada kesiapsediaan untuk menerima Rahmat Tuhan (dalam segala bentuknya: baik yang manis maupun yang pahit; baik yang membahagiakan maupun yang menyedihkan/menyakitkan) yang dapat mengembangkan relasi personalnya dengan Allah tetapi juga rela melepaskan sesuatu (ide, pemikiran, relasi, tugas, dll) jika tidak sesuai dengan kehendak Tuhan atau dapat menghambat relasi personal dengan Allah.

 

Ketiga, kerendahan hati untuk menyadari dan mengakui bahwa Tuhanlah kekuatan dan sumber kasih setia. Kesadaran ini akan membantu kita untuk selalu menyandarkan hidup pada Tuhan. Kerendahan hati adalah keutamaan yang mampu menyuburkan hidup panggilan kita. Lima bulan terakhir ini, kita semua gamang.

 

Hiruk-pikuk ”budak-budak kekuasaan” lihai menggali lubang, menutup lubang. Semua berujung kesia-siaan. Panggung nasional membeberkan bahwa ’ketidakadanya pengalaman mistik dalam diri seseorang”, maka apapun dapat diputarbalikkan.

Itu sebabnya, menjadi sangat logis, diadakannya SERTIFIKASI bagi para penceramah dan penyiram rohani, sehingga penceramah membawa pencerahan dan bukan perpecahan.

Jangan lelah dalam melakukan apa yang baik, Tuhan adalah Tuhan yang adil. Tuhan melihat tidak hanya apa yang Anda lakukan, tetapi juga mengapa Anda melakukan.

 

Tuhan melihat tindakan-tindakan kebaikan dan kemurahan yang anda lakukan. Tuhan akan menganugerahkan kedamaian-kesejahteraan-ketenteraman.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...