Selasa, 02 Maret 2021

REFLEKSI : (13) KEBENARAN

Yang terjadi sekarang ini: gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak

 

Mencari kelemahan dan kekurangan orang lain lebih mudah daripada menemukan kebaikan atau kelebihannya. Saking mudahnya, membicarakan kelemahan-kekurangan orang lain menjadi ‘ritual harian yang mengasyikkan’: kapanpun dan di manapun. Tidak hanya di kantin sekolah, kantin kantor atau perusahaan. Tidak hanya di kafe-kafe, lobi-lobi hotel (melati-berbintang) sangat mengasyikkan.

 

“Ritual harian yang mengasyikkan’ tidak melulu menyangkut penampilan, watak, atau sikap hidup, tetapi juga perilaku para pemangku jabatan: dari daerah hingga pusat. Tidak sekadar bergunjing betapa mudahnya para pemangku jabatan mengumpulkan dan menumpuk kekayaan, tetapi juga hingga hal-hal yang melanggar moral-etika.

 

Tingkah polah para artis yang “merajai” televisi swasta, bahkan, gossip-gosip politik laris-manis dalam “Ritual harian yang mengasyikkan’.

 

"Profesor psikologi dan neurosains di Duke University yang memiliki spesialisasi di bidang psikolog sosial dan personal, Mark Leary, PhD menjelaskan, bergosip adalah sebuah insting mendasar manusia. Sebab, kita hidup mengakar dalam kelompok.

 

Demikian juga penyebaran hoaks seakan sah, tak bersalah, atau tak berdosa. Padahal, pelanggaran berita hoaks atau bohong diatur dalam pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Bunyi pasal tersebut adalah, 'setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik'. Pelanggar ketentuan pasal 28 UU ITE ini dapat dikenakan sanksi yang tercantum dalam dalam Pasal 45A ayat (1) UU ITE dengan dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar.

 Refleksi kita, tentu saja, apa kelebihan kita sebagai umat beriman? Bukankah setiap orang beriman harus hidup benar, hidup baik, hidup mulia, dan hidup saleh? Bukankah dengan menunjuk dengan telunjuk, empat jari tangan kita mengarah ke diri kita sendiri?

 


Sang Guru Sejati menghendaki agar para murid berani berkata YA: karena benar, berani berkata TIDAK: karena tidak benar. Artinya, kehidupan keberagamaan tidak sebatas pada perilaku saleh: doa-ibadah. Kehidupan keberagamaan bukan sekadar memenuhi aturan agama. Kehidupan keberagamaan bukan hanya berkutat di tempat ibadat. Keberagamaan seseorang tampak dengan hidup benar-baik-mulia-saleh.

 

Sahabat, hidup kita: pergumulan dan pergulatan hidup merupakan wujud nyata kebenaran-kebaikan-kemuliaan-kesalehan.

Tanpa perwujudan itu, sia-sialah keberagamaan kita.Tanpa menjadikan diri sebagai wujud nyata kebenaran-kebaikan-kemuliaan-kesalehan sia-sialah keberimanan kita.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...