“Bukan orang sehat yang memerlukan tabib
tetapi orang sakit.
Aku datang bukan untuk memanggil orang benar
tapi orang berdosa.”
Terdorong rasa malu, karena adiknya tidak berparas elok, Bambang Sumantri menangis dan menyesali perbuatannya. Sayang, tangis dan sesal tidak mampu menghidupkan adiknya yang telanjur mati tertembus panah sakti miliknya. Kisah Bambang Sumantri-Bambang Sukrosona kita temukan dalam epos Ramayana dan dunia pewayangan. Kisah yang sangat akrab dalam kehidupan masyarakat, khususnya kalangan etnis Jawa.
Berawal pada ‘niat suci’ Bambang Sumantri untuk berbakti pada Negara dan bela Negara, ditinggalkannya tanah kelahiran. Dengan berbekal ‘olah batin rohani dan olah keprajuritan’ Sumantri pun menanjak dalam kariernya.
Namun, kepergian Sumantri membuat adiknya, Bambang Sukrosono, yang berparas tidak setampan kakaknya selalu cemas-gelisah.
Diam-diam ia pergi menyusul kakak yang sangat dicintainya. Kekuatan kasih persaudaraan mengantarkan Sukrosono bertemu dengan kakaknya yang sedang dirundung duka karna harus mampu “memindahkan taman Sri Wedari’. Sukrosono pun berjanji akan membantu dengan syarat kakaknya tidak akan meninggalkannya.
Taman pun berhasil dipindahkan. Namun, Sumantri ingkar janji. Dipentang panah sakti guna menakut-nakuti. Tapi, anak panah lepas dari busurnya. Sukrosono mati di tangan kakaknya sendiri.
Kisah Sumantri-Sukrosono sangat dekat dan lekat dalam hidup dan kehidupan kita. Selalu dan di mana pun terjadi dan terus terjadi. Kita memandang orang dari yang tampak-rompak dan mudah ingkar janji.
Hal-hal lahiriah yang laris-manis dalam mengukur persahatan dan persaudaraan. Aspek fisik: tampan-cantik menjadi dasar berteman-bersahabat-berkomunitas. Ketampanan-kecantikan menjadi ‘aset’ utama dalam berelasi dan berkorelasi dengan sesama.
Tataran kedua aspek penampilan dan pernak-perniknya: mobil-pakaian-perhiasan-asesoris. Selanjutnya, kepemilikan dan harta kekayaan. Tampan-perlente-berharta menjadi syarat wajib kolegialitas. Integritas-personalitas-ketakwaan tidak lagi menjadi faktor penentu dalam bermasyarakat-berbangsa-bernegara.
Imbas tergerusnya kolegialitas sejati berdampak menjamurnya salah nalar: uang menjadi penentu. Ingin memiliki kedudukan-jabatan-gelar-pekerjaan bergantung berapa bisa bayar. Ingin terbebas dari perilaku menyimpang-korupsi-penyalahgunaan wewenang bergantung berapa bisa bayar.
Demikian halnya dalam konteks hidup bermasyarakat-berbangsa-bernegara “non causa pro causa” (yang bukan sebab menjadi sebab) menjadi dasar pembenaran.
Sahabat, obat itu pahit, tapi menyembuhkan. Menyesal-bertobat itu ‘menyakitkan’ tetapi mencerahkan. Haruskah kita membangun hidup dan kehidupan ini dalam kepura-puraan? Haruskah kita menghancurkan hidup sendiri hanya demi gengsi-kehormatan-penampilan semu? Tidak yakinkah kita bahwa Tuhan menanti kita dengan penuh kasih cinta?
Saatnya kita berani berubah-bertumbuh-berkembang dalam kebenaran-kebaikan-kemuliaan-kekudusan. Saatnya kita meninggalkan kesombongan-kecongkakan-kemunafikan. Saatnya kita ‘menjadi taman indah’ hingga kita dimampukan menjadi “ yang memperbaiki tembok yang tembus”. Menjadi “yang membetulkan jalan supaya tempat itu dapat ditanami.
Kisah Sumantri-Sukrosono menunjukkan betapa rapuhnya hidup yang didasarkan pada aspek-aspek yang tampak-rompak. Betapa nestapanya bila harus bergumul dan bergulat dalam penyesalan. Tidak yakinkah kita bahwa hidup kita, di dunia ini, hanya seperti embun padi?
Kesempurnaan terbesar jiwa terletak pada kepasrahan total dalam tangan Sang Kebaikan Tertinggi. Kepasrahan ini menuntut sebuah kebesaran hati untuk menerima kehendak ilahi dalam segala peristiwa hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar