hidup bukan sekadar makan atau minum
tapi bekerja membalikkan tanah
dan mengukir dunia
Banyak orang mudah cemas, gelisah, atau kawatir. Tiba-tiba menjadi cemas. Tiba-tiba menjadi tertekan-terbeban. Seolah ada kebuntuan. Seolah ada yang mengancam ketenangan dan kedamaian. Kecemasan menjadikan banyak orang tak berdaya.
Ide memasang masker pada patung, penempatan peti mati, di berbagai lokasi, menunjuk ketidakberdayaan. Ketidak mampuan menjalin relasi, komunikasi, maupun membangun “relationship” yang ujung-ujungnya perilaku tak terukur dari semua segmen kehidupan.
Kecemasan tidak hanya datang secara internal, tetapi juga datang dari luar diri. Entah membubung tingginya biaya hidup. Entah tidak imbangnya penghasilan dengan biaya kebutuhan. Entah melangitnya berbagai beban hidup: tarif listrik, air, gas, atau telpon. Entah biaya pendidikan anak yang sulit terjangkau. Kecemasan sering menjadikan orang kehilangan harapan.
Kecemasan eksternal tidak hanya berkait dengan biaya hidup, tetapi juga semakin lunturnya persaudaraan. Kecemasan datang mencekam karena hilangnya perlindungan dan rasa aman. Pembunuhan, perkosaan, perampokan menguasai pergaulan bermasyarakat, berbangsa,bernegara. Kecemasan semakin terasakan karna jaminan hidup aman menjadi langka.
‘Wejangan agung’
janganlah kawatir dan cemas
lihatlah burung-burung di udara
tidak menyemai dan menuai
namun tidak kelaparan
lihatlah bunga bakung di ladang
tidak memintal dan merajut pakaian
tapi tidak pernah kedinginan
hidup bukan sekadar makan atau minum
tapi bekerja membalikkan tanah
dan mengukir dunia
Kesadaran seperti inilah yang ada di balik ajaran wejangan agung. Jika Sang Pencipta memperhatikan binatang dan tumbuhan, apalagi kita, manusia.
Merefleksikan ‘wejangan agung’ bagaimana kita dapat melepaskan segala kecemasan kita harus kembali belajar pada alam.
Alam mengajarkan kita. Alam menjadikan kita bijaksana. Alam menghadirkan harmoni dan keserasian. Alam menuntun manusia untuk menyadari hakikat hidup dan tujuan hidup.
Pertama, belajar pada burung-burung. Buruang-burung tidak pernah menyemai atau memanen tettapi tidak mati kelaparan. Dengan bekerja keras, memiliki daya hidup, terus mencari dan mencari, kehidupan dimilikinya.
Kedua, belajar pada rumput di ladang yang tak menyerah meski terinjak dan terus terinjak.
Ketiga, belajar pada pohon bakung di ladang. Pohon bakung tidak kedinginan, tidak kepanasan meski tidak memintal.
Wejangan agung yang layak kita hidupkan kembali, dan terus kita hidupkan, agar segala kecemasan tidak menyentuh hidup kita. Untuk apa kita cemas akan apa yang akan kita makan, yang kita minum, yang akan kita pakai.
Wejangan agung akan mencabut kecemasan sampai ke akar-akarnya. Dengan demikian, kita dapat hidup ‘dengan merdaka’. Tidak ada kecemasan. Tidak ada kekuatiran. Tidak ada kegelisahan. Tidak takut kehilangan. Tidak takut tersingkirkan. Tidak takut terlupakan.. Ini sebuah pilihan, sebuah sikap. ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar