Senin, 29 Maret 2021

REFLEKSI 100 : RES, NON VERBA

RES, NON VERBA : Yang utama bukan “omongan”,  tetapi kenyataan. Saya sangat heran, Pemerintah dan jajarannya berjuang tanpa lelah, menanggulangi Covid 19, sementara itu banyak PECUNDANG yang bikin gaduh, onar.

Terbaca dengan jelas, mereka tidak memiliki SENS 0F BELONGING. Derita rakyat dan kerja pemerintah mena Dua bulan terakhir ini, kita menjadi jengah. Polusi kata-ggulangi bencana yang melanda dunia, DIMANFAATKAN untuk MENGAIS KEDUDUKAN.

Tidaklah heran, berhamburan kata tak bermakna. Kata tidak lagi menjadi ungkapan berita batin. Kata tidak lagi menjadi ungkapan afeksi dan proses bernalar.  Tidaklah demo berjilid-jilid demi skenario culas..

Kita menggunakan kata-kelompok kata-kalimat bukan karena kodrat insaniah manusia: deklaratif-interogatif-imperatif. Memberitahukan-menanyakan-mengumandangkan kebenaran,  tetapi, kebohongan-kamuflase-ancaman.

Saya tidak dapat memahami bagaimana seorang pemimpin daerah mengingkari aturan yang dibuat sendiri? Bagaimana  seorang pemimpin daerah melakukan pembiaran dan tidak punya nyali menjaga martabat dan harga diri sebagai pemimpin

Pemerintah dan jajarannya telah “all out” menanggulangi wabah Corid 19. Banyak tenaga medis yang GUGUR dalam tugas “tuan-tuan” timbun dengan orasi dan demo murahan.

Laksana  “ronggeng monyet” yang membuat  gamang-geli-kecewa-marah. Rakyat yang serba susah. Sesekali,  tengoklah,  yang hidup sengsara di pessisir-lereng pegunungan-desa terpencil, sehingga ‘tingkah laku’ yang ‘tuan-tuan’ pertontonkan di televisi membuat antipati. Rakyat tidak lagi kagum pada ‘tuan-tuan’. Apalagi, tuan-tuan telah mengkhianati. Rakyat hanya alat dan tumbal...
 
Alat, ketika tuan-tuan merengek minta dukungan, untuk ambisi tuan-tuan ‘menjadi orang terhormat’. Tumbal rakyat tetap miskin-susah-sampah! Salus populi suprema lex esto (Cicero: De Leqibus 3): kesejahteraan rakyat hukum tertinggi, hanya menjadi janji yang meninabobokkan, rangkai kata indah-menyilaukan. 

 


 

 “Luka batin yang sangat dalam” ketika tuan-tuan yang dipilih  rakyat tetapi telah mengkhianatinya. Tuan-tuan dapat duduk di kursi kemewahan, dengan fasilitas menawan, berkat rakyat. Tuan-tuan rakyat pilih karena bertekat menjadikan kesejahteraan rakyat hukum tertinggi. Dan, bukan seperti dua bulan terakhir: saling bunuh demi keangkuan-kesombongan-kenistaan.
  
Pluris est oculatus tastis unus quam auriti decem: Satu orang saksi mata lebih bernilai daripada sepuluh orang saksi yang “direkayasa”.
Tidak mengherankan bila “pelan tapi pasti rekayasa-rekayasa dan kebohongan terkuak’. Sampai kapan ini akan berlangsung? 

Tidakkah kita menjadi sadar bahwa ‘omnes homines mendaces’ bahwa kesombongan mengalahkan jiwa-murni? Yang pada akhirnya, Nihil probat, qui nimium probat. Orang yang berlebihan memberikan bukti secara berlebihan sesungguhnya tidak membuktikan apa-apa.
 
Maju terus bangsa dan negaraku...Jutaan putera-puteri ibu PERTIWI sejati selalu siap meneruskan perjuangan para pahlawan yang gugur demi kemerdekaan dan harga diri..

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...