RES, NON VERBA : Yang utama bukan “omongan”, tetapi kenyataan. Saya sangat heran, Pemerintah dan jajarannya berjuang tanpa lelah, menanggulangi Covid 19, sementara itu banyak PECUNDANG yang bikin gaduh, onar.
Terbaca dengan jelas, mereka tidak memiliki SENS 0F BELONGING. Derita rakyat dan kerja pemerintah mena Dua bulan terakhir ini, kita menjadi jengah. Polusi kata-ggulangi bencana yang melanda dunia, DIMANFAATKAN untuk MENGAIS KEDUDUKAN.
Tidaklah heran, berhamburan kata tak bermakna. Kata tidak lagi menjadi ungkapan berita batin. Kata tidak lagi menjadi ungkapan afeksi dan proses bernalar. Tidaklah demo berjilid-jilid demi skenario culas..
Kita menggunakan kata-kelompok kata-kalimat bukan karena kodrat insaniah manusia: deklaratif-interogatif-imperatif. Memberitahukan-menanyakan-mengumandangkan kebenaran, tetapi, kebohongan-kamuflase-ancaman.
Saya tidak dapat memahami bagaimana seorang pemimpin daerah mengingkari aturan yang dibuat sendiri? Bagaimana seorang pemimpin daerah melakukan pembiaran dan tidak punya nyali menjaga martabat dan harga diri sebagai pemimpin
Pemerintah dan jajarannya telah “all out” menanggulangi wabah Corid 19. Banyak tenaga medis yang GUGUR dalam tugas “tuan-tuan” timbun dengan orasi dan demo murahan.
Laksana “ronggeng monyet” yang membuat gamang-geli-kecewa-marah. Rakyat yang serba
susah. Sesekali, tengoklah, yang hidup sengsara di pessisir-lereng
pegunungan-desa terpencil, sehingga ‘tingkah laku’ yang ‘tuan-tuan’
pertontonkan di televisi membuat antipati. Rakyat tidak lagi kagum pada
‘tuan-tuan’. Apalagi, tuan-tuan telah mengkhianati. Rakyat hanya alat dan
tumbal...
Alat, ketika tuan-tuan merengek minta dukungan, untuk ambisi tuan-tuan ‘menjadi
orang terhormat’. Tumbal rakyat tetap miskin-susah-sampah! Salus populi suprema lex esto
(Cicero: De Leqibus 3): kesejahteraan
rakyat hukum tertinggi, hanya menjadi janji yang meninabobokkan,
rangkai kata indah-menyilaukan.
“Luka batin yang
sangat dalam” ketika tuan-tuan yang dipilih
rakyat tetapi telah mengkhianatinya. Tuan-tuan
dapat duduk di kursi kemewahan, dengan fasilitas menawan,
berkat rakyat. Tuan-tuan rakyat pilih karena
bertekat menjadikan kesejahteraan
rakyat hukum tertinggi. Dan, bukan seperti dua bulan terakhir:
saling bunuh demi keangkuan-kesombongan-kenistaan.
Pluris est oculatus
tastis unus quam auriti decem: Satu orang saksi mata lebih
bernilai daripada sepuluh orang saksi yang “direkayasa”. Tidak mengherankan bila “pelan tapi pasti
rekayasa-rekayasa dan kebohongan terkuak’. Sampai kapan ini akan
berlangsung?
Tidakkah kita menjadi sadar bahwa ‘omnes homines mendaces’
bahwa kesombongan mengalahkan jiwa-murni? Yang pada akhirnya, Nihil probat, qui nimium probat.
Orang yang berlebihan memberikan bukti secara berlebihan sesungguhnya tidak
membuktikan apa-apa.
Maju terus bangsa dan negaraku...Jutaan
putera-puteri ibu PERTIWI sejati selalu siap meneruskan perjuangan para
pahlawan yang gugur demi kemerdekaan dan harga diri..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar