Minggu, 11 Desember 2011

Sastra Peranakan Tionghoa

Siapakah yang belum mengenal Abdul Hadi W.M., Arief Budiman, Marga T, atau Mira W.? Abdul Hadi W.M, adalah penyair kesohor dengan puisi-puisi reflektif-religius. Arief Budiman adalah tokoh budayawan yang ikut membidani lahirnya Manifes Kebudayaan. Marga T adalah novelis produktif hingga beberapa novelnya pernah difilmkan. Demikian juga dengan Mira W. novelis yang handal dengan beberapa novel yang juga telah difilmkan. Mereka berempat hanya sebagian penerus ‘sastrawan-budayawan peranakan Tionghoa’ yang telah mewarnai sejarah sastra dan budaya Indonesia.

Leo Suryadinata, selaku penyunting buku Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, mencoba menghadirkan tokoh-tokoh sastrawan dan karya-karya mereka secara runtut dari tahun 1870 hingga 1966. Buku setebal 392 halaman itu terbagi menjadi dua bagian: kajian umum dan kajian khusus.

Kajian umum menghadirkan 4 tulisan: 2 tulisan dibuat oleh Leo Suryadinata dengan judul Dari Sastra Peranakan ke Sastra Indonesia dan Cerita Silat Tionghoa di Indonesia: Ulasan Ringkas. Satu tulisan disajikan oleh Jakob Sumardjo dengan judul Latar Sosiologis Sastra Melayu Tionghoa. Dan, satu tulisan depersembahkan oleh Claude Salmon dengan menggarap judul Masyarakat Pribumi Indonesia di Mata Penulis.

Kajian Khusus menghadirkan 4 kajian: 2 kajian dikerjakan oleh Myra Sidharta, satu tulisan oleh Claude Siman, dan satu tulisan oleh Monique Zaini Lajoubert. Claude Salmon menghadirkan kajian Asal-Usul Novel Melayu Modern. Monique Zaini Lajoubert dengan mengupas Syair Cerita Siti Akbari. Sedangkan Myra Sidharta menghadirkan kajian Kwee Tek Hoay: Pengarang Serbabisa dan Tan Hong Boen: Pengarang Seribu Wajah.

Karya-karya kreatif Sastrawan Peranakan Tionghoa tidak hanya beragam dalam bentuk tetapi juga dalam tema. Mereka bukan hanya menerbitkan dalam bentuk buku tetapi juga dimuat bersambung dalam majalah sastra yang mereka dirikan seperti “Penghidupan’ dan ‘Cerita Roman’. Bahkan, sebelum sastra Indonesia lahir, Sastrawan Peranakan Tionghoa telah menyodorkan novel-novel modern yang mengupas permasalahan kawin campur antarsuku seperti karya Thio Cin Boen (1885-1940) dengan dua novel yang kesohor Cerita Oey Se (1903) dan Cerita Nyai Sumirah (1917) yang tidak kalah bernilainya dengan Azab dan Sengsara atau Sitti Nurbaya.

Karya sastra yang paling spektakuler ditulis oleh Kwee Tek Hoay yang berjudul ‘Drama di Boeven Digul’ setebal 718 halaman. Sebelum diterbitkan buku ini dimuat bersambung hingga memakan waktu 3 tahun: dari 1929 hingga 1931.

Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, karya Leo Suryadinata, layak menjadi referensi pelajar dan mahasiswa hingga membuka cakrawala baru tentang sejarah sastra dan budaya Indonesia. Sastrawan Peranakan Tionghoa mempunya andil besar dalam pertumbuhan-perkembangannya.
Diterbitkan di: 30 Nopember, 2011

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2234223-sastra-peranakan-tionghoa-indonesia/#ixzz1gHA6XgXl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...