Minggu, 11 Desember 2011

Otodidak 25 Tahun Mengabdi Pendidikan di Kota Wali

Dengan rambut panjang sebahu, aku memasuki gerbang sekolah Santa Maria. Aku merasa ada yang aneh dari sorot mata orang-orang di pagi buta itu. Aku pikir mereka melihat ’pesakitan’-dengan rambut sebahu dengan menggendong ransel- memasuki gerbang sekolah.

Sangat ramah Suster Gaudentia OP menerimaku. Ada gelak tawa karena rambutku sebahu. Satu pertanyaan beliau tembakkan. Aku tersadarkan bahwa aku sedang berhadapan dengan suster pimpinan yayasan pendidikan. Bahwa aku sudah memutuskan untuk menjadi guru. Bahwa aku berprinsip ’Hidup bukan untuk uang, tetapi uang untuk hidup’.

”Anda dapat ngajar apa?” Pertanyaan yang tidak pernah aku bayangkan. (Memang aku belum membayangkan apa yang dapat aku ajarkan sebagai guru. Maksudku bidang apa yang akan aku pilih. Belum terpikirkan meski sudah berhadapan dengan suster pimpinan yayasan)

”Terserah, Suster! Apa pun mau!” jawabku.

Kami pun sepakat. Aku ditugasi untuk mengajarkan bahasa dan sastra Indonesia. Suatu pilihan berisiko, aku sadari. Sedetik pun aku belum pernah studi bahasa Indonesia. Mengapa bukan filsafat? Bukankah anak-anak muda menjelang dewasa sangat butuh filsafat? Bukankah filsafat mendasari dalam pembentukan kepribadian dan kecerdasan?

Bersyukurlah aku, 1 Juli 2007, genap 25 tahun aku mengabdi dunia pendidikan di Cirebon. Bersyukur karena boleh menikmati seperempat abad lebih aku baktikan hidupku dalam pemberdayaan dan pencerdasan anak bangsa.

Rasa syukur itu, aku tuangkan dalam buku kecil hidupku ‘Otodidak: 30 Tahun Mengajarkan Bahasa Indonesia’. Pasti, bukan kesombongan diri. Bukan narsistis. Bukan pula pertanda superior atau unjuk kehebatan.

Buku kecil hidupku ini merupakan peneguhan diri bahwa yang mustahil dapat menjadi nyata.

Pertama, sedetik pun aku tidak pernah studi bahasa dan sastra Indonesia tetapi 25 tahun mengajarkan bahasa Indonesia. Kedua, apa yang aku lakukan dalam keseharian diperhatikan dan dicermati masyarakat pers Cirebon sehingga tahun 2001 aku dihadirkan sebagai salah satu tokoh masyarakat Cirebon, tahun 2008 aku difigurkan sebagai guru professional. Ketiga, Departemen Pendidikan Nasional melibatkan dalam pertemuan bertaraf nasional: 1994, 2001, 2003, 2004, 2005, 2006. Keempat, eksistensiku sebagai ‘Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA’ menjadi sangat “sah” ketika aku diundang sebagai pembicara Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia” XXV Universitas Negeri dan Swasta se-Indonesia.
Diterbitkan di: 02 Nopember, 2011

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2225101-otodidak-25-tahun-mengabdi-pendidikan/#ixzz1gHCSN8Hq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...