Minggu, 11 Desember 2011

Catatan-Catatan tentang Amir Hamzah

Bersyukurlah saya menyimpan buku catatan rekan-rekan seperjuangan Amir Hamzah yang diterbitkan tahun 1955 oleh Jawatan Kebudayaan, Yogyakarta. Dalam buku terdapat kesan 10 teman seperjuangan Amir Hamzah. Mereka itu adalah Musa, Dada Meuraxa, Anwar Dharma, Karlan Hadi, Bakri Siregar, Ghazali Hasan, L.K. Bohqng, Asrul Sani, Armijn Pane, dan Achdiat Karta Mihardja. Salah satu buku langka yang saya miliki dalam perpustakaan pribadi.

Kesepuluh teman seperjuangannya menyampaikan kesan tentang siapa, apa,mengapa, bagaimana, di mana, kapan Amir Hamzah, ”Raja Penyair Pujangga Baru” ini, berkiprah tidak hanya dalam bidang sastra-budaya tetapi juga dalam memperjuangkan harkat dan martabat bangsa. Sebuah buku ’in memoriam’ yang layak dibaca oleh seluruh anak bangsa.

Amir Hamzah lahir di Tanjungpura, Langkat, Sumatera Utara, 28 Februari 1911. Beliau meninggal 19 Maret 1949 dalam peristiwa ’revolusi sosial’. Pendidikan terakhir adalah kandidat sekolah Hakim Tinggi di Jakarta. Bersama Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru.

Amir Hamzah terpaksa pulang, dengan meninggalkan pendidikan dan perjuangan, mematuhi panggilan pamannya untuk dinikahkan dengan salah satu putri kesultanan Langkat. Ia pun meninggalkan rekan-rekannya, kekasihnya, pendidikannya, perjuangannya, kepenyair-annya. Tidak heranlah bila ’duka kalbu’ mendasari puisi-puisinya.

Dalam kesendirian dan kesunyian jiwa terlahir Buah Rindu (1931) berisikan penyesalan, rintihan, kekecewaan. Tahun 1937 lahrilah kumpulan puisi yang kedua, Nyanyi Sunyi (1937), yang merupakan kelanjutan ’ungkapan jeritan hati’ dalam Buah Rindu.

Jika dalam Nyanyi Sunyi ia meratap karena kehilangan segalanya, dalam Buah Rindu ia menyerahkan segalanya kepada kekasih-Nya; Tuhan Yang Mahabesar. Sebab, ia sadar bahwa semua orang harus kembali kepada-Nya, ”Habis kikis/Segla cintaku hilang terbang/Pulang kembali aku padamu/Seperti dahulu//”

Amir Hamzah tetap tabah menyerahkan segala duka-nestapa karena percaya, ”Kaulah kandil kemerlap/pelita jendela di malam gelap/melambai pulang perlahan/sabar setia selalu//”

Sebagai insan beriman Amir Hamzah menerima segala kegagalan. Kehendak Tuhan harus dilaksanakan. Sehingga, dalam menunggu “hujan, topan, dan angin’ Amir Hamzah tetap ‘pasrah’ pada Tuhan.

Sangat layak jika buku langka ini diterbitkan ulang oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan menjadi bacaan wajib anak-anak SMP-SMA. Semoga..
Diterbitkan di: 24 Nopember, 2011

Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2232398-catatan-catatan-tentang-amir-hamzah/#ixzz1gHBH8JvX

1 komentar:

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...