Minggu, 16 Mei 2010

PAUD: INVESTASI STRATEGIS PEMBANGUNAN NASIONAL


Oleh JS Kamdhi


Suatu realitas yang sangat memprihatinkan bahwa ada 38 (33 SMA, 1 SMK, 4 SMP) tersebar di 10 provinsi yang dinyatakan tidak lulus ujian nasional, lebih ”mempercayai bocoran kunci jawaban” daripada belajar dengan tekun, cermat, teliti, tangguh, dan percaya diri demi masa depannya. Memprihatinkan karena betapa pun ’hebatnya kurikulum berbasis kompetensi’ tanpa dibarengi ’perubahan skema mental’ komponen kependidikan, mentalitas lulusan terpatri pada pendewaan angka-angka dalam ijazah.
Menyadari keprihatinan tersebut, menjadi suatu kemestian dan kekinian bagi kita, orang tua siswa khususnya, berefleksi seberapa besar tanggung jawab dalam pendidikan putra-putri kita masing-masing. Artinya, bagaimana kita mempersiapkan putra-putri kita untuk siap berubah, bertumbuh, berkembang, dan berbuah melalui dan dalam peendidikan formal. Terlebih, anak pada usia peka, 0 s.d. 12 tahun, dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik, kecerdasan (perkembangan dan pertumbuhan daya nalar, daya cipta, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual), maupun logika bahasa.
Oleh karena itu, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang bertujuan membentuk anak Indonesia berkualitas, bertumbuh dan berkembang sesuai tingkat perkembangan sehingga memiliki kesiapan optimal memasuki pendidikan dasar serta pergulatan, harus menjadi gerakan nasional.
Memang, secara juridis formal, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah menggariskan upaya pembinaan anak sejak lahir sampai usia 6 tahun dengan memberikan rangsangan pendidikan agar siap memasuki dunia pendidikan. Disadari pula bahwa keberhasilan PAUD merupakan penentu nasib bangsa. Maka, tidak mengherankan bila Univesitas Negeri Jakarta membuka Program Studi Pendidikan Usia Dini untuk S1(1995), S2 (1995), serta S3 (2003). Hanya, yang layak direfleksikan ”di mana peran orang tua” dalam PAUD? Dapatkah lembaga pendidikan yang kini menjamur menggantikanperanorangtua?

Dipandang Sebelah Mata

Merujuk Angka Partisipasi Kasar (APK) penanganan PAUD, tahun 2008 (setelah 63 tahun merdeka), baru mencapai 50,03 % dari sekitar 30 juta anak usia 0 sampai 6 tahun. Tahun 2009, dengan memfokuskan pengembangan PAUD di 50 kota/kabupaten terpencil dari 21 provinsi APK penanganan PAUD diprediksikan menjadi 53.9% dan pada era Milinium Development Goal (MDGs), tahun 2014, APK penanganan PAUD diperkirakan mencapai 75%. (Warta KOTA)

Kenyataan menunjukkan tidak semua anak usia dini berkesempatan memperoleh pendidikan yang memadai. Taman Kanak-kanak sebagai jenjang pendidikan anak usia dini masih dipandang sebelah mata. Padahal tujuan utama pendidikan TK meningkatkan daya cipta kanak-kanak dan memacu untuk belajar mengenal bermacam-macam ilmu pengetahuan melalui pendekatan nilai budi bahasa, agama, sosial, emosional, fisik, kognitif, dan kemandirian belum menjadi skala prioritas orang tua dalam pemberdayaan putra-putrinya.
Sekurang-kurangnya ada empat faktor yang menjadi kendala hingga terabaikannya PAUD:

1. Kebutuhan Hidup
Rendahnya tingkat kesejahteraan hidup serta tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Terutama ’lapisan bawah’, merupakan penyebab utama terabainya PAUD di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perjuangan para pemulung, buruh, nelayan tradisional, buruh tani, pedagang kecil, pedagang kaki lima terfokus pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang masih jauh dari tingkat kelayakan.
Orang tua berjuang dari pagi hingga larut malam hanya sekadar ”bertahan hidup”. Dalam kondisi yang serba ’berkekurangan’ inilah anak usia dini tidak pernah terberdayakan. Bahkan, yang sangat memprihatinkan adalah kasus gizi buruk di sejumlah daerah yang mencapai 5,4% dari total populasi anak Indonesia.

2. Golongan Menengah ke Atas
Kita menyadari bahwa PAUD merupakan kunci utama suksesnya program pendidikan nasional suatu bangsa. Kunci utama peningkatan sumber daya manusia. Kunci utama keberhasilan pembangunan semesta berencana. Kunci utama terciptanya kualitan dan kesejahteraan hidup. Sebab, bagaimanapun, taraf hidup dan kesejahteraan hidup menjadi dasar pencerdasan bangsa. Sehingga, tidak mengherankan bila anak usia dini yang berkesempatan masuk jalur formal, Taman Kanak-kanak hanyalah anak-anak usia dini dari lapisan masyarakat menengah ke atas.

3. Komersialisasi
”Demam sekolah bertaraf internasional” berimbas menjamurnya TK Unggulan, TK Terpadu, TK Bilingual. Fullday School. Apakah arti semua ini? Pernahkah kita ’berefleksi’ apakah makna sekolah bertaraf internasional, sekolah terpadu, sekolah unggulan, atau sekolah bilingual? Atau, bukankah ini hanya labeling sehingga memiliki nilai dan harga jual? Bukankah seluruh ilmu pengetahuan, nilai-nilai kemanusiaan, moral, etika selalu universal?

4. Kebanggaan Semu
Banyak orang tua bangga bila ’si balita’ sudah fasih berbahasa asing, lancar membaca, menulis, dan berhitung. Tidak jarang orang tua yang berduit ’menyediakan guru les’. ’Si balita’ tidak lagi memiliki waktu luang untuk ’berproses menjadi anak-anak’.
Keunggulan TK sekadar diukur ’seberapa hebat menjadikan si balita mahir berbahasa asing dan calistung (baca-tulis-hitung)’. Alhasil, anak-anak TK diperlakukan sama dengan anak-anak sekolah dasar dalam proses pembelajaran. Kita menjadi lupa bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Pembelajaran anak usia dini sangat berbeda dengan pembelajaran anak sekolah dasar. ”Learning by playing” harus mampu memberdayakan daya cipta kanak-kanak dan memacu untuk belajar mengenal bermacam-macam ilmu pengetahuan melalui pendekatan nilai budi bahasa, agama, sosial, emosional, fisik, kognitif, dan kemandirian.

Suatu Kemestian dan Kekinian
Harus kita sadari bahwa pendidikan dilakukan oleh murid sendiri dengan bantuan orang lain sejak awal kehidupan (dalam rahim ibu) sampai akhir hidupnya. Artinya, konteks hidup murid sangat berperan dalam pertumbuhan dan pemberdayaan. Konteks hidup murid berkait dengan hubungannya dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan alam semesta, dengan norma-norma hidup, serta dengan Yang Mahatinggi Pencipta alam semesta.
Dalam kesadaran itu, kita akan menempatkan pertumbuhan dan pemberdayaan dalam kerangka didik mencakup segi kehendak bebas dan segi-segi kodratinya. Itu sebabnya, seorang anak tidak serta merta disebut ’manusia kecil’ karena untuk menjadi manusia harus bertumbuh dan diberdayakan dalam konteks hidupnya. Dengan demikian, anak harus dipahami sebagai suatu realitas di tengah keseluruhan realitas masyarakat. Murid dialami dan dipahami dalam relasinya dengan dunia, dengan sesama, dan dengan Yang Mahaagung.
Tugas pokok sekolah adalah membantu suatu proses yang sudah lebih dulu dan seterusnya berlangsung dalam keluarga; secara kodrati, menyeluruh, dan berkesinambungan. Pendidikan di sekolah, sebagai lembaga-didik, dalam arti yang paling mendasar adalah bantuan agar seseorang dapat meneruskan pendidikan keluarga dalam mengembangkan dirinya sehingga berkemampuan menentukan benar-salah (dewasa intelektual), baik-buruk (dewasa moral), pantas-tidak pantas (dewasa afeksional), berkemampuan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri (dewasa social) dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Artinya, pendidikan sekolah harus dipahami sebagai berpangkal pada murid, berbasis pada murid, dilaksanakan oleh murid, dan demi kepentingan murid.

Pendidikan harus menjadi suatu proses didaktis. Setiap pendidikan, khususnya di sekolah, harus merupakan proses pembelajaran: sedikit demi sedikit, langkah demi langkah sehingga membantu agar yang dipelajari oleh murid semakin terintegrasikan ke dalam diri murid. Oleh sebab itu, pendidikan erat berkaitan dengan keadaan nyata manusia yang belajar, teman belajarnya, konteks hidup, dan guru pelajarannya.
Pengalaman nilai dan pembentukan pribadi yang integral melalui pembelajaran harus bertumpu pada konteks budaya, sosial, ekonomi, adat-istiadat, tradisi, kepercayaan, bahkan politik yang bertumbuh dan berkembang. Sebab, murid memulai proses didik sejak di tengah keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, dan negaranya. Seluruh pendampingan perasaan, pikiran, tindakan selalu dalam konteks hidup dan kehidupannya.
Sifat dasar sekolah dan pembelajaran adalah merangsang dan mendorong kreativitas murid. Murid harus berkemampuan memilih apa yang dipelajari, belajar bagaimana belajar, cerdas dalam bersikap, dan terbuka atas pembaharuan. Pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa sehingga murid mampu menciptakan kultur pribadi sehingga dapat mengembangkan daya pemahaman, penerapan, dan inovasi-inovasi kreatif

Investasi Strategis
Karena PAUD merupakan kunci utama suksesnya program pendidikan dan pembangunan nasional peran aktif pemerintah menjadi kemestian dan kekinian. Mengingat, sejauh ini, yang bergiat dalam PAUD adalah Yayasan, LSM, maupun masyarakat. Tentu, tidak harus terlibat langsung dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk anak usia dini.

1. Kesejahteraan Masyarakat
Menjadi tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemberdayaan ’masyarakat lapisan bawah’ sehingga mereka menyadari bahwa PAUD merupakan investasi strategis pembangunan bangsa. Kantong-kantong kemiskinan yang tersebar dari Sabang-Merauke: nelayan, petani penggarap, petani gurem, buruh, pedagang kecil, pemulung, hingga ’gepeng’, yang selama ini selalu diposisikan sebagai ’objek pembangunan’ harus menjadi ’subjek pembangunan’.
Dengan program-program berjangka yang terukur dan terevaluasi pemerintah harus mampu memberdayakan mereka: nelayan mampu hidup dari hasil tangkapannya, petani menjadi sejahtera dari panenannya, kaum buruh hidup layak dari keringatnya, serta pedagang kecil mampu mencukupi kebutuhan minimal dari usahanya.
Meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup otomatis pendidikan menjadi sebuat kebutuhan. Pendidikan ditempatkan sebagai usaha pencerdasan dan pemberdayaan, sehingga masyarakat akan termotivasi untuk berusaha seoptimal mungkin demi kesuksesan putra-putri mereka. Sebab, tanpa kesejahteraan pendidikan tidak akan pernah menjadi prioritas kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
-5-

2. Pemberdayaan
Karena tanpa kesejahteraan pendidikan tidak akan menjadi prioritas, maka pemberdayaan masyarakat, lebih-lebih lapisan bawah, harus menjadi kegiatan pemerintah secara berkelanjutan. Banyak kegiatan yang dapat dioptimalisasikan demi pencerdasan dan pemberdayaan masyarakat: PKK, Dasa Wisma, Posyandu, Koperasi, Kelompencapir.
Tentu saja, pemberdayaan tidak sekadar dengan penyaluran BLT tetapi terencana-terukur-terevaluasi selaras dengan cita-cita founding fathers sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pertama, tujuan utama pemberdayaan adalah pencerdasan masyarakat sesuai segmennya: petani, nelayan, buruh, pedagang, atau bahkan pemulung. Kedua, bupati/walikota menjadi penanggung jawab pemberdayaan sebab merekalah penanggung jawab utama dalam peningkatan taraf hidup masyarakat. Ketiga, strategi pemberdayaan masyarakat terarah pada profesionalisme: nelayan, petani, buruh, pedagang yang profesional. Artinya, tahu dan mau mengembangkan seluruh potensi yang menjadi konteks hidup dan kehidupannya.
Kita yakin dengan kesejahteraan dan pemberdayaan akan lahir generasi yang memiliki skill, kompeten, profesional, dan unggul dalam kopetisi. Tidak semata-mata generasi yang ’pandai’, tetapi cerdas menangkap peluang dan merebut kesempatan demi kejayaan bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...