Senin, 29 Maret 2021

REFLEKSI 93 : PAHLAWAN NASIONAL (Asal Maluku, Pahlawan Termuda, 17 Tahun) MARTHA CHRISTINA TIAHAHU

Apakah yang dapat kita lakukan untuk saudara-saudari kita, orangtua, bangsam dan negara  pada usia 17 tahun

Martha Christina Tiahahu lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800. Wafat di Laut Banda, Maluku 2 Januari 1818 Martha Christina Tiahahu) adalah seorang gadis dari Desa Abubu. Pulau Nusalaut. Usia 17 tahun, Martha Christina Tiahahu mengangkat senjat melawan Belanda.  

Ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, tinggal di Abubu, yang juga membantu Thomas Matulessy dalam Perang Pattimura, 1817, melawan Belanda.  

Martha Christina Tiahahu tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang putri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam Perang Pattimura tahun 1817. Di kalangan para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh, ia dikenal sebagai gadis pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya.

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969, tanggal 20 Mei 1969, Martha Christina Tiahahu dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Sejak awal perjuangan, Martha Christina Tiahahu, dikenal heroik.  Dengan rambutnya yang panjang,  terurai ke belakang,  serta berikat kepala sehelai kain  merah, selalu mendampingi ayahnya. Apalagi, dalam pertempuran Pulau Nusalaut   maupun Pulau Saparua.

Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya dibuang di Laut Banda oleh Belanda. menjelang tanggal 2 Januari 1818. Untuk menghargai jasa dan pengorbanannya, Martha Christina Tiahahu dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Pada waktu itu, sebagian pasukan rakyat bersama para raja dan patih bergerak ke Saparua untuk membantu perjuangan Kapitan Pattimura. Tindakan  Belanda yang akan mengambil alih Benteng Beverwijk luput dari perhatian.

Tanggal 10 Oktober 1817,  Benteng Beverwijk jatuh ke tangan Belanda tanpa perlawanan. Sementara itu, di Saparua pertempuran demi pertempuran terus berkobar. Karena semakin berkurangnya persediaan peluru dan mesiu pasukan rakyat mundur ke pegunungan Ulath-Ouw. Di antara pasukan itu terdapat pula Martha Christina Tiahahu beserta para raja dan patih dari Nusalaut.

Tanggal 11 Oktober 1817 pasukan Belanda di bawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath, tetapi berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Dalam pertempuran ini Richemont tertembak mati. Meyer dan pasukannya bertahan di tanjakan negeri Ouw. Dari segala penjuru pasukan rakyat mengepung, sorak sorai pasukan bercakalele. Di tengah keganasan pertempuran itu muncul seorang gadis remaja bercakalele menantang peluru musuh. Dia adalah putri Nusahalawano, Martha Christina Tiahahu, srikandi berambut panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain merah  terikat di kepala.

Tanggal 12 Oktober 1817,  Vermeulen Kringer memerintahkan serangan umum terhadap pasukan rakyat, ketika pasukan rakyat membalas serangan yang begitu hebat ini dengan lemparan batu, para opsir Belanda menyadari bahwa persediaan peluru pasukan rakyat telah habis.

Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan dengan sangkur terhunus. Pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan, seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan.

Martha Christina dan sang ayah serta beberapa tokoh pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten. Di dalam kapal ini para tawanan dari Jasirah Tenggara bertemu dengan Kapitan Pattimura dan tawanan lainnya. Mereka diinterogasi oleh Buyskes dan dijatuhi hukuman. Karena masih sangat muda, Buyskes membebaskan Martha Christina Tiahahu dari hukuman, tetapi sang ayah, Kapitan Paulus Tiahahu tetap dijatuhi hukuman mati. 

 


 

Mendengar keputusan tersebut, Martha Christina Tiahahu memandang sekitar pasukan Belanda dengan tatapan sayu namun kuat yang menandakan keharuan mendalam terhadap sang ayah. Tiba-tiba Martha Christina Tiahahu merebahkan diri di depan Buyskes memohonkan ampun bagi sang ayah yang sudah tua, tetapi semua itu sia-sia.

Di dalam pertempuran yang sengit di Desa Ouw dan  Ullath,  jasirah tenggara Pulau Saparua,  Martha Christina Tiahahu  laksana Srikandi yang malang-melintang di Tegal Kuru, saat baratayuda, dengan mengalahkan Resi Bisma. Bersama para pejuang rakyat tidak pernah mundur selangkah.

 Namun, tidak seimbangnya persenjataan,  tipu daya musuh,  dan pengkhianatan, para tokoh pejuang dapat ditangkap dan menjalani hukuman. Ada yang harus mati digantung dan ada yang dibuang ke Pulau Jawa. Kapitan Paulus Tiahahu divonis hukum mati tembak. Martha Christina Tiahahu berjuang untuk melepaskan ayahnya dari hukuman mati, tetapi ia tidak berdaya dan meneruskan bergerilyanya di hutan, meski akhirnya tertangkap dan diasingkan  ke Pulau Jawa..

Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya dibuang di Laut Banda oleh Belanda. menjelang tanggal 2 Januari 1818. Untuk menghargai jasa dan pengorbanannya, Martha Christina Tiahahu dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...