Selasa, 16 Maret 2021

REFLEKSI : 71 PAHLAWAN NASIONAL... Mgr. A. Soegijapranata, S.

 

Yesus pertama-tama menyebut mereka orang-orang munafik. Lalu, meminta salah satu menunjukkan mata uang logam romawi yang kepada kaisar. Ketika ditanyakan  gambar dan tulisan yang ada, salah satu menjawab, “Kaisar!” Yesus pun menutup pembicaraan, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah". (Mat 22:15-21)

Merefleksikan,” "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah", teringatlah saya pada Pahlawan Nasional: Mgr. A. Soegijapranata, S.J. Di samping sebagai Pahlawan Nasionlah, Mgr. A. Soegijapranata, S.J, juga sebagai USKUP, tahun 1940), saat  Indonesia belum menjadi “negara merdeka”/

Paus Pius XII mengangkat Soegija menjadi Uskup Agung untuk daerah Vikariat Apotolik Semarang pada 1 Agustus 1940, dan dilantik pada 6 November 1940. Wilayah apostolik Semarang itu meliputi daerah keresidenan Semarang. Tak hanya kota dan kabupaten Semarang, tapi juga Jepara, Rembang, Temanggung, Magelang, Yogyakarta dan Surakarta.

 


Dengan posisi itu, dia harus menjadi pemimpin umat di masa perang, setidaknya sejak Perang Pasifik dan masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Itu adalah satu dekade perang yang banyak mengubah jalan sejarah di Asia dan Afrika. “Kegiatan-kegiatan Mgr Soegijopranoto terutama berupa usaha pemeliharaan dan pembinaan rohani umatnya di tengah pergolakan masa itu,” tulis Romo Budi Subanar dalam pengantar buku Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di Masa Perang: Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata, S.J., 13 Februari 1947-17 Agustus 1949.

Soegija dilahirkan di Surakarta. Mirip Kasimo, ia berasal dari keluarga abdi dalem kraton. Karena terkenal cerdas, pada 1909 Soegija diminta oleh Romo Van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, Kweekschool di Muntilan. Dari sanalah Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada 24 Desember 1910.

Pada 1915, Soegija lulus dari Kweekschool Muntilan. Lalu selama setahun ia menjadi guru di sekolah almamaternya dulu. Mengikuti impulsi religiusitas dan spirit belajarnya yang tinggi, dia mengajukan diri jadi imam dalam ordo Serikat Jesus. Untuk itu Soegija belajar bahasa Yunani dan Latin selama dua tahun di Muntilan, plus satu tahun di Belanda pada 2019.

Menjalani masa pendidikan calon biarawan selama dua tahun di Grave, Soegija juga menyelesaikan juniorate di sana pada 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, ia dikirim kembali ke Muntilan. Bekerja sebagai guru selama dua tahun, serta menjadi redaktur sebuah majalah Katolik berbahasa Jawa, Swaratama.

Pada 1928, Soegija kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht, dan ditahbiskan sebagai imam pada 15 Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata ‘pranata’ di belakang namanya. Agustus 1933, Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor.

“Seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia,” kata Soegija. Kalimat itu menjadii semboyan orang Katolik Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia. Banyak pemuda terpelajar Katolik yang gugur untuk Republik Indonesia. Sebutlah Agustinus Adisucipto atau Ignatius Slamat Rijadi. Berita sedih,

 

Soegijapranoto berjasa dalam mendapatkan dukungan dari Tahta Suci Vatikan untuk kemerdekaan Indonesia. “Negara Vatikan adalah salah satu dari negara-negara (Eropa) yang PERTAMA KALI mengakui kemerdekaan Indonesia,” tulis FX Murti Hadi Wijayanto dalam Soegija in Frame (2012:138). Saat itu Georges Marie Joseph Hubert Ghislain de Jonghe d'Ardoye menjadi perwakilan Vatikan untuk Indonesia.

 

Setelah pengakuan kedaulatan 1949 dan tentara Belanda diharuskan angkat kaki, Soegija kembali ke Semarang. Soegija terus memimpin umat Katolik, termasuk di masa perseteruan orang-orang Katolik dengan orang-orang komunis yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI). Romo Soegija dikenal sebagai pastor yang memakai kebudayaan lokal Indonesia, khususnya Jawa, dalam membumikan Katolik di Indonesia. Dia membolehkan wayang dan juga gamelan dalam dakwah-dakwah katolik.

Romo Soegija meninggal pada 22 Juli 1963, tepat hari ini 55 tahun lalu, di sebuah susteran di Desa Steyl, Belanda, setelah menghadiri pemilihan Paus Paulus VI.  Belanda. Dua bulan sebelum meninggal, pada 30 Mei 1963, ia menghadiri pemilihan Paus di Vatikan—saat itu Paulus VI yang terpilih. Setelah itu, Soegija mampir ke Belanda dan jatuh sakit di sana hingga ia meninggal.

“Jika kita sungguh-sungguh Katolik sejati”, demikian ujar Soegijapranata suatu ketika, maka “kita sekaligus seorang patriot sejati”. Lanjutnya, “Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriot, justru karena kita 100% Katolik.

Tak salah jikalau Garin Nugraha, selaku sutradara film berjudul “Soegija”, sebuah film yang mengangkat narasi kemanusiaan, kemudian juga lebih menempatkan Monseigneur Soegijapranata SJ ini sebagai pahlawan nasional dan bukan pahlawan agama tertentu. (W-1)

Mgr. Albertus Sugiyapranata; lebih dikenal dengan sebutan ‘ROMO KANGJENG”, uskup pertama Indonesia, nasionlis sejati dengan semboyan "100% Katolik, 100% Indonesia".

Soegija dilahirkan di Surakarta, dari keluarga Abdi Dalem, keluarga muslim yang pindah  ke Yogyakarta. Karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pastor Van Lith diajak bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu Yesuit di Muntilan.

Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di Seminari di Muntilan sebelum berangkat ke pada tahun 1919.

Ia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Grave. di ia juga menyelesaikan juniorate di sana pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, ia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; ia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maaxtricht dan ditahbiskan menjadi imam,  pada tanggal 15 Agustus 1931. Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya.

Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di Bintaran (Yogya) dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini ia berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata dikonsenkrasikan  sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan.

Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah ia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. Kekaisaran Jepang menduduki Hindia Belanda pada awal tahun 1942, banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.

Pertemanan Soekarno dan Soegija begitu kental. Pertemuan Presiden Soekarno dengan Mgr.Soegijapranata di Roma sebelum Presiden Soekarno melakukan pertemuan dengan presiden De Gaulle. Perancis. Soekarno meminta doa restu dan dukungan Romo Agung untuk perundingannya.

Presiden Soekarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal Bernardus Johannes Alfrink.

Menyadari kontribusinya pada bangsa dan negara nisbi tidaklah kecil, Presiden Soekarno pada 26 Juli 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soegijapranata, bahkan saat jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...