“Bagi
Allah tidak ada yang mustahil.” Maria pun menjawab, ‘Aku ini hamba Tuhan,
terjadilah padaku menurut perkataan-Mu,”
(Lukas 1: 37-38).
Di tengah himpitan hidup, di tengah kehidupan yang mendewakan materi dengan berprinsip hidup untuk uang, di tengah kehidupan yang terfokus sikap hedonisme dengan mengutamakan kepuasan lahiriah, banyak orang hidup dalam kekacauan terus-menerus. Gampang marah. Mudah frutrasi. Mudah cemas, gelisah, atau was-was.
Bahkan,
hal-hal kecil atau sepele, dapat memicu perkelahian. Dapat menyebabkan
perkelahian antarwarga atau tawuran pelajar. Siapa yang dapat memahami ‘ulah
brutal’ ana-anak muda memporak-porandakan sebuah warung makan, bahka membunuh
pemiliknya? Siapa yang dapat mengerti alasan penonton sebuah pertandingan
dengan membawa clurit, pedang, samurai, bahkan anak panah? Bukankah mereka
telah merencanakan sejak berangkat dari rumah: bukan menikmati indahnya
permainan sepakbola, tetapi memang untuk “membunuh”?
Pasti, ada yang tidak beres dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasti, ada yang tidak selaras dalam proses pemribadian, pembudayaan, pencerahan,
dan pencerdasan di bangku sekolah atau bangku kuliah. Pasti, kebrutalan’tidak
otomatis terjadi. Pasti, berangkat dari sebuah kebiasaan. Berangkat dari
hal-hal kecil. Pasti, ada yang tidak seimbang dalam hidup dan kehidupan
sebagai umat beragama. Sayang, kita tidak pernah mencari akar
permasalahannya.
Pernahkah kita berpikir bahwa hidup kita ini hanya seperti kabut atau uap air?
Artinya, hidup kita di dunia ini sangat singkat. Hanya, sekejab. Hanya mampir
minum. Mengapa tidak kita gunakan untuk bersyukur dengan menjadikan hidup dan
kehidupan kita berguna bagi masyarakat-bangsa-negara? Mengapa kita tidak
menghayati hidup ini sebagai anugerah-berkat-karunia untuk ikut ambil bagian
dalam karya penebusan dan penyelamatan?
Rasul Paulus telah menunjukkan jalan bagaimana hidup sebagai hamba Tuhan.
Setelah Tuhan menjadikan Paulus sebagai “pewarta kebahagiaan” ia tidak pernah
mundur selangkah sebagai hamba Tuhan. Bukan dengan memporak-porandakan tatanan
sosial, tapi dengan cerdas menjadi teman seperjalanan bagi yang disingkirkan,
tergusur, dan tersisih. Seluruh pelayanan, seluruh pengorbanan, dan seluruh
kesengsaraan diserahkan pada Tuhan.
Nyanyian Pertama Yesaya 42
Seorang hamba selalu memperjuangkan keadilan. Seluruh hidup dipertaruhkan agar dunia damai sejahtera. Yesaya mengungkap hamba Tuhan harus menjadi “alat keadilan bagi Tuhan. Hamba ini "tidak akan berteriak atau menyaringkan suara atau memperdengarkan suaranya di jalan. melainkan bergerak dengan diam-diam dan penuh keyakinan untuk menciptakan kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan.
Tuhan telah membentuk dan memberinya menjadi perjanjian bagi umat manusia, menjadi terang untuk bangsa-bangsa, untuk membuka mata yang buta, untuk mengeluarkan orang hukuman dari tempat tahanan dan mengeluarkan orang-orang yang duduk dalam gelap dari rumah penjara]
Nyanyian Kedua Yesaya 49
Yesaya berkeyakinan bahwa sang "Hamba" telah dipanggil sebelu dia dilahirkan. Digambarkan sebagai seorang nabi dan dipanggil untuk memulihkan relasi manusia dengan Tuhan. lah. Tuhan membuatnya "menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang daripada-Ku sampai ke ujung bumi".
Nyanyian Ketiga Yesaya 50
Nyanyian ketiga Yesaya mengungkap betapa "Hamba" ini dipukuli dan disiksa. Walau sang "Hamba" merupakan guru dan sekaligus murid yang mengikuti jalan Tuhan tanpa ragu-ragu. Sebagai gema dari nyanyian pertama yang mengatakan bahwa "buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya” dia menopang orang yang lemah dengan kata-katanya. Kebenarannya diletakkannya di tangan Tuhan.
Nyanyian Keempat Yesaya 53
Nyanyian Yesaya ke-4 mengungkap “hamba yang menderita”. Namun dengan kematian “hamba” ini, “hamba” menanggung dosa “kita”, kelemahan “kita”, dan oleh bilur-bilurnya “kita” disembuhkan. Setelah kematiannya, “hamba” ini dimuliakan oleh Allah. Dengan pilihan kata-kata mengenai penderitaan yang dialami, para pengikut Yesus percaya bahwa nyanyian atau sajak ini merujuk kepada kesengsaraan yang dialami Yesus sebagai Mesias. Juruselamat untuk orang-orang lain.
"Segala perkara dapat ku tanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku!"
Semakin
jelas bagi kita umat beriman bahwa menjadi hamba Tuhan berarti menjalani hidup
dengan suka-cita, Menjalani hidup dengan berkemampuan “menemukan
berkat-karunia-anugerah” di balik peristiwa-peristiwa yang kita alami. Belajarlah
untuk selalu tersenyum. Belajarlah untuk tertawa. Bahkan, menertawakan
kesalahan-kedunguan diri sendiri. Belajarlah untuk memuji! Belajarlah untuk
kagum-bangga-haru pada keberhasilan orang lain. Sadarilah segala sesuatu yang
Tuhan berikan pada kita ada makna-maksud-nilai bagi hidup dan kehidupan kita.
Semuanya, hanya dapat kita pahami, hanya dapat kita mengerti bila kita memberi
ruang-waktu untuk berduaan dengan Tuhan. Kesediaan memberi ruang-waktu untuk
berduaan dengan Tuhan, niscaya kita akan menemukan kedamaian-kebahagiaan
sejati. Artinya, kita menjalani hidup sebagai hamba Tuhan.
Percaya dengan sepenuh hati-jiwa-pikiran-perasaan Tuhan memberi segala
kebutuhan kita tetap waktu. Inilah, kerinduan hakiki. Kerinduan inilah
yang akan memampukan untuk menjalani hidup dengan tersenyum-tertawa-berbahagia.
(*)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar