Senin, 15 Maret 2021

REFLEKSI : 56 BERBAGI

Ternyata lelaki berambut gimbal--pakaian kumal--bertubuh hitam legam itu, hanya ingin memasukkan uang  lembaran Rp 10.000,00, di kardus yang dibawa ‘Pengamen Peduli Merapi.

Pada akhir sharing, tiga siswi yang sempat ketakutan itu, dengan suara bergetar berujar, kami menemukan perbedaan utama antara orang gila dan orang normal. Orang gila mengejar kebaikan, sedang orang normal, saat ini, malah lari dari kebaikan.


Ada refleksi menarik selama mendampingi penyiar-penyiar radio sekolah. Selama satu minggu,  dalam rangka Peduli Merapi, 2010. Pada hari kelima turun di jalan, tentu sesudah pelajaran usai, kita ngamen di jalan-jalan kota pesisir tempat kami tinggal. Dengan lima kelompok, semuanya penyiar radio sekolah,  yang masih belia dari SD-SMA, mengambil rute yang telah disepakati sehari sebelumnya.

Seusai ngamen, kita berkumpul di studio untuk menghitung berapa ‘tali kasih untuk Merapi’ terkumpul. Sambil menghitung hasil ‘ngamen’ kita selalu ‘sharing’ akan peristiwa-pengalaman-kejadian yang dialami. Hari kelima, kami menemukan refleksi yang sangat menusuk kesadaran: apa bedanya orang gila dan orang normal?

Seorang ‘penyiar yang kebetulan dari kelas X SMA, bersama dua teman ngamennya, sharing dengan menggebu. Mereka dikejar orang gila. Bertiga mereka lari tunggang langgang. Mereka bersembunyi disela kendaraan di parkiran sebuhan swalayan, dengan harapan terbebas dari uberan “orang gila”.

Anehnya, orang gila yang biasanya duduk-duduk di belakang sekolah itu tetap mengejar. Akhirnya, mereka bertiga pun menyerah. Dan, apa yang terjadi? Ternyata lelaki berambut gimbal--pakaian kumal--bertubuh hitam legam itu, hanya ingin memasukkan uang  lembaran Rp 10.000,00, di kardus yang dibawa ‘Pengamen Peduli Merapi.

Pada akhir sharing, tiga siswi yang ketakutan itu, dengan suara bergetar berujar, kami menemukan perbedaan utama antara orang gila dan orang normal. Orang gila mengejar kebaikan, sedang orang normal, saat ini, malah lari dari kebaikan.

Studio pun senyap. Ada getaran luar biasa menyeruak ke relung-relung hati penyiar-penyiar belia radio sekolah, siswa-siswi dari SD-SMP-SMA. Sebuah getaran yang menciptakan “keheningan”. Sebuah getaran yang menjadi penyemangat bahwa yang mereka lakukan untuk datang ke Lereng Merapi mengunjungi tempat-tempat pengungsian terberkati...

Sahabat, pernahkah kita berpikir untuk apakah kita ini hidup? Tujuan apakah yang akan kita raih dengan hidup dan kehidupan ini? Pasti, kita akan mengangguk-angguk.  “Tidak sempat berpikir begitu!” Sering kita terjebak dalam rutinitas hidup: kerja, kerja, kerja: uang-uang-uang sehingga ketika sedang sakit, kita baru tersadarkan akan ke mana, untuk apa, apa yang ingin aku dapatkan dalam hidup ini?

“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah kabar gembira kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, sebaliknya siapa yang tidak percaya akan dihukum. Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan bicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka. Mereka akan memegang ular, dan sekalipun meminum racun mereka tidak akan mendapat celaka. Mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh”


(Markus 16: 15-18).



Harus menjadi dasar hidup setiap insan. Semua orang Tuhan panggil dan Tuhan utus untuk menyampaikan kabar gembira. Mereka yang menyadari dan melaksanakan tugas-panggilan itu akan diteguhkan, sebaliknya mereka yang menolak-mengingkari tugas-panggilan itu akan dihukum.

Artinya, setiap orang dipanggil-diutus untuk menjadi pewarta kabar gembira. Lebih tegas lagi, setiap orang dipanggil-diutus untuk menjadi kabar gembira. Pengalaman penyiar-penyiar belia, sewaktu ngamen untuk Merapi, menghadirkan pengalaman batin-rohani yang luar biasa. Orang gila mengejar kebaikan, orang-orang normal lari dari kebaikan. 

Ada semacam disposisi bahwa dalam kehidupan kongkret untuk menjadi kabar gembira bagi sesama tidaklah mudah. Terlebih pada zaman ‘jungkir-balik” dengan diperbudak games, medsos. Dan yang terkontaminasi filsafat hidup: coromemus nos rosis, cras enim moriemur, (marilah kita nikmati hidup sepuas-puasnya sebab esok hari kita akan mati.) 

Kita dipanggil-diutus untuk menjadi kabar gembira bagi sesama. Syukurilah berkat panggilan itu. Berdirilah teguh. Kuatkan dalam niat-tulus untuk melaksanakan tugas-panggilan menjadi kabar gembira.

“Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan bicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka. Mereka akan memegang ular, dan sekalipun meminum racun mereka tidak akan mendapat celaka. Mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh.


Jangan pernah ragu akan karunia Tuhan yang tercurah dalam diri kita. Percayalah Tuhan akan memampukan kita untuk menjadi kabar gembira-kabar suka-cita yang sangat dibutuhkan untuk kejayaan masyarakat-bangsa-negara. Kita yakin dan percaya, bila setiap insan beragama menyadari ‘tugas-panggilan yang sama: menjadi kabar gembira bagi sesama, kita bangkit menjadi bangsa  besar, berhati besar, berpikir besar, dan berkarya besar.

Inilah, komitmen dan inilah pergulatan hidup yang Tuhan kehendaki...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...