Ternyata lelaki berambut gimbal--pakaian kumal--bertubuh hitam legam itu, hanya ingin memasukkan uang lembaran Rp 10.000,00, di kardus yang dibawa ‘Pengamen Peduli Merapi.
Pada akhir sharing, tiga siswi yang sempat ketakutan itu, dengan suara bergetar berujar, kami menemukan perbedaan utama antara orang gila dan orang normal. Orang gila mengejar kebaikan, sedang orang normal, saat ini, malah lari dari kebaikan.
Ada refleksi menarik selama mendampingi penyiar-penyiar radio sekolah. Selama
satu minggu, dalam rangka Peduli Merapi,
2010. Pada hari kelima turun di jalan, tentu sesudah pelajaran usai, kita
ngamen di jalan-jalan kota pesisir tempat kami tinggal. Dengan lima kelompok,
semuanya penyiar radio sekolah, yang
masih belia dari SD-SMA, mengambil rute yang telah disepakati sehari
sebelumnya.
Seusai ngamen, kita berkumpul di studio untuk menghitung berapa ‘tali kasih
untuk Merapi’ terkumpul. Sambil menghitung hasil ‘ngamen’ kita selalu ‘sharing’ akan
peristiwa-pengalaman-kejadian yang dialami. Hari kelima, kami menemukan
refleksi yang sangat menusuk kesadaran: apa
bedanya orang gila dan orang normal?
Seorang ‘penyiar yang kebetulan dari kelas X SMA, bersama dua teman
ngamennya, sharing
dengan menggebu. Mereka dikejar orang gila. Bertiga mereka lari tunggang
langgang. Mereka bersembunyi disela kendaraan di parkiran sebuhan swalayan,
dengan harapan terbebas dari uberan “orang gila”.
Anehnya, orang gila yang biasanya duduk-duduk di belakang sekolah itu tetap mengejar. Akhirnya, mereka bertiga pun menyerah. Dan, apa yang terjadi? Ternyata lelaki berambut gimbal--pakaian kumal--bertubuh hitam legam itu, hanya ingin memasukkan uang lembaran Rp 10.000,00, di kardus yang dibawa ‘Pengamen Peduli Merapi.
Pada akhir sharing, tiga siswi yang
ketakutan itu, dengan suara bergetar berujar, kami menemukan perbedaan utama
antara orang gila dan orang normal. Orang
gila mengejar kebaikan, sedang orang normal, saat ini, malah lari dari
kebaikan.
Studio pun senyap. Ada getaran luar biasa menyeruak ke relung-relung hati
penyiar-penyiar belia radio sekolah, siswa-siswi dari SD-SMP-SMA. Sebuah
getaran yang menciptakan “keheningan”. Sebuah getaran yang menjadi penyemangat
bahwa yang mereka lakukan untuk datang ke Lereng Merapi mengunjungi
tempat-tempat pengungsian terberkati...
Sahabat,
pernahkah kita berpikir untuk apakah kita ini hidup? Tujuan apakah yang akan
kita raih dengan hidup dan kehidupan ini? Pasti, kita akan
mengangguk-angguk. “Tidak sempat berpikir begitu!” Sering kita terjebak
dalam rutinitas hidup: kerja, kerja, kerja: uang-uang-uang sehingga ketika
sedang sakit, kita baru tersadarkan akan ke mana, untuk apa, apa yang ingin aku
dapatkan dalam hidup ini?
“Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah kabar gembira kepada segala makhluk.
Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, sebaliknya siapa yang tidak
percaya akan dihukum. Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya:
mereka akan mengusir setan-setan demi nama-Ku, mereka akan bicara dalam
bahasa-bahasa yang baru bagi mereka. Mereka akan memegang ular, dan sekalipun
meminum racun mereka tidak akan mendapat celaka. Mereka akan meletakkan
tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh”
(Markus 16: 15-18).
Harus menjadi dasar hidup setiap insan. Semua orang Tuhan panggil dan Tuhan utus
untuk menyampaikan kabar gembira. Mereka yang menyadari dan melaksanakan
tugas-panggilan itu akan diteguhkan, sebaliknya mereka yang menolak-mengingkari
tugas-panggilan itu akan dihukum.
Artinya, setiap
orang dipanggil-diutus untuk menjadi pewarta kabar gembira. Lebih tegas lagi,
setiap orang dipanggil-diutus untuk menjadi kabar gembira. Pengalaman
penyiar-penyiar belia, sewaktu ngamen untuk Merapi, menghadirkan pengalaman
batin-rohani yang luar biasa.
Orang gila mengejar kebaikan, orang-orang normal lari dari
kebaikan.
Ada semacam disposisi bahwa dalam kehidupan kongkret untuk menjadi kabar
gembira bagi sesama tidaklah mudah. Terlebih pada zaman ‘jungkir-balik” dengan
diperbudak games, medsos. Dan yang terkontaminasi filsafat hidup: coromemus nos rosis, cras enim
moriemur, (marilah kita nikmati hidup sepuas-puasnya sebab esok
hari kita akan mati.)
Kita dipanggil-diutus untuk menjadi kabar gembira bagi sesama. Syukurilah
berkat panggilan itu. Berdirilah teguh. Kuatkan dalam niat-tulus untuk
melaksanakan tugas-panggilan menjadi kabar gembira.
“Tanda-tanda ini akan
menyertai orang-orang yang percaya: mereka akan mengusir setan-setan demi
nama-Ku, mereka akan bicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka. Mereka
akan memegang ular, dan sekalipun meminum racun mereka tidak akan mendapat
celaka. Mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan
sembuh.”
Jangan pernah ragu akan karunia Tuhan yang tercurah dalam diri kita. Percayalah
Tuhan akan memampukan kita untuk menjadi kabar gembira-kabar suka-cita yang
sangat dibutuhkan untuk kejayaan masyarakat-bangsa-negara. Kita yakin dan
percaya, bila setiap insan beragama menyadari ‘tugas-panggilan yang sama:
menjadi kabar gembira bagi sesama, kita bangkit menjadi bangsa besar,
berhati besar, berpikir besar, dan berkarya besar.
Inilah, komitmen dan inilah pergulatan hidup yang Tuhan kehendaki...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar