Rabu, 03 Maret 2021

REFLEKSI: 36 KEHILANGAN

 

Setiap orang pasti pernah kehilangan. Entah benda atau kerabat tercinta. Pasti, setiap orang menyikapinya secara beragam.

Ada yang sedih berkepanjangan. Ada yang tertekan, depresi, hilang kesadaran. Tadi ada juga yang ‘berpasrah atas kehendak-Nya’ sehingga lebih ikhlas menerima situasi kehilangan.

Daud, sang penyair agung penulis mazmur, juga pernah kehilangan. Pernahkah mencermati bagaimana pergumulan Daud saat kehilangan putra tercintanya? Saat itu, putranya sakit, bahkan hampir mati.

Daud pun sempat putus asa. Tidak makan dan tidak minum. Ia tidak melakukan apa pun. Apa yang Daud lakukan?

Daud pun berada di tempat doa. Siang-malam Daud berdoa tiada henti. Daud percaya Tuhan akan mendengar keluh-kesahnya. Tuhan akan mendengarkan dan mengabulkan doanya. Daud percaya putra kesayangannya akan sembuh.

Walau doa Daud tak henti-henti dan penuh iman dan khusyuk, namun rencana Tuhan berbeda dengan rencana manusia. Pada hari ketujuh putra Daud meninggal. 


 

Para pelayan ketakutan dan bingung bagaimana cara memberitahu tuannya. Para pelayan sangat khawatir, bila berita kematian putra kesayangannya disampaikan, pasti Daud akan semakin tertekan dan putus asa.

Ternyata perkiraan para pelayan salah. Begitu Daud mendengar bahwa putranya Tuhan panggil, ia pun bangun dari lantai tempatnya berdoa. Ia mencuci wajahnya dan mengenakan pakaian baru. Meminta para pelayan menyiapkan makanan dan minuman.

Ia pun duduk menikmati makanan dan minuman yang disediakan pelayan.

Para pelayan heran. Sangat heran. Mereka memberanikan diri berujar pada tuannya. ”Tuan, saat putra tuan sakit, tuan berpuasa-berdoa siang malam. Kini, putra tuan telah pergi. Namun, seolah tidak ada masalah?”

Daud pun menjawab, “Aku berpuasa-berdoa saat putraku sakit dengan berpikir Tuhan akan menyembuhkannya. Tapi, kini, putraku telah pergi. Aku tidak dapat mendatangkan putraku kembali. Putraku tidak akan kembali. Aku semakin menyadari, akulah yang akan pergi kepadanya.”

Selayaknya kita belajar pada Daud. Selayaknya, kita meneladani Daud bagaimana menyikapi rasa kehilangan-kesedihan-penderitaan-kegagalan. Layak pulalah Daud menjadi kiblat-panutan dalam menyikapi sisi-sisi gelap, saat-saat roda hidup berada di bawah.

Hidup dalam kasih Tuhan menjadikan kita lebih bijaksana dalam pergulatan dan pergumulan hidup. Lebih cerdas dalam pergumulan perputaran roda kehidupan. Lebih cerdas memilah-memilih paradoksal kehidupan: gagal-sukses, suka-duka, bahagia-sengsara, dicari-ditinggalkan, dikagumi-dilacehkan.

Pada saat-saat kita kehilangan-gagal-menderita-sengsara carilah ‘akar permasalahan’. Temukan penyebabnya. Refleksikan hingga kita temukan solusi terbaik.

Janganlah “berhenti” dan dikuasai peristiwa-pengalaman pahit. Bangun-berdiri-mencari-menemukan. Itulah hakikat terdalam hidup dalam kasih Tuhan.

"Bagaimana pendapatmu? Jika seseorang mempunyai seratus ekor domba dan seekor di antaranya sesat, tidakkah ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan dan pergi mencari yang sesat itu? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika ia berhasil menemukannya, lebih besar kegembiraannya atas yang seekor itu daripada atas kesembilan puluh sembilan ekor yang tidak sesat. Demikian pula Bapamu di surga tidak menghendaki seorang pun anak-anaknya hilang.” (Matius 18: 12-14).

Ingatlah, Tuhan tidak pernah membebani di luar batas kemampuan kita. Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan tidak pernah membiarkan kita.

Tuhan selalu mengulurkan tangan dengan kerinduan terdalam agar kita menyambutnya. Tidak ada kata terlambat untuk menyambut uluran tangan Tuhan hingga hidup dalam kasih-Nya.

Inilah iman dan inilah penghayatan hidup yang Tuhan kehendaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...