Selasa, 02 Maret 2021

REFLEKSI : 29 HIDUP SEGAN, MATI TAK HENDAK

(Hidup tidak karena doa, mati tidak karena sumpah menjauhkan manusia pada asal dan tujuan hidup. Membutakan setiap orang akan Sang Sumber Hidup: Tuhan Yang Maharahim.)

Merefleksikan kata ‘hidup’ dalam berbagai peribahasa, kita pun semakin menyadari bahwa hidup yang hanya ‘sebentar’ ini harus disyukuri, diperjuangkan, dan diperdayakan sehingga menghadirkan kebahagiaan, kedamaian, ketenteraman, kesejahteraan, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi lebih-lebih untuk orang lain.

Satu sisi, kita tidak bisa bermain-main dengan hidup dan kehidupan kita karena harus mempertanggungjawabkan secara personal pada Sang Sumber Hidup. Sedang sisi lain, kita tidak bisa berbuat apa-apa dalam hidup dan kehidupan tanpa ada dan berada pada Sang Sumber Hidup.

Hidup dikandung adat, mati dikandung tanah menyadarkan kita untuk cerdas dalam bersikap pada adat-istiadat di tengah masyarakat. Kita tidak bisa berbuat atau berperilaku seturut kemauan-penafsiran-kebenaran diri sendiri.

Selayaknya, kita cerdas untuk menyesuaikan dengan lingkungan masyarakat, adat-istiadat, aturan-aturan, serta kesepakatan yang dijunjung bersama. Tegasnya, hidup kayu berbuah, hidup manusia untuk berjasa: kita memiliki kontribusi dalam menciptakan masyarakat yang rukun-damai-tenteram.

Cerdas bersikap serta berkontribusi dalam hidup bersama berarti hidup sandar-menyandar umpama aur dengan tebing. Sebuah kesadaran hakiki bahwa kita tidak dapat hidup sendiri. Kapan pun dan di mana pun kita saling bergantung.

Dibutuhkan gotong-royong, saling membantu, saling mendukung, saling berbagi. Tanpa, harus dibatasi oleh sekat-sekat kehidupan seperti suku-golongan-status-agama. Sebuah kemistian dan kekinian. Suatu realitas yang tidak dapat ditolak atau diingkari: saling menyempurnakan dalam keberbedaan.

Nuansa hidup yang dihayati dalam ‘saling ketergantungan’ manjauhkan setiap orang dari realitas hidup segan mati tak hendak. Kesadaran ‘saling bergantung dan saling menyempurnakan’ membebaskan orang dari situasi keputusasaan, kesia-siaan, kesengsaraan, kesendirian: hidup segan mati tak hendak.

Nuansa hidup terbeban-terkucil-sengsara hanya terjadi pada orang-orang ‘egois-sombong-angkuh. Terjadi pada orang-orang yang picik dan dangkal memaknai hidup sehingga menganggap diri paling benar-sempurna-suci, sehingga ‘mengharamkan’ setiap ketulusan untuk bersama-sama menciptakan kedamaian dan kesejahteraan.

Orang-orang yang dikuasai nuansa hidup segan mati tak hendak, secara otomatis terjebak dalam pergumulan dan pergulatan hidup tidak karena doa, mati tidak karena sumpah. Dengan usaha-kerja-berjuang sendiri manusia mampu menemukan kebahagiaan tanpa harus peduli atas sesamanya.

Hidup tidak karena doa, mati tidak karena sumpah menjauhkan manusia pada asal dan tujuan hidup. Membutakan setiap orang akan Sang Sumber Hidup: Tuhan Yang Maharahim.

Alur hidup tidak karena doa mati tidak karena sumpah selalu dan terus-menerus menjerumuskan orang untuk menghalalkan segala cara. Mengambil yang bukan hak dan miliknya menjadi hal yang biasa dan tidak berdosa. Hidup sukses di atas penderitaan dan kesengsaraan orang lain bukan menjadi sebuah aib, tetapi malam menjadi sebuah kebanggaan.

Sahabat, pernahkah kita berefleksi nuansa atau alur pergumulan dan pergulatan hidup manakah yang kita jalani kini-sini?

Haruskah kita bertahan dan mempertahankan nuansa hidup yang hanya menghadirkan kehampaan dan kekosongan batin-rohani?

“Kepada Tuhan sajalah hai bangsa-bangsa kemuliaan dan kekuatan. Bawalah prsembahan dan masuklah ke palataran-Nya. Sujudlah menyembah Tuhan dengan berhiaskan kekudusan. Gemetarlah di hadapan-Nya, hai segenap bumi. Katakanlah di antara bangsa-bangsa. Tuhan akan mengadili bangsa-bangsa dalam kebenaran.”(Mazmur 96: 8-10)

Layaklah tiga ayat mazmur Daud, Sang Penyair Agung, kita refleksikan sehingga kita cerdas dalam pergumulan dan pergulatan hidup. 


 

Cerdas mensyukuri hidup. Cerdas mengolah hidup. Dan, akhirnya, kita pun cerdas mempertanggungjawabkan hidup ini pada Sang Sumber Hidup. Tuhan memberkati...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...