(“Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? Tuhan adalah benteng hidupku terhadap siapakah aku harus gentar? (Mazmur 27: 1-2)
Banyak orang mudah menyerah dan kalah dalam pergumulan dan pergulatan hidup. Tidak ada daya hidup, daya juang dalam menjalani hidup dan kehidupan.
Tidak ada pendirian dan prisip yang mengokohkan penghayatan hidup. Tidak ada orientasi nilai yang mendasari peziarahan hidup hingga lebih memilih mengikuti arus zaman atau kemauan milienya.
Banyak orang menjadi tak berdaya mengahadapi situasi dan kondisi hidupnya. Akibatnya memilih hal yang mudah asal mendatangkan keuntungan materi. Akibatnya mengikuti ‘kebiasaan milieunya’ daripada tersingkir-terkcil atau kehilangan jabatan-kedudukan-kekuasaan. Tak mengherankan bila korupsi bukanlah dosa.
Tak heran suap-menyuap dan saling melindungi dalam korupsi bukan suatu aib. Tak mengherankan bila membeli ijazah bukanlah kenistaan. Tidak mengherankan memberli soal-soal ujian nasional dan jawabnya bukan suatu kecurangan.
Banyak orang tidak memiliki ‘daya sanggah’ menghadpi lingkungan kerja, lingkungan masyarakat, bahkan komunitasnya.
Untuk apa kejujuran dipertahankan bila harus menghadapi cercaan-tekanan-fitnah atau disingkirkan. Untuk apa kesetiaan dipertahankan bila seluruh ‘rekan dan kolega’ yang ‘berselingkuh’ dapat hidup lebih ‘mewah-sukses’.
Sahabat, kita merindukan suasana hidup yang berlandaskan kejujuran-kesetiaan-kedamaian-ketulusan. Kita merindukan nuansa hidup bermasyarakat-berbangsa-bernegara saling mengakui, saling menghormati, saling menghargai.
Kita merindukan sebuah masyarakat-bangsa-negara yang didasarkan pada ‘bersama-sama menjadi satu, sama untuk bersendiri-sendiri’. Kita merindukan sebuah masyarakat-bangsa-negara yang menyejahterakan-mencerahkan-memberdayakan. Mungkinkah?
Semuanya akan terjadi bila setiap orang cerdas mengolah hidup. Artinya, setiap orang berkemampuan mengembangkan potensi diri hingga semakin berkualitas, semakin lebih baik, semakin sempurna. Cerdas mengolah hidup berarti cerdas dalam olah pikir dan olah rasa.
Pertama, olah pikir berarti melatih berpikir untuk mempertajam daya tangkap, daya ungkap, dan daya tanggap. Ketajaman daya tangkap menjadikan kita cepat memahami-mengerti-menguasai Sesutu yang baru, yang ktia dengar, dan yang kita lihat.
Ketajaman daya ungkap berarti ‘bijak dalam menanggapi’: pendapat-peristiwa-realitas-fenomena. Tidak serta-merta bereaksi, tetapi sadar ‘kapan harus berbicara dan menyatakan pendapat’. Sedangkan daya tanggap lebih menunjuk pada kecerdasan untuk berbuat. Tahu dan mau berbuat sesuatu yang mencerdasakan-mencerahkan-memberdayakan sesame.
Kedua, olah rasa berarti melatih rasa atau batin rohani untuk mengungkapkan dan menyehatkan batin-rohani hingga meningkatkan kemampuan daya tangkap batin rohani.
Olah rasa atau olah batin rohani menjadi kita selalu ingat pada ‘asal dan tujuan’ hidup. Menjadikan kita untuk selalu menjadi sempurna dalam hidup sebagaimana ‘roh kesempurnaan’ yang Tuhan berikan pada tubuh kita.
“Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? Tuhan adalah benteng hidupku terhadap siapakah aku harus gentar? Inilah yang harus kita jadikan dasar pergumulan dan pergulatan hidup hingga kita cerdas mengolah hidup: Tuhan adalah terang dan benteng hidup kita.
Dengan demikian hidup beragama dan keberagamaan menghadirkan masyarakat-bangsa-negara yang damai-tenteram-sejahtera.
Sahabat, sudahkah kita menjadi cerdas dalam mengolah hidup dengan dasar “Tuhan adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut?
Tuhan adalah benteng hidupku terhadap siapakah aku harus gentar? Kinilah saatnya untuk bertumbuh-berkembang-berubah. Tuhan memberkati…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar