Jumat, 28 Mei 2010

Komersialisasi dan Politisasi Pendidikan

Oleh : Js Kamdhi | 28-Mei-2010, 02:05:54 WIB
KabarIndonesia - Nenek-moyang kita adalah bangsa besar: berpikir besar, berjiwa besar, berhati besar dan berkarya besar. Candi Prambanan-Borobodur-candi-candi yang berjajar dari Sabang-Merauke, keraton-keraton yang masih tegar-tegak, bangunan-bangunan tempat ibadah yang masih kokoh kuat mekipun telah dibangun ratusan tahun silam merupakan wujud nyata bangsa besar. Kini, kita menjadi bangsa yang tak berdaya: banyak hutang, kalah bersaing dalam semua segmen: ekonomi-pendidikan-olahraga-perdagangan.

Sebagai negara maritim terkaya di dunia, kita tak berkemampuan menyejahterakan rakyat. Alih-alih menyejahterakan, garam dan ikan pun kita impor. Sebagai negara agraris yang subur dan kaya-raya, kita menjadi lumpuh dengan impor beras, kedele, gula, terigu, serta buah-buahan. Bermimpi menjadi negara industri, kita hanya berkemampuan ‘berlisensi’. Kenapa kita tidak mampu berdiri tegak sebagaimana nenek-moyang yang mampu membangun Borobudur, Prambanan dan keraton-keraton? Alienasi-komersialisasi-politisasi pendidikanlah jawabnya.


Alienasi-Komersialisasi-Politisasi

Pendidikan di sekolah, sebagai lembaga didik, dalam arti yang paling mendasar adalah bantuan agar seseorang dapat meneruskan pendidikan keluarga dalam mengembangkan dirinya sehingga berkemampuan menentukan benar-salah (dewasa intelektual), baik-buruk (dewasa moral), pantas-tidak pantas (dewasa afeksional), berkemampuan mengutamakan kepentingan bersama daripada kepentingan diri sendiri (dewasa sosial) dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Artinya, pendidikan sekolah harus dipahami sebagai berpangkal pada murid, berbasis pada murid, dilaksanakan oleh murid, dan demi kepentingan murid. Pendidikan harus menjadi suatu proses didaktis. Setiap pendidikan, khususnya di sekolah, harus merupakan proses pembelajaran: sedikit demi sedikit, langkah demi langkah sehingga membantu agar yang dipelajari oleh murid semakin terintegrasikan ke dalam diri murid. Oleh sebab itu, pendidikan berkaitan erat dengan keadaan nyata manusia yang belajar, teman belajarnya, konteks hidup, dan guru pelajarannya.

Pengalaman nilai dan pembentukan pribadi yang integral melalui pembelajaran harus bertumpu pada konteks budaya, sosial, ekonomi, adat-istiadat, tradisi, kepercayaan, bahkan politik yang bertumbuh dan berkembang sebab murid memulai proses pendidikan sejak di tengah keluarganya, masyarakatnya, bangsanya, dan negaranya. Seluruh pendampingan perasaan, pikiran, tindakan selalu dalam konteks hidup dan kehidupannya.

Sifat dasar sekolah dan pembelajaran adalah merangsang dan mendorong kreativitas murid. Murid harus berkemampuan memilih apa yang dipelajari, belajar bagaimana belajar, cerdas dalam bersikap, dan terbuka atas pembaharuan. Pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa sehingga murid mampu menciptakan kultur pribadi yang dapat mengembangkan daya pemahaman, penerapan, dan inovasi-inovasi kreatif.


Disintegrasi Bangsa

Fenomena ”kastanisasi pendidikan” Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), Sekolah Standar Nasional (SNN), dan Sekolah Reguler (SR) merupakan wujud pengingkaran arah-tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Perilaku diskriminatif yang berdampak sistemik dalam proses bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Sebuah pengingkaran sejarah dan pengingkaran kodrati sebagai manusia Indonesia yang berumah ”Pancasila”, yang beralamat UUD 1945, serta yang berprinsip bersama-sama menjadi satu, sama untuk bersendiri-sendiri.

Kastanisasi pendidikan yang kini semakin merebak harus disikapi sebagai kegagalan proses integrasi bangsa. ”Bangunlah Jiwanya,” sebagaimana kita ucapkan lantang setiap menyanyikan ’lagu kebangsaan” (yang seharusnya menjadi pijakan pembangunan) tergantikan dengan ’komersialisasi dan politisasi’. Artinya, uanglah yang mahakuasa!

Pengotak-ngotakan pendidikan sebagai imbas alienasi, komersialisasi, politisasi pendidikan menghidupsuburkan ’disintegrasi bangsa’. Pelajar sebagai ’pemilik sah republik ini’ terindoktrinasi paham dikotomi: kaya-pintar-sukses dan miskin-bodoh-gagal. Marak dan merebaknya ’gang motor’, ’tawuran pelajar’, tawuran suporter, selayaknya dikritisi dalam alur pemikiran ini.
Selayaknya, pemerintah mengevaluasi kebijakan kontraproduktif dan diskriminatif: amandemen UU Sisdiknas. Modernisasi pendidikan hingga ke pelosok negeri wajib hukumnya. Pasti, tetap dalam koridor ”bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya,” mencerdaskan kehidupan bangsa, serta bersama-sama menjadi satu dan sama untuk bersendiri-sendiri.
(*)





Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:
www.kabarindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...