Senin, 09 Maret 2009

TETESAN EMBUN JEES: MARET 2009

Maret 2009 Berserah dalam Pelayanan

METANOIA NO. 03/Th. I/3/2009

Mengapa Tetesan Embun?

Aku minta Tuhan menyingkirkan deritaku, Tuhan menjawab, “Tidak, itu bukan untuk Kusingkirkan tetapi agar kau mengalahkannya.Aku minta Tuhan menyempurnakan kecacatanku, Tuhan menjawab, “Tidak, jiwa itu sempurna, badan hanyalah sementara.”Aku minta Tuhan memberiku kesabaran, Tuhan menjawab, “Tidak, kesabaran adalah hasil dari kesulitan. Itu tidak dihadiahkan tapi untuk dipelajari.”Aku minta Tuhan agar memberiku kebahagiaan, Tuhan menjawab, “Tidak, Aku memberimu berkat, kebahagiaan itu tergantung padamu.” Aku minta Tuhan menjauhkanku dari penderitaan, Tuhan menjawab, “Tidak, penderitaan menjauhkanmu dari perhatian duniawi dan membawamu dekat kepada-Ku.”Aku minta Tuhan menumbuhkan Roh, Tuhan menjawab, “Tidak, kau harus menumbuhkannya sendiri,tetapi Aku akan memangkas setiap ranting kering untuk membuat kamu berbuah.”Aku minta Tuhan segala hal yang membuatku menikmati hidup, Tuhan menjawab,“Tidak, Aku akan memberimu hidup, sehingga kau dapat menikmati segala hal.”Aku minta Tuhan membantuku mengasihi orang lain seperti Ia mengasihi aku, Tuhan menjawab:

“Ahhhhhhh……akhirnya kau mengerti. Hari ini adalah milikmu. Jangan sia-siakan. Tuhan memberkatimu. Bagi dunia mungkin kau hanyalah seseorang tetapi bagi seseorang kau mungkin dunianya.” (Clara Cyndi)

REFLEKSI:

Wajah-wajah

Wajah memegang peran penting dalam pergaulan hidup bersama. Wajah cerah mengusir hati susah. Wajah gerah, membuat hati gundah. Senyuman manis di wajah membuat hidup bersama jadi indah.

Sayang, kini, wajah tidak lagi menampilkan hati. Wajah menyembunyikan isi hati. Wajah tidak lagi menunjukkan isi hati. Mengapa? Kemunafikan, jawabnya. Yang kita temukan, dalam hidup sehari-hari, wajah kebohongan, pura-pura, bertopeng, bunglon. Manusia modern, manusia seribu wajah!

Alangkah indahnya hidup bersama bila wajah-wajah memancarkan kecerahan, keramahan, kasih, sebagai pantulan jiwa murni, tulus, suci.. Surga!

Sebaliknya, betapa gerah hidup ini, bila setiap saat kita berjumpa dengan wajah-wajah lusuh, keruh, garang, penuh curiga, dan semena-mena. Neraka!

Kita semua merindukan kehidupan bersama yang saling pengertian, saling memahami, saling mengakui, mendukung, menerima, dan saling menyempurnakan. Sehingga, hidup bersama bukan hanya kumpulan wajah yang saling menipu, tetapi pancaran hidup dan perjuangan hidup. Bukankah bila hati kita tulus-ikhlas-jujur, wajah cerah penuh gairah? Bukankah hati yang baik-sabar, lebih mulia daripada wajah tampan atau jelita?

“Jiwa yang telah menyaksikan hantu kematian tak dapat ditakut-takuti oleh wajah pencuri, prajurit yang telah melihat pedang di atas kepalanya dan aliran darah di bawah kakinya tak peduli batu-batu yang dilemparkan kepadanya” tulis sang penyair agung, Khalil Gibran.

Wajah manusia bijaksana memiliki jiwa berani. Audentes Deus ipse invat: Tuhan selalu menolong orang yang berani. Berani berkata tidak, berani menentang arus, berani berkata ya, berani membela yang tersisih-tergusur- terpinggirkan,

Betapa banyak orang, pada era global ini, lupa memperhatikan kebutuhan jiwanya. Negeri ini dipenuhi wajah-wajah pemburu harta, kekayaan, jabatan, status. Kita lupa, ”Apakah gunanya orang memperoleh seluruh dunia, bila kehilangan jiwanya?”(Matius 16:25)

Wajah-wajah yang kita jumpai setiap harinya: manusia bertindak ngawur, karena jiwanya rendah, tidak jujur, dan tidak luhur. Bahkan, sering tingkah lakunya aneh, supersibuk, penuh tanya karena jiwa tak pernah terpelihara.

Wajah keluarga, wajah masyarakat, wajah bangsa, wajah negara, dan juga wajah gereja sering carut-marut karna wajah manusia carut-marut pula. Sebaliknya, keluarga-masyararakat-bangsa-negara, juga gereja, indah mempesona bila wajah manusia indah mempesona!

Metanoia adalah jiwa murni. Karna, hanya jiwa yang terpelihara, jiwa yang berani dan suci, jiwa yang bijaksana mampu menjadikan keluarga-masyarakat-gereja menjadi GTR (garam-terang-ragi). Tak ada guna kita berpantang atau berpuasa bila jiwa murni tak kita miliki! .

. “Pergilah ke seluruh dunia, jadikanlah semua bangsa murid-Ku, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.” (Matius 28:19-20)

INSPIRASI

BINTANG

Tak asing bagi kita: bintang di langit. Tak terbilang jumlahnya. Mempesona malam terang. Menggedor kesadaran batin-rohani bila lama-lama berhening dengannya pada keheningan malam.

Bintang adalah simbol harapan. Tak percaya? Gantungkan cita-cita setinggi bintang di langit. Anak keturunanmu akan seperti bintang di langit. (Janji Tuhan pada Abraham). Bintang juga simbol keberhasilan dalam hidup: bintang kelas, bintang lapangan, bintang film, dlsb.

Tapi, pernahkan Anda berpikir bahwa bintang adalah simbol kesetiaan?

Bintang selalu setia. Tak pernah lelah, sakit hati, minder, memfitnah, dan tak kenal surut langkah. Tidak percaya? Bintang selalu bersinar, pada waktu siang, meski kalah sinar dan dayanya dengan matahari. Bintang tidak pernah melawan atau ramai-ramai mogok dan demo. Bintang dengan penuh kesetiaan tetap bersinar walau sinarnya kalah dengan sinar matahari.

Laut

Apa yang menarik dari laut? Apa yang dapat kita banggakan dengan sebutan negeri maritim. Pernah saya presentasi di hadapan Tim Penguji Departemen Kelautan (2004) bahwa masa depan Dunia ada di Laut Indonesia.

Bahkan, dari budidaya udang, kita bisa bayar utang. Namun kenyataannya? Kita tidak pernah belajar dan berefleksi tentang laut.

Laut adalah simbol totalitas jiwa rohani manusia. Apa pun yang dibawa aliran sungai tak ada yang ditolak, dipilah, atau ditunda. Semua yang terbawa arus deras sungai diterimanya dengan ”kepasrahan mendalam”. Pasti bukan sebuah kekalahan. Pasti bukan ketidakberdayaan. Air keruh, berlumbur, kotor, tercemar direngkuh-diterima dengan penuh kasih-cinta.

Laut adalah simbol kebijaksanaan dan religiositas. Tak haran banyak penyair menggunakan Laut sebagai simbolisasi interpretasi hidup dan kehidupan.

Memang, indah sekali, bila manusia mampu menjalani hidup dan kehidupan seperti laut. Menerima segala sesuatu dan mengubahnya hingga menjadi ”daya hidup” dan ”sumber hidup” manusia atau biota laut.

Angin

Angin semilir di pegunungan sangat menyejukkan. Sangat diminati orang kota pada akhir pekan. Tak mengeherankan tanah-tanah di bukit atau pegunungan, kini, telah bergeser kepemilikan. Banyak villa dibangun. Sebagai tempat istirahat di kala badan penat atau pikiran kusut.

Angin gunung beda dengan angin laut. Angin laut biasanya kurang bersahabat. Bikin penyakit. Sama halnya dengan badai gurun. Meski masih sekerabat, badai gurun bikin orang takut. Kini, yang menjadi musuh manusia global adalah angin puting beliung. Bikin sengsara, bikin kalang kabut.

Hanya, yang memikat dari angin: tak pandang bulu. Tetangga ”goreng” ikan asin, kita ikut menikmati. Goreng bawang merah, ikut menelan air liur. Tak ketinggalan, teman yang duduk di sebelah, lalu buang angin, kita pun kalang kabutan.

Bila angin bisa dan mampu menjalani perannya tanpa pandang bulu, tanpa pilih kasih. Bergaul dan berbagi dengan siapa saja, mengapa manusia ’enggak bisa’ya? Aneh!

Ombak

Bila kecil sangat bersahabat. Orang berduyun-duyun tamasya ke pantai, tujuannya satu: bermain dengan ombak. Tapi, jangan tanya kalau membesar. Aceh, pangandaran, luluh lantak karena ”ombak besar”. Kapal nelayan, kapal ferry jungkir balik karena ombak.

Dan, kita pun lebih senang bersemangat ombak: ”bergulung-gulung di tengah lautan luas, hilang tak berbekas di tepian. Menggebu, bersemangat, berkobar-kobar: ingin ini, itu,,,tapi ada kesulitan lalu menghilang. Persis kura-kura, bersembunyi di bawah batoknya yang keras. Heran!!

PESONA

Adalah Eny Kusuma penulis buku ANDA LUAR BIASA yang menggagas sebuah refleksi mendalam-menusuk relung kalbu-menyemangati menata hati: REVOLUSI BABU

Eni Kusuma, 31 tahun, lahir di Banyuwangi. Bungsu dari tiga saudara. Akrab dengan kemiskinan-beban hidup-cobaan hidup. Rumahnya pun dekat TPA! Rajin mengaji, sekolah, dan memulung sampah. Ia pun rajin membaca: sobekan buku, koran, majalah yang berserak.

Eni kecil tumbuh sebagai gadis pemalu, pendiam, dan susah bicara. Ia gagap. Maka, ia lebih suka tinggal di rumah daripada bergaul dengan teman sebaya. Atau, sibuk membantu ibunya membuat kue atau membantu ayahnya membuat kerupuk. Eny berhasil menamatkan SMA Negeri 1 Banyuwangi. Tetapi, berulang gagal memperoleh pekerjaan.

Setelah ”MBABU” di Hongkong, Eny dapat membantu ekonomi keluarga. Yang paling membahagiakan: ia bisa membeli buku-buku yang ia suka: penting dan perlu. Pertama, ia belajar menata hati. Menata hati, yang kini hilang dalam hidup manusia, merupakan modal utama untuk do and give the best. Kedua, ia tidak pernah merasa ’tidak bisa’ sekalipun divonis orang ’tidak bisa’..

Eni selalu berpikir positif. Singkat cerita, ia buktikan ”kata orang” memang tidak perlu ditanggapi. Tulisan-tulisan Eni Kusuma muncul di Pembelajaran.com dan sejumlah media: di Hongkong maupun Indonesia.

Eni aktif di banyak milis yang dimoderatori para motivator, penulis senior, dan sastrawan. Bahkan, ia menjadi moderator milis Backhomers bersama rekannya Kristoper David (mahasiswa ITS). Eni menggagas rubrik SO WHAT GITU LOH, yang menjadi idiom anak muda lima tahun terakhir. Ia menulis puisi, novel, dan buku ANDA LUAR BIASA. Adakah hal-hal luar biasa dari Eni Kusuma?

Kita semua adalah babu; selaras dengan kedudukan dan profesi kita. Menjadi babu, menjadi pelayan, seperti kata Maria: fiat me meus est servus Dei (Lukas 1:38)

Ringkas refleksi dari penyapu jalan hingga presiden adalah BABU. Dus, Indonesia akan gemah ripah loh jinawi bila semua komponen bangsa menyadari mengabdi dengan kesabaran dan tanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...