Kamis, 15 Januari 2009

JS KAMDHI: TETESAN EMBUN JANUARI 2009

TetesaN Embun

Januari 2009

Berserah dalam Pelayanan

TAHUN BARU NO. 01/Th. I/1/2009

Mengapa Tetesan Embun?

Kini, kebenaran telah punah di negeri jamzrud khatulistiwa. Kebohongan, pura-pura, kepalsuan, bertebaran di setiap jengkal. Terganggulah relasi. Hilanglah dialog batin rohani. Suasana hidup penuh rekayasa. Basa-basi, tak ada spontanitas.

Sayang, banyak orang menolak yang benar. Yang benar menjadi samar. Yang jujur menjadi hancur. Yang adil menjadi kerdil. Yang setia merana! Menyatakan dan mengatakan yang tidak benar menjada ”gaya hidup”. Benarlah filsuf-penyair John Wolgang von Gothe, ”Kebenaran adalah cahaya yang menyilaukan, sehingga orang lebih suka menutup mata.”

Dari dunia binatang kita bisa belajar bagaimana berinteraksi, bersosialisasi, dan bertahan dalam tantangan-himpitan-cobaan. Seolah, binatang dibekali kemampuan menyesuaikan diri. Ikan, misalnya, meskipun hidup di laut dengan air yang asin, tetapi tidak menjadi asin. Ada daya yang luar biasa hingga tak dilibas situasi, tetapi mampu menciptakan situasi. Tidak terkondisikan, tetapi mengkondisikan.

Lalu, dengan langkah dan gerak jiwa manakah tahun baru, 2009, akan kita jalani?

Menjadi CITRA ALLAH

Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita dengan lidah kita mengutuk manusia yang dicipta serupa Bapa dan dari mulut yang satu keluar kutuk dan berkat (Yakobus 3: 9-10)

Banyak orang mudah takut dan bingung. Banyak orang mudah marah tanpa sebab. Banyak orang mudah gelisah. Cemas, was-was, khawatir tanpa tahu mengapa harus demikian. Banyak orang menjadi cuek, masa bodoh, apatis tanpa tahu mengapa harus bersikap begitu.

Hal tersebut sangat manusiawi. Sebab, dalam hidup keseharian, kita hanya berhenti pada suasana yang tercipta atau kita ciptakan. Kita berdiam diri, menyerah, pasrah. Tak bernyali menjari solusi. Atau, mencari ’causa prima’; penyebab utamanya.

Dalam situasi ini kita menghindar dan berkelit. Seolah, tidak terjadi apa-apa. Kita menyimpan dalam-dalam ke alam bawah sadar. Tak ada daya membongkar dan memperbaharui, menanggalkan dan mengenakan, menafsir dan menaksir ulang arah dan tujuan hidup. Tak ada keberanian dan kejujuran untuk kembali ke panggilan kodrati: menjadi citra Allah.

Menjadi citra Allah tidaklah mudah-populer-memikat untuk saat ini. Terlebih, di tengah dunia yang mengagungkan kemewahan, penampilan, lahiriah, instan menjadi citra Allah adalah kontroversial-kampungan-kuno-udik. Sehingga, harga diri dan jatidiri sebagai ’ciptaan yang paling agung telah hilang dari bumi yang berketuhanan. Lihat saja, siapa yang menghuni Lembaga Pemasyarakatan? ”Orang-orang terhormat” dan ”kaum cerdik-pandai”!

Santo Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja, menyodorkan empat karya besar sebagai solusi menjadi citra Allah: Confessiones, De Trinitate, De Natura et Gratia, dan De Civitate Dei.

Setiap orang harus bertobat (confessiones) agar menemukan Bapa-Putra-Roh Kudus (De Trinitate). Dengan demikian hidup dan kehidupan dihayati sebagai rahmat dan karunia (de natura et gratia): suka-duka, gagal-sukses, gembira-sengsara, sakit-sehat. Dengan demikian, Tuhan merajai hidup dan kehidupan (de civitate Dei). Dengan bertobat-mengalami-mensyukuri-melakukan kehendak-Nya, kita menjadi citra Tuhan. Tanpa keempat Jalan Agustinus tidak mungkinlah kita rukun pada diri sendiri, rukun pada sesama, rukun pada alam semesta.

Kesadaran akan jalan kesadaran Agustinus, setiap orang beriman kristiani akan menjadi garam, terang, dan ragi. Selalu terlibat dan melibatkan diri dalam pemberdayaan dan penebusan. Cepat mengerti, lambat mengadili. Cepat menangkap, lambat komentar!

Mengapa harus cemas-gelisah-takut-khawatir bila kita hidup dalam citra Allah? Kita akan semakin kuat dan tahan banting. Cepat mengampuni dan cepat melupakan kesalahan orang. Dan, seperti Daud kita mengucap setiap saat, ”Sekalipun berjalan di lembah kelam, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.”

Pertolongan Tuhan kepada kita menjadi nyata dalam dan melalui aneka perlakuan yang terarah pada kita, entah yang enak maupun tidak enak, yang sesuai atau tidak sesuai dengan selera pribadi kita.

"Jangan takut kesulitan sebelum kesulitan menyulitkanmu"


INSPIRASI

Berkat Tuhan

Pada musim hujan seperti ini, air sungai akan tampak keruh. Dapat dipahami karena lumpur, sampah, terbawa arus. Hanya, satu hal yang pasti ikan-ikan tetap bertahan. Tetap lincah. Gembira-ria.

Keruhnya air diyakini melimpah rezeki. Makanan berlimpah. Ikan-ikan berpesta. Dan, hanya ikan-ikan yang melompat dari keruhnya airlah yang kelaparan. Ikan-ikan yang kawatir akan mati, hidup tak nyaman, dan menghindar dari keruhnya air.

Rahmat di balik penderitaan, itulah kenyataan”. Jika Anda bertanya bagaimana mungkin ikan dapat mencari makanan di air keruh, silakan Anda merenungi hidup Anda dengan bertanya, ”Bagaimana mungkin Anda dapat mempe-roleh berkat dari keruhnya sungai kehidupan?”

Blencong

Blencong (bukan bencong) adalah lampu di atas Ki Dalang pada saat mengadakan pertunjukan wayang kulit. Karena blencong itulah lahir bayangan yang bisa ditonton di balik layar (kelir) tempat Ki Dalang memainkan wayang. Ada bayangan yang mengganggu pertunjukan, bila kelir (layar) itu kotor dan bernoda. Bayangan akan menjadi kabur, apalagi bila wayang jauh dari kelir.

Wayang adalah penghadiran kehidupan manusia. Setiap orang memiliki peran: raksasa, satria, cendekia, pendeta, prajurit, raja, ratu. Peran akan berakhir bila pertunjukan Ki Dalang telah berakhir.

Orang lain melihat bayangan kita, perilaku dan jatidiri kita, dari balik kelir/layar pertunjukan. Hati yang culas, kotor, penuh curiga, materialis, hedonis menciptakan bayang-bayang yang suram-kabur. Sebaliknya, jiwa murni-tulus-suci-rendah hati akan menghadirkan bayangan penuh pesona, mimikat, dan enak ditonton. Sinar kasih Allah akan memancar dan memantulkan kasih, harapan, dan daya juang.

Semprong

Pernahkah Anda mendengar kata semprong. Kue semprong sangat gurih, enak, dan lezat. Sebagai cemilan kue semprong sangat diminati.

Di pedesaan, semprong berkaitan dengan masak-memasak. Semprong yang satu ini sempat menghilang. Orang meninggalkan karena takut dibilang ”kutu kupret”

(pinjam istilah Tukul). Kini, semprong yang terbuat dari satu ruas bambu ini diminati lagi: akibat konversi minyak tanah sehingga masak-memasak kembali menggunakan kayu bakar. Dus, bila api padam, semprong digunakan untuk ’menghidupkan api” dengan cara ditiup.

Masih di pedesaan ”semprong yang ini” berkait dengan penerangan. Terbuat dari kaca, tipis, dan digunakan untuk melindungi ”nyala api dari dian”. Sering, semprong berjelaga karena sumbu minyak sering bernyala terlalu besar. Kalau sudah demikian, sinar menjadi buram.

Kita pun semprong juga. Tentu, semprong terakhir . Nyala api adalah Sang Immanuel. Kitalah semprongnya. Berjelagakah kita?

Kepiting Pantai

Pernah pesiar di pantai? Ya, di atas pasir bersih kita akan melihat banyak kepiting. Lucu, gesit, membuat gemas. Suatu hari ”Sang Induk Kepiting” memarahi anak-anaknya. Katanya, ”Hai, kenapa kalian berjalan mundur? Lihat, teman-temanmu slalu berjalan maju! Memalukan!”

Anak-anak kepiting bungkam. Tertunduk. Lesu. Hening. Lamaaa sekali. Tiba-tiba, salah satu anak kepiting berteriak keras, ”Ibu, bukankah kami belajar berjalan dari ibu? Bukankah selama ini ibu mengajari kami berjalan mundur?”

Sang ibu pun tertunduk. Malu. Sangat malu.

PESONA

Namanya Eroh. Usia 67 tahun. Pendidikan terakhir Kelas 3 SR (SD). Alamat Kampung Pasirkadu, Desa Santanamekar, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya. Pernah mendapat penghargaan (1) Pekan Penghijauan Narional, (2) Pekerja Sosial Masyarakat, (3) Kalpataru, (4) Penghargaan 500 Besar Dunia dari UNEP PBB.

Ibu Eroh pernah disangka ”gila” oleh RT-RW-Kuwu. Betapa tidak? Nenek renta yang menghidupi suami (lumpuh) dan anaknya dengan mencari jamur kayu itu bercerita telah menembus delapan bukit. Bahkan, tetangga pun menganggap Ibu Eroh memang gila.

Benarkah Ibu Eroh gila?

Dua tahun Ibu Eroh, yang terispirasi sebuah sungai dengan aliran deras tetapi terhalang delapan bukit dan hutan, sungguh ditaklukkan. Tiap subuh sebelum mencari jamur kuping ibu Eroh menggali dan menggali. Parit sepanjang dua kilometer lebih selesai hampir dua tahun. Menembus delapan bukit dan hutan. Berkelok-kelok bak seekor naga.

Sendirian? Memang! Selama dua tahun lebih ”meraih mimpi kampung nan subur makmur”, ibu Eroh telah menghabiskan dua buah cangkul, singkup empat buah, dan sebuah linggis. Semuanya dibeli dengan menyisihkan penjualan jamur kuping yang ia kumpulkan sehabis ”menjalani ide gila: mengalirkan sungai ke kampungnya”.

Panas terik, guyuran hujan tak mematahkan semangat nenek renta, ketika itu usia sudah 59 tahun? Dan, tak ada orang yang tahu ”kerja ibu Eroh”. Namun, begitu parit mendekati kampung, ibu Eroh meminta perangkat desa dan penduduk membantunya. Tapi, apa didapat ”dianggap gila”.

Dari ”impian gila dan dianggap orang gila” inilah Ibu Eroh berjabat tangan dengan presiden dan dinobatkan PBB sebagai 500 besar Dunia. Dan. Apakah mimpi kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...