“Maka datanglah ibu anak-anak Zebedeus serta anak-anaknya itu kepada Yesus, lalu sujud di hadapan-Nya untuk meminta sesuatu kepada-Nya. Kata Yesus: "Apa yang kaukehendaki?" Jawabnya: "Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu."
Tetapi Yesus menjawab, kata-Nya: "Kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?" Kata mereka kepada-Nya: "Kami dapat." Yesus berkata kepada mereka: "Cawan-Ku memang akan kamu minum, tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa Bapa-Ku telah menyediakannya.”(Matius 20: 20-23)
Bicara tentang ambisi, semua orang punya ambisi yang berbeda-beda. Tidak peduli seberapa besar atau kecilnya. Ambisi membuat kita berani bermimpi meraih cita-cita dan mempunyai tujuan hidup yang jelas.
Ambisi mencerminkan seorang yang optimis, berani, dan tak pernah kenal lelah menghadapi segala rintangan dan hambatan. Selalu percaya diri bahwa setiap harapan akan membuahkan hasil. Menghadapi segala tantangan dan rintangan tanpa rasa takut, mengeluh, serta tanpa berputus asa.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesa (KBBI) Edisi Ketiga, ambisi adalah “keinginan (hasrat, nafsu) yang besar untuk menjadi (memperoleh, mencapai) sesuatu (seperti pangkat, kedudukan) atau melakukan sesuatu”. Singkatnya, ambisius dapat diartikan sebagai “berkeinginan keras mencapai sesuatu (harapan, cita-cita)”. Sedangkan, istilah ambisius “lebih sering: digunakan untuk “melabeli” orang-orang yang terlihat mengejar suatu target yang besar di lingkungannya, dengan menggunakan segala cara untuk mencapainya.
Namun, mengapa keinginan keras untuk mencapai harapan atau cita-cita bisa mempunyai konotasi negatif? Bukankah berdasarkan definisi KBBI, ambisi dipunyai semua orang? Bukankah , ambisilah yang menggerakkan manusia untuk bekerja meraih kehidupan yang ideal menurut dirinya?
Jordan Peterson, penulis ternama sekaligus profesor dan psikolog klinis, menjelaskan bahwa mengubah rutinitas kehidupan dapat mengubah hidup menjadi lebih baik dan menghadirkan dunia yang lebih harmonis. Selama tiga dekade hidupnya, Peterson mempelajari bahwa ada dua sikap fundamental dalam kehidupan. Pertama, orang yang menyalahkan dunia, atau sesuatu di luar dirinya. Kedua, orang yang bertanya, “apakah yang bisa saya lakukan untuk mencapai hasil berbeda?” Kedua sikap ini dapat dijadikan panduan untuk membedakan antara seseorang memiliki ambisi atau tidak sama sekali.
Ambisi membantu orang-orang untuk merangkul tantangan, bukan menolak tantangan, dan menikmatinya. Mereka menyadari pentingnya pengembangan dan pembelajaran diri walaupun terkadang harus dibayar dengan harga pahit. Mereka menentukan nasib mereka sendiri dan tidak berharap pada orang lain. Mereka tidak pernah mengharapkan orang lain datang dan menyuapi mereka dengan hasil tanpa usaha yang layak.
Orang ambisius selalu mempunyai ambisi untuk menjadi lebih baik dalam berbagai bidang, seperti dalam perkuliahan, pekerjaan, hingga rasa kemanusiaan. Mereka cenderung mempunyai tujuan dan kemauan internal untuk mengejar cita-cita atau impian yang jauh lebih besar. Meski, sering melupakan kemampuan, kekuatannya...
Sebenarnya, inilah yang paling penting dalam menyikapi sifat ambisius atau tidak: menghormati pilihan orang lain. Ambisius atau tidak, keduanya akan mengganggu bila dipaksakan kepada orang lain yang belum tentu sepahm, sepikir, dan ssetujuan.
Dalam konteks inilah kita memahami keinginan dan kerinduan Zebedeus. Ia ‘mempunyai mimpi” agar kedua anaknya hidup sukses, bahagia, terhormat, berkedudukan. Tanpa ragu ia meminta pada Yesus: "Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu." Ia meminta “tempat khusus” pada Yesus. Minta tempat terhormat, terpandang.
Namun, apa jawab Yesus? Yesus berkata kepada mereka: "Cawan-Ku memang akan kamu minum, tetapi hal duduk di sebelah kanan-Ku atau di sebelah kiri-Ku, Aku tidak berhak memberikannya. Itu akan diberikan kepada orang-orang bagi siapa Bapa-Ku telah menyediakannya”.
Sering, dan selalu terulang, ambisi yang tidak didasarkan pada integritas serta wawasan luas tentang hidup dan kehidupan, menghadirkan kekecewaan, galau, bahkan sampat tataran masa bodoh.
Pasti Zebedeus dan kedua anaknya belum memahami apa, siapa, mengapa, dan bagaimana Yesus. Pasti, yang mereka bayangkan Yesus menjadi raja. Dan, dengan kedudukanya itu, yang ada dalam bayangan mereka adalah kedudukan, jabatan, pangkat.
Dalam sebuah wawancara Psikolog Ternama, Tika Bisono MPsi Psi, (2008) pernah mendeskripsikan, "Ambisius itu kata sifat dari ambisi. Yang namanya kata sifat ada positif dan negatifnya. Ambisi yang positif dimiliki oleh orang supaya bisa berprestasi dengan baik dan menghasilkan karya terbaik, sementara kalau yang negatif itu sebuah ambisi yang tidak sebanding dengan potensi yang dimiliki, sehingga dia akan memaksakan segala cara," papar mantan penyanyi terkenal di era 1980-an, Tika Bisono MPsi Psi (2008).
Ketika ada kesempatan, tidak ada yang melihat. Ketika ada yang mengambil kesempatan, anda memandang remeh dan rendah orang itu. Ketika orang itu berhasil dan sukses, anda tidak paham. Dan ketika anda sudah mengerti, semuanya sudah terlambat.
Sejatinya, dalam hidup ini kita tidak pernah berusaha mengalahkan orang lain, dan itu sama sekali tidak perlu. Kita cukup mengalahkan diri sendiri. Egoisme. Ketidakpedulian. Ambisi. Rasa takut
Harus kita sadari bahwa manusia harus memiliki ambisi untuk mengubah dirinya lebih baik dari kondisi yang sedang dialami. Sikap ambisi menjadi suatu dorongan untuk melihat yang tidak tampak di mata.
Sikap ambisi menjadi suatu dorongan untuk mendengar yang tidak didengar telinga. Sikap ambisi menjadi suatu dorongan untuk merasakan yang tidak menyentuh perasaan kita.
Inilah pergulatan hidup yang sejatinya: menyempurnakan hidup sehingga menjadi sempurna seperti Bapa di surga.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar