Minggu, 14 Maret 2021

REFLEKSI: 45 JUJUR

Sahabat, untuk hidup jujur: naik ke atas gunung Tuhan dan tinggal di gunung-Nya yang suci dibutuhkan tangan yang bersih, hati yang murni, tidak menipu, dan bersumpah palsu.

Merekalah yang akan menerima berkat Tuhan dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan.

Menjadi suatu keprihatinan bahwa hidup jujur tidak lagi menjadi kerinduan setiap insan. Banyak orang menghindarinya. Banyak orang tidak lagi menempatkan hidup jujur sebagai sebuah pergulatan.

Bahkan, sering kita dengar: berani jujur harus berani hancur.

Realitas hidup ‘hilangnya hidup jujur’ dengan tergantikan dengan “hidup berdusta” atau “hidup berbohong” terjadi dalam semua segmen hidup. Membius seluruh kalangan dari anak-anak hingga kakek-nenek: dari pedesaan hingga perkotaan, dari kaum sudra-papa hingga yang tinggal di apartemen mewah.

Hingga muncullah keyakinan: dusta itu indah. Dusta itu seni. Dusta itu menyenangkan. Dusta itu membahagiakan.

Jujur berarti lurus hati: tidak curang, tulus, dan ikhlas. Orang yang jujur pasti berhati nurani. Pasti mendasari hidup dan kehidupan dengan ‘suara hati’. Sebab, kejujuran selalu menunjuk orang-orang yang memiliki ketulusan-kelurusan hati.

Sebaliknya dusta berkonteks pada ketidakbenaran atau kebohongan. Pendusta adalah orang-orang yang secara sadar mengingkari suara hati. Membiarkan “ketidakbenaran” menguasai hidup dan pergulatan hidupnya.

Refleksi kita, tentu saja, ada di pihak manakah kita, kini-sini; hidup jujur atau hidup dusta? Sampai kapan kita akan mendustai diri sendiri dengan hidup tanpa ada ketulusan-kelurusan hati?

“Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya.

Tuhanlah yang empunya dunia

serta yang diam di dalamnya.

Siapakah yang boleh naik ke atas gunung Tuhan?

Siapakah boleh tinggal di gunung-Mu yang suci?

Orang yang bersih tangannya dan murni hatinya,

yang tidak menyerahkan dirinya pada penipuan,

dan yang tidak bersumpah palsu.

Merekalah yang akan menerima berkat Tuhan dan keadilan

dari Allah yang menyelamatkan.” (


Mazmur 24: 1-5)

Selayaknya mengusik kesadaran hidup kita. Tidak mungkin kita mengingkarinya. Tidak mungkin kita membantah atau menyanggah.

Tuhanlah pencipta semesta alam. Hanya kepada-Nya kita harus menyembah serta bersyukur.

Keyakinan dan keteguhan inilah yang membimbing-menuntun kita untuk cerdas dalam beriman, hingga berucap, “Siapakah yang boleh naik ke atas gunung Tuhan? Siapakah boleh tinggal di gunung-Mu yang suci?”

Sahabat, untuk hidup jujur: naik ke atas gunung Tuhan dan tinggal di gunung-Nya yang suci dibutuhkan tangan yang bersih, hati yang murni, tidak menipu, dan bersumpah palsu. Merekalah yang akan menerima berkat Tuhan dan keadilan dari Allah yang menyelamatkan.

Tangan Bersih

Tangan bersih berkonotasi tidak pernah melakukan hal-hal tercela. Hal-hal yang menyengsarakan sesama. Hal-hal yang bertentangan dengan etika-moral. Hal-hal menyimpang dan berdosa.

Hati yang Murni

Hati yang murni mengindikasikan kesucian-ketulusan-keikhlasan. Hati yang murni menjadikan seseorang selalu hidup dengan berpikir dengan benar, merasa dengan benar, dan bertindak dengan benar.

Bertopeng

Tidak dengan dan dalam kepalsuan, dusta, kebohongan. Bertopeng, penuh rekayasa, munafik laksana kedongdong yang tampak halus-anggun-mempesona, tetapi penuh serabut dan tipu muslihat. Sahabat, hidup jujur menjadikan orang hidup bahagia-optimis-berpengharapan.

Hidup jujur menjadikan orang bersemangat dan bergembira. Setiap tarikan napas adalah ucapan syukur dan ibadah. Setiap kata dan tindakan terfokus pada kebahagiaan, kedamaian, kesejahteran bagi sesamanya.

Inilah keutamaan. Dan, inilah pergumulan hidup yang Tuhan kehendaki.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...