Selasa, 20 Desember 2011

STUDENT CENTERED: HUMANIORA-SPIRITUAL ATMOSPHERE
Oleh JS Kamdhi
Salah satu dosa pendidikan adalah penempatan visi dan misi yang harus menjadi nyata dalam spirit/semangat para pengelola-guru-siswa. Tidak heranlah kita bila nasionalisme-cinta tanah air-patriotisme luntur. ”Wawasan Wiyata Mandala”(semasa ORBA) yang bertumpu pada Missi (tiga pilar berbangsa-bernegara:UUD 1945-NKRI-PANCASILA) hilang ditelan hiruk pikuk ambilsi pribadi. Spiritualitas yang harus bertumbuh-berkembang-berbuah sesuai napas sekolah tidak ternah bertumbuh-berkembang-berbuah seusai anak dilepas dari sekolah. Haruskah kita lestarikan pendidikan tanpa kepribadian? Model-model pencerdasan-pencerahan-pembudayaan mana yang seharusnya menjadi paradigma baru?
Pertama, proses KBM yang menghargai dan berpusat pada siswa sebagai subjek belajar dengan pendekatan student centered. Kedua, Institusi Pendidikan harus berkemampuan membangun sebuah kesadaran bahwa seluruh komponen kependidikan adalah sesama ciptaan Tuhan, we are not islands, we are not angels as well. Masing-masing (pengelola, guru, siswa) hadir dengan seluruh kelebihan-kekurangan. Ketiga, Institusi Pendidikan yang memprioritaskan pembinaan kemanusiaan: pembinaan humaniora yang integral yang mencakup: aspek intelektual, kepribadian, budaya-tradisi, solidaritas (fungsional-emosional-sosial) dengan bertumpu non scholae sed vitae discimus (sekolah bukan demi angka-angka, tetapi demi kehidupan). Keempat, Institusi Pendidikan harus berkemampuan menjadi sebuah tempat, sebuah home rohani yang membentuk kejiwaan-hati nurani. Kelima, harus memiliki paradigma baru bukan hanya menjadi almamater tetapi ’teman seperjalanan’ para siswa.
Student-centered
Institusi Pendidikan harus menyadari bahwa Tuhan (apapun agama yang dianut) menciptakan manusia dan melengkapinya dengan kuasa, kemampuan, potensi kreatif bersama dengan bakat, talenta, skill. Artinya, setiap siswa telah memiliki potensi-potensi kemanusiaan, daya-daya nalar, kemampuan akal budi, benih-benih iman dan ilmu. Suasana pendampingan, sebagaimana diungkap oleh Carl Rogers, menggunakan metode client-centered counseling atau non-directive counseling.
Lalu, bagaimana Institusi Pendidikan dapat secara kreatif memacu pembinaan yang menaruh rasa hormat pada subjek didik?
Setiap guru, hendaknya, tidak sekadar ’berada bersama siswa’ demi buku rapor ’angka’, tetapi juga pengenalan pribadi mengenai daya tangkap, kepribadian, keunggulan bahkan kelemahan-kelemahan. Artinya, setiap guru harus berkemampuan membuka horizon bina diri dan tumbuh kembang melalui mata ajarnya. Secara keseluruhan Institusi Pendidikan harus berkemampuan membuka peluang berkreasi, berimajinasi, berinovasi: Ciptakan peluang hingga siswa berani berekspresi, berpendapat, berinovasi; Rangsanglah hingga siswa melahirkan ide-ide inovatif, ispiratif: Motivasilah hingga siswa berkemampuan menciptakan, bahkan merebut peluang dan kesempatan.

We are not islands

Buah yang dapat diraih dari pola pendampingan tersebut adalah tumbuhnya rasa percaya diri, harga diri, daya juang, daya tahan/banting, dan visioner. Setiap siswa mengalami dirinya berharga dan berkemampuan. Sekolah menjadi ’home’ sehingga siswa betah, diterima, dan dimanusiawikan. Anak yang dihargai, diterima, dicintai akan berkemampuan menghargai, menerima, dan mencinta teman seperjalanan dan masa depannya.
Bukan budaya eliminasi yang ditkembangkan, melainkan budaya maju bersama. Bukan fanatisme-kelompokisme-elitisme yang dibangun tetapi bersama-sama untuk bersatu dan sama untuk bersendiri-sendiri. Bukan pembinaan yang melahirkan ;penjajah-penjajah baru’, melainkan pejuang-pejuang kemanusiaan, persaudaraan, berbudi luhur, solidaritas, dan bereligi.
Para siswa berhak mendapatkan guru, pendamping yang sungguh patut digugu dan ditiru: baik perkataan maupun perbuatannya. Para siswa berhak mengalami suatu iklim pendidikan bahwa mereka bersaudara di tengah saudara-saudaranya. Iklim pendidikan yang saling membutuhkan, saling melengkapi, saling menyempurnakan. Mereka mengalami berada bersama sesama siswa yang tengah belajar, yang tengah membina diri, yang tengah berproses menemukan jati-diri.

Iklim pendidikan seperti itu akan membentuk sebuah spiritualitas kristiani yang saling menghormati, menghargai, dan menyempurnakan: manusia menjadi sesama satu sama lain, menjadi berkat, menjadi rahmat. Homo homini salus (Manusia menjadi berkat bagi manusia lain), bukannya homo homini lupus (Manusia menjadi serigala bagi manusia lain).



Humaniona

Para pakar pendidikan, khsusnya YB Mangunwijaya (alm), sangat menekankan pentingnya sekolah memperhatikan kebutuhan pertumbuhan humaniora siswa. Sekolah jangan sampai menjadi ’pabrik pencetak intelektual dan akademisi yang tidak berperikemanusiaan, yang tidak berperilaku sosial, bahkan lupa ’bahwa sesamanya juga manusia’.
Bukanlah pengalaman langka bahwa ada banyak anak yang begitu pintar, jenius, ’maha tahu’, ’serba bisa’, ’all round’ akibat padatnya les privat dan berbagai kursus dengan pengajar-pengajar profesional. Mereka sangat pintar, ’gila belajar’, sampai-sampai tidak ada waktu untuk bermain, sehingga hilang waktu tumbuh secara alami dan kodrati. Orang tua banyak terjebak dalam pembunuhan tumbuh kodrati dengan ’ancaman’; menjadi bintang kelas, ’jagoan mafia’. Akibatnya, mereka menjadi ’anak gagu, egois, asosial. Etre pour moi (hidup untuk dirinya sendiri/individualis) tulis Jean Paul Sartre), teman seperjalanan dianggap sebagai saingan yang harus ditaklukkan.
Bagaimana Institusi Pendidikan membangun spiritualitas pelajar kristiani yang sosial, manusiawi?
Kurikulum sekolah memberikan jam khusus untuk bidang humaniora, budi pekerti, dengan kegiatan yang variatif seperti baksos (bakti sosial), ziamal (ziarah dan amal), ziarek (ziarah dan rekreasi) ataupun live-in. Institusi Pendidikan dapat menyewa langan pertanian, di daerah Kuningan, Kabupaten Cirebon, Majalengka tempat siswa mengolah tanah-mengolah hidup. Belajar bercocok tanam: sayuran ataupun palawija.


Spiritual Atmosphere

Institusi Pendidikan perlu menjadi sebuah tempat, sebuah ’home’ rohani, tempat berembusnya sebuah angin segar, angin penuh kesejukan rohani sehingga menjadi pemupuk pertumbuhan kejiwaan para siswa. Suasana yang memperkaya batin-rohani, jiwa murni, kekayaan afeksi. Para ahli psikologi perkembangan berkesimpulan bahwa janin dalam rahim pun akan terpengaruh oleh suasana hati-batin rohani sang ibu. Bahkan, spiritual atmosphere yang diciptakan si calon ibu lewat kidung puji, tembang rohani, dan doa-doa syukur mempengaruhi jiwa-karakter sang anak.

Hebatnya pengaruh-pengaruh non-spiritual hingga ruang paling privacy melalui jaringan internet membius jiwa murni, melumpuhkan nurani, menghancurkan intuisi dan daya hidup. Tayangan-tayangan, juga berita, ketidakadilan, perselingkuhan, perceraian, kemunafikan, korupsi, mau tidak mau, menorehkan tinta merah pada kemurnian jiwa anak manusia yang pada hakikatnya selalu bonum (baik), pulchrum (indah) , sanctum (kudus), verum (benar).
Sebuah sekolah yang serentak perlu membuka diri sebagai sebuah spiritual refreshing, spiritual changer demi penyelamatan jiwa-jiwa, daya hidup, dan daya masa depan. Bukan dengan pembohongan kodrati model sekolah bertaraf internasional yang ujung-ujungnya komersialisasi pendidikan.
Kesempatan hening, saat teduh dengan doa meditatif pada awal hari dengan pembacaan Ayat-ayat Suci yang mencerahkan dan memberdayakan, perlu diciptakan. Taman rohnai yang secara khusus menyediakan buku-buku rohani, audio, dan video casette rohani. Dengan demikian siswa memiliki tempat berteduh dan membina kekuatan pada saat resah-gelisah.
Akhirnya, peran orang tua sangat dibutuhkan. Sebab, waktu anak di luar lingkungan sekolah tidak terbatas. Sedangkan ’tawaran-tawaran yang meluluhlantakan jiwa murni-batin rohani lebih banyak terjadi di luar sekolah’.

Cirebon, 31Oktober2011
JS.Kamdhi
Guru SMASantaMaria1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...