Suatu kenyataan yang tak terbantahkan adalah semua orang menginginkan-mendambakan hidup bahagia. Segala daya-upaya dilakukan demi hidup bahagia. Menyingsingkan lengan-baju- bekerja keras, agar menikmati hidup bahagia. Menerjang rintangan-tantangan-kesulitan-cobaan demi hidup bahagia. Menantang maut pun dijalani demi hidup bahagia.
Bahkan, pergi jauh dengan meninggalkan keluarga, baik menjadi TKI atau TKW, demi meraih hidup bahagia. Sayang, banyak orang salah menaksir dan menafsirkan kebahagiaan. Harta-kekayaan-uang diyakini sebagai sumber kebahagiaan, hingga tindakan melanggar hokum-etika-moral pun dianggap biasa.
Kedudukan-jabatan-kehormatan diyakini menghadirkan kebahagiaan hingga menghalalkan segala cara,, pencintraan yang tidak elegan pun dilakukan. Taksiran-tafsiran yang keliru akan kebahagiaan tidak hanya mendatangkan “aib” bagi pelakunya, tetapi juga menyengsarakan hidup khalayak. Banyaknya gubernur-walikota-bupati yang berstatus terdakwa tidak hanya ‘menjadi aib bagi ‘wilayah kekuasaan tetapi juga membuat “macet” pergumulan hidup dan kehidupan sebagai orang beriman.
Sahabat, pengalaman hidup membuktikan bahwa materi dan kedudukan bukan jaminan hidup bahagia. Bergelimpang materi dan “kekuasaan abadi” bukan jaminan kebahagiaan. Kebahagiaan dan hidup bahagia menjadi milik kita bila kita hidup di jalan Tuhan yang secara tegas dalam kotbah di atas bukit Yesus sampaikan “delapan jalan kebahagiaan”.
Pertama, Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah.
Miskin di hadapan Allah adalah sikap mental dan menjalani hidup dalam “nur ilahi”. Orang yang melihat dirinya seperti setetes air di lautan atau sebutir pasir di pantai bila berhadapan dengan Tuhan. Orang yang mempercayakan seluruh perbumulan dan pergulatan hidup dalam kuasa Tuhan. Orang yang sadar bahwa Tuhan selalu terlibat dan melibatkan dalam hidup dan kehidupannya. Miskin di hadapan Tuhan hanya ada dan berada pada orang-orang menyadari hidup di dunia hanyalah “mampir ngombe”: hanya sekejab.
Kedua, Berbahagialah orang yang berduka cita.
Berduka cita berarti bertenggang rasa. Tenggang rasa mendorong untuk bersolidaritas, untuk bersetia kawan. Orang yang tidak akan “menari-nari” di atas derita-sengsara orang lain, tetapi sekuat tenaga akan berempati: dukamu adalah dukaku, kesengsaraanmu adalah kesengsaraanku. Tegasnya, orang berkemampuan untuk “to be the others” : hidup untuk orang lain.
Ketiga, Berbahagialah orang yang lemah-lembut.
Kelemah lembutan tidak sama ketidakberdayaan. Kelemahlembutan berkait dengan kararter. Berpijak pada watak-tabiat-cara hidup. Orang yang lemah-lembut adalah orang-orang yang mau dan mampu menjadikan orang lain lebih berharga, lebih utama, lebih penting. Orang yang lemah lembut adalah orang yang mampu mengakui-menghargai-menerima orang lain seperti apa adanya tanpa membuat sekat-sekat hidup.
Keempat, Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran.
Hidup dengan benar adalah tugas dan panggilan Tuhan. Hidup dengan benar adalah wujud keikutsertaan manusia menciptakan habitus baru: hidup dalam kebenaran Tuhan. Hidup benar tidak akan menjadikan orang lihai berdusta. Hidup benar tidak akan mencerdaskan orang untuk berbohong. Hidup dengan benar tidak akan menorong orang untuk “lihai” memutarbalikkan fakta. Orang benar selalu berkata dengan benar, berpikir dengan benar, merasa dengan benar, dan berbuat dengan benar.
Kelima, Berbahagialah orang yang suci hatinya.
Orang yang suci hatinya adalah orang-orang tulus-ikhlas-tanpa pamrih. Orang yang suci hatinya selalu ‘eling lan waspada”; ingat dan bijaksana. Sebelum berkata-berbuat selalu memperhitungkan benar-salah, baik-buruk, pantas-tidak pantas. Orang yang suci hatinya bukanlah orang-orang “yang haus dan lapar” kedudukan dan citra diri. Tegasnya, orang yang suci hatinya adalah orang-orang hidup dengan hanya mengandalkan Tuhan. Orang yang percaya Tuhan telah “menyediakan tepat waktu apa yang terbaik dalam hidupnya.”
Keenam, Berbahagialah orang yang murah hatinya.
Orang yang murah hati adalah orang-orang yang “cerdas mengampuni”. Orang yang membangun hidupnya dalam kasih persaudaraan. Orang yang tidak menyimpan dendam. Orang yang tidak mengingat-ingat kesalahan orang lain. Orang yang selalu berkata “sing wis, wis: yang sudah, sudah”. Orang yang murah hati tidak terbelenggu dan membelenggu dirinya dengan “mengingat serta mengungkit kesalahan orang lain”.
Ketujuh, Berbahagialah orang yang membawa damai.
Pembawa damai adalah orang-orang yang tidak merekayasa peristiwa. Pembawa damai adalah orang yang berkemampuan memberdayakan dan menyejahterakan orang lain tanpa tebang pilih. Pembawa damai adalah orang yang berkemampuan”mengayomi” yang lemah-menderita-tersingkir. Pembawa damai adalah orang-orang yang cerdas mengurai masalah secara tepat-akurat tanpa tebang pilih.
Kedelapan. Berbahagialah kamu jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan yang jahat. Risiko hidup sebagai “hamba Tuhan”: orang yang selalu bergumul dalam jalan Tuhan akan menemukan “onak duri”: celaan-hinaan-aniaya-fitnah. Hidup bahagia, dengan berjalan di jalan Tuhan, secara kasat mata selalu controversial: sok suci-moralis. Tidak heran bila dianggap “orang aneh” atau malah “orang yang tidak waras-gila” dalam pandangan duniawi. Namun, harus kita sadari bahwa kini-sini justru dibutuhkan “orang-orang yang tidak waras”. Dibutuhkan “orang-orang gila” yang tulus-ikhlas memberikan diri demi hidup bahagia sesamanya.
Sahabat, semua orang ingin hidup bahagia. Haruskah kita mengejar kebahagiaan semu dengan penuh dusta dan kebohongan? Atau, kita hidup bahagia dengan ada dan berada dalam delapan sabda bahagia meski berisiko sebagai “orang yang tidak waras-gila” di mata orang-orang tidak ber-Tuhan? Dibutuhkan disposisi, dibutuhkan sikap, dan dibutuhkan iman untuk memilih yang tepat…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar