“Yesus
berkeliling ke semua kota dan desa. Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadah dan
mewartakan kabar gembira. Ia pun menyembuhkan banyak orang. Kepada para murid,
Ia bersabda, “Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit. Karena itu, mintalah
kepada Tuhan yang empunya tuaian agar banyak penuai yang Ia panggil,”
Matius 9: 35-38).
Bukan rahasia lagi, bila anak menjadi tempat sampah. Sikap kasar dan
tidak bersahabat sering anak terima dari orangtua mereka. Selain itu, selalu
saja anak dibandingkan dengan kerabatnya, temannya atau saudaranya. Barangkali
sang anak diam membisu, tapi semuanya terekam dalam jiwa, pikiran dan hati,
menjadi si anak malang yang kehilangan harga diri dan kepercayaan diri.
“Mengapa kamu tidak dapat memperoleh nilai yang lebih bagus? Contohlah kakakmu
itu, tidak ada satu pun yang bernilai jelek. Atau lihat anak tante, selalu
memperoleh nilai bagus. Juga, teman-teman sekelasmu Badu, Otong,
Iyah, Ijah selalu meraih nilai sempurna. Sedang kamu nilai tujuh pun tidak
pernah kamu peroleh. Dasar pemalas! Pekerjaan hanya nonton teve-teve-teve… HP
HP HP...”
Kata-kata yang berkonotasi membunuh
karakter tersebut terjadi setiap saat, tidak hanya di kota besar, bahkan telah
merambah ke pesisir, pedesaan, pegunungan. Kata-kata yang membuat anak
kehilangan nilai yang Tuhan telah tempatkan dalam hati, jiwa, nurani anak.
Celakanya, pernyataan tersebut tidak hanya diucap sekali, saat si anak malang
tidak berprestasi tetapi terus-menerus diulang setiap si anak malang membuat
orang tua tidak berkenan. Celakanya, orang tua tidak pernah ingat bagaimana
mereka merekam kejadian-peristiwa yang mereka alami seusia si anak malang.
Celakanya, orang tua telah menggali lubang yang sangat lebar untuk anak buah
hatinya sendiri. Ingatlah jika kita tidak menyadari terus mengulang dan
mengungkit kesalahan si anak malang, kita sedang menghancurkan masa depan
mereka.
Bahkan, di tengah pandemi Corona,
anak yang duduk di kelas 1 SD itu tengah mengikuti pembelajaran jarak
jauh, meninggal di tangan ayah-ibunya, disiksa yang berujung nyawa melayang.
Tahukah kita bahwa Tuhan akan meminta pertanggungjawaban begitu ‘si anak
malang” bermasa depan suram? Mengertikah kita bahwa dengan terus mengulang dan
mengungkit kesalahan, kita sendiri telah menghancurkan tujuan hidup anak-anak
kita. Pernahkah kita berpikir bahwa si anak malang akan membuat konsep sendiri
tentang Tuhan Yang Mahakasih?
Jika ayah mereka kasar, pilih kasih, tidak berperhatian, si anak malang pun akan
memiliki konsep menyimpang akan Tuhan. Jika sebaliknya, si anak akan
menempatkan Tuhan sebagaimana si anak menghormat, menyayangi, menaati ayahnya.
Kini, Tuhan pun sedang berkeliling ke seluruh pelosok dunia untuk menyapa
orang tua agar menjadi penuai. Artinya, Tuhan membisikkan kata mesra untuk
semua orang agar melaksanakan tugas dan panggilannya bekerja di ladang Tuhan.
Tuhan terus berkeliling ke seluruh pelosok dunia agar orang tua lebih arif,
bijaksana, tulus, ikhlas, penuh kasih, sabar membawa anak pada Tuhan dan
mendekatkan Tuhan dalam hidup anak.
Hidup dengan menyemai kasih berarti selalu menempatkan Tuhan dalam proses
membangun keluarga bahagia. Artinya, menjadi orang tua yang bertanggung jawab
akan masa depan si buah kasih.
Sebab, mencerahkan dan memberdayakan si buah kasih adalah prioritas utama sebuah pilihan hidup berkeluarga. Bukan sebaliknya, tiada waktu untuk berproses dengan si buah kasih karena sibuk, sibuk, sibuk mengumpulkan harta yang fana.
Inilah pilihan hidup sejati dan inilah pergumulan hidup yang Tuhan kehendaki: berproses bersama si buah hati...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar