Senin, 15 Maret 2021

REFLEKSI 57 SI BUAH HATI

Yesus berkeliling ke semua kota dan desa. Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadah dan mewartakan kabar gembira. Ia pun menyembuhkan banyak orang. Kepada para murid, Ia bersabda, “Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit. Karena itu, mintalah kepada Tuhan yang empunya tuaian agar banyak penuai yang Ia panggil,” Matius 9: 35-38).

Bukan rahasia lagi, bila anak menjadi tempat sampah. Sikap kasar dan tidak bersahabat sering anak terima dari orangtua mereka. Selain itu, selalu saja anak dibandingkan dengan kerabatnya, temannya atau saudaranya. Barangkali sang anak diam membisu, tapi semuanya terekam dalam jiwa, pikiran dan hati, menjadi si anak malang yang kehilangan harga diri dan kepercayaan diri.

“Mengapa kamu tidak dapat memperoleh nilai yang lebih bagus? Contohlah kakakmu itu, tidak ada satu pun yang bernilai jelek. Atau lihat anak tante, selalu memperoleh nilai bagus. Juga, teman-teman sekelasmu Badu, Otong, Iyah, Ijah selalu meraih nilai sempurna. Sedang kamu nilai tujuh pun tidak pernah kamu peroleh. Dasar pemalas! Pekerjaan hanya nonton teve-teve-teve… HP HP HP...”

 


Kata-kata yang berkonotasi membunuh karakter tersebut terjadi setiap saat, tidak hanya di kota besar, bahkan telah merambah ke pesisir, pedesaan, pegunungan. Kata-kata yang membuat anak kehilangan nilai yang Tuhan telah tempatkan dalam hati, jiwa, nurani anak.

Celakanya, pernyataan tersebut tidak hanya diucap sekali, saat si anak malang tidak berprestasi tetapi terus-menerus diulang setiap si anak malang membuat orang tua tidak berkenan. Celakanya, orang tua tidak pernah ingat bagaimana mereka merekam kejadian-peristiwa yang mereka alami seusia si anak malang.

Celakanya, orang tua telah menggali lubang yang sangat lebar untuk anak buah hatinya sendiri. Ingatlah jika kita tidak menyadari terus mengulang dan mengungkit kesalahan si anak malang, kita sedang menghancurkan masa depan mereka.


Bahkan, di
tengah pandemi Corona,  anak yang duduk di kelas 1 SD itu tengah mengikuti pembelajaran jarak jauh, meninggal di tangan ayah-ibunya, disiksa yang berujung nyawa melayang.


Tahukah kita bahwa Tuhan akan meminta pertanggungjawaban begitu ‘si anak malang” bermasa depan suram? Mengertikah kita bahwa dengan terus mengulang dan mengungkit kesalahan, kita sendiri telah menghancurkan tujuan hidup anak-anak kita. Pernahkah kita berpikir bahwa si anak malang akan membuat konsep sendiri tentang Tuhan Yang Mahakasih?

Jika ayah mereka kasar, pilih kasih,  tidak berperhatian, si anak malang pun akan memiliki konsep menyimpang akan Tuhan. Jika sebaliknya,  si anak akan menempatkan Tuhan sebagaimana si anak menghormat, menyayangi, menaati ayahnya.

Kini, Tuhan pun sedang berkeliling ke seluruh pelosok dunia untuk menyapa orang tua agar menjadi penuai. Artinya, Tuhan membisikkan kata mesra untuk semua orang agar melaksanakan tugas dan panggilannya bekerja di ladang Tuhan. Tuhan terus berkeliling ke seluruh pelosok dunia agar orang tua lebih arif, bijaksana, tulus, ikhlas, penuh kasih, sabar membawa anak pada Tuhan dan mendekatkan Tuhan dalam hidup anak.

Hidup dengan menyemai kasih berarti selalu menempatkan Tuhan dalam proses membangun keluarga bahagia. Artinya, menjadi orang tua yang bertanggung jawab akan masa depan si buah kasih.

 

Sebab, mencerahkan dan memberdayakan si buah kasih adalah prioritas utama sebuah pilihan hidup berkeluarga. Bukan sebaliknya, tiada waktu untuk berproses dengan si buah kasih karena sibuk, sibuk, sibuk mengumpulkan harta yang fana.

 

Inilah pilihan hidup sejati dan inilah pergumulan hidup yang Tuhan kehendaki: berproses bersama si buah hati...

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...