Minggu, 14 Maret 2021

REFLEKSI : 48 BELAJAR PADA EMBUN

embun pagi membasahi bumi

membasahi kaki

membasahi hati

membasahi jiwa murni

menyuburkan hidup berbagi

tenang dan bercahaya

bila diterpa sinar mentari

embung membumbung tinggi menjadi awan

bintik-bintik hujan

demi kesuburan dan kemakmuran

Homo homini salus:

menjadi barkah bagi bumi

Embun terbentuk ketika udara yang berada di dekat permukaan benda menjadi dingin mendekati titik dimana udara tidak dapat lagi menahan semua uap air. Kelebihan uap air itu kemudian berubah menjadi embun dan melekat di atas benda-benda yang dilewatinya.

Semoga kita bisa bersifat seperti embun, tenang dan bercahaya bila diterpa sinar, dan enggan dg suasana panas disekelilingnya. Dan bila hal itu harus terjadi maka embun akan membumbung tinggi menjadi awan. Dan sesungguhnya embun fitrahnya turun kebumi utk berbuat demi kesuburan dan kemakmuran.

Embun pagi tak pernah memilih di mana dirinya akan terbentuk. Embun pagi pun tak pernah memilih pada dedaunan mana akan berpijak. Embun itu begitu sederhana, tak berwana, dan dapat berubah bentuk sesuai apa yang dilaluinya. Itulah yang membuat dedaunan begitu menyukainya.

Bisakah kita belajar dari sebuah embun? Belajar untuk bisa menerima dengan sukacita dimanapun Tuhan menempatkan kita. Juga bisa hidup sederhana tanpa diselimuti dengan kebohongan belaka. Tentunya Tuhan menyukai hati kita yang sederhana namun kaya akan kasih.

Embun pagi pun tak pernah memilih pada dedaunan mana akan berpijak. Embun itu begitu sederhana, tak berwana, dan dapat berubah bentuk sesuai apa yang dilaluinya. Itulah yang membuat dedaunan begitu menyukainya.

Bisakah kita belajar dari sebuah embun? Belajar untuk bisa menerima dengan sukacita dimanapun Tuhan menempatkan kita. Juga bisa hidup sederhana tanpa diselimuti dengan kebohongan belaka. Tentunya Tuhan menyukai hati kita yang sederhana namun kaya akan kasih.

Kita belajar untuk bisa memberikan kesejukan dan kehidupan bagi hati yang gersang. Belajar untuk bisa menempatkan diri kita dengan baik ketika sedang berada di lingkungan sekitar agar kehadiran kita tidak menyakiti orang lain.

Tidak perlu menjadi pribadi lain untuk bisa memikat hati Tuhan. Menjadi diri sendiri dan datang kepada Tuhan apa adanya. Tuhan tidak pernah mencari apa yang kita miliki selama di dunia, Ia hanya mencari hati kita.

Sudahkah hati kita sejernih embun?

Mampukah kita hidup semurni embun pagi di tengah kehidupan yang dikuasai Homo homini lupus, "Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya”? Mampukan kita menjadi embun di tengah-tengah mindset “kekuasaan sebagai panglima”: HOMO HOMINI LUPUS, sehingga yang tidak sepaham, segaris juga harus dihancurkan?

Sebagai perlawanan kit harus menghidupi dan menghidupkan Homo Homini Socius : manusia adalah teman bagi sesamanya.

Lalu apakah benar teori (Homo Homini Lupus) yang berbunyi : "manusia adalah serigala bagi manusia lainnya". Secara logika jika ada Winner maka akan ada Losser di dalam sebuah kompetisi alamiah ini.

Terlepas seorang winner melakukan cara yang licik atau seorang losser kalah karena menggunakan cara yang baik. Kalimat homo homini salus berarti manusia harus menjadi penyelamat bagi manusia lain.

Saat Yesus telah memberikan keselamatan pada kita dengan kasih dan pengorbanan-Nya, kita pun dipanggil untuk membagi kasih dan mendatangkan kebaikan bagi sesama. Di tengah hutan rimba perkotaan ini, di saat banyak orang memilih untuk saling sikut dan saling terkam, anak-anak Allah diundang untuk menjadi cahaya hangat dalam pengampunan dan perbuatan baik.

Di tengah banyak orang memilih untuk menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus), anak-anak-Nya diundang membawa kelembutan kasih-Nya. Salah satu gagasan atau ajaran pokok

Salus, berasal dari bahasa latin, berarti "keamanan", "keselamatan", "kesejahteraan". Kita percaya bahwa Yesus mati untuk menyingkirkan dosa manusia.


(1 Petrus 3: 18)

Tapi, sekadar percaya bahwa Yesus itu penyelamat tidak cukup untuk membuat kita bisa diselamatkan.

Berserah, berpikiran, dan berperasaan pada Kristus, kita tidak akan mengalami kebinasaan, melainkan beroleh jaminan hidup yang kekal (Yohanes 3:16, Fil: 2: 5-6).

Dosalah yang membuat manusia hidup terpisah dan jauh dari Bapa; dosalah yang membuat manusia berada di dalam kebinasaan kekal; dosalah yang membuat manusia hidup dalam kutuk. Karya pengorbanan Kristus ini mendekatkan kita dengan Bapa, bahkan kita yang percaya dalam nama-Nya diberi kuasa untuk menjadi anak-anak-Nya

Tugas kita sekarang adalah mengerjakan keselamatan yang telah kita terima ini dengan takut dan gentar (Filipi 2:12).

Ini adalah proses yang harus kita kerjakan seumur hidup kita, karena keselamatan yang kita terima bisa hilang bila kita tidak secara konsisten hidup di jalan Tuhan.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

REFLEKSI : 104 PAHLAWAN NASIONAL ROBERT WOLTER MONGISIDI

Robert dilahirkan di Malalayang< Manado,   anak ke-4 dari Petrus Mongisidi dan Lina Suawa,   14 Februari 1925. Panggilan akrab Robert...