Pernah memperhatikan pohon pisang? Barangkali lepas dari perhatian kita. Meski, kita sering mengonsumsi, namun toh kita jarang memperhatikan.
Padalah, pohon pisang luar biasa. Betapa tidak? Di satu pihak, seluruh bagian pohon pisang memiiki nilai tinggi: batang, daun, pelepah, buah.DI sisi lain, ada keutamaan hidup terbentang.
Pertama, pohon pisang memiliki daya hidup yang luar biasa. Memiliki daya juang dan pantang menyerah sebelum berbakti pada bumi pertiwi. Pagi ditebas, sore bertunas. Sore ditebas, pagi bertunas. Demikian seterusnya. Seribu kali ditebas, seribu kali pun bertunas. Hingga, menghasilkan buah.
Kedua, pohon pisang memberi contoh proses kaderisasi. Pelepah tua akan surut langkah begitu pelepah muda bertumbuh. Ada kerelaan berbagi peran. Ada solidaritas. Ada kepercayaan-penghargaan pada pelepah muda. Begitu seterusnya hingga pohon bertambah tinggi dan berbuah.
Dalam realitas hidup keutamaan hidup ‘pohon pisang’ daya hidup dan kaderisasi jauh dari pergumulan dan pergulatan hidup kita. Sering dan terus terjadi kita takut tampil apa adanya, maka kita mengenakan topeng-topeng kehidupan.
Agar dianggap dermawan kita mengenakan ‘topeng sinterklas’. Agar dibilang suci kita mengenakan ‘topeng bunda Theresa’. Agar dibilang pembela kaum tertindas-tertinggal-kaum papa kita gunakan ‘topeng Yesus’.
Demikian seterusnya hingga kita tampil dengan seribu wajah. Sayang, seribu wajah kepura-puraan, kini-sini, menjadi ‘trend’ kehidupan. Seribu wajah kepura-puraan menguasai semua segmen kehidupan. Bergerak serentak dari seluruh lapisan hingga keramahtamahan yang mencirikhaskan masyarakat-bangsa-negara dilestarikan dalam seribu wajah.
Keutamaan ‘pohon pisang’ kaderisasi pun jauh dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Anak-anak muda kurang diberi tempat. Dianggap tidak dapat melakukan apapun.
Ditempatkan sebagai pihak yang lemah, pihak yang tidak dapat dipercaya, tidak dapat diandalkan. Ada ketidakikhlasan menyerahkan estafet pergumulan-pergulatan hidup.
Implikasi ketidakadanya kaderisasi proses bermayarakat, berbangsa, bernegara terhenti. Tidak ada perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan. Tidak ada pencerdasan, tidak ada pecerahan, tidak ada penyejahteraan.
“Siapakah orang yang menyukai hidup, yang mengingini umur panjang untuk menikmati yang baik? Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu, jauhilah yang jahat, lakukanlah yang baik, carilah perdamaian, dan berusahalah mendapatkannya.
Mata Tuhan tertuju kepada orang yang benar, dan telinga-Nya kepada teriak minta tolong. Wajah Tuhan menentang orang yang berbuat jahat, untuk melenyapkan mereka dari muka bumi. Apabila orang benar berseru-seru, maka Tuhan mendengar, dan melepaskannya dari kesesakan.
Tuhan itu dekat, kepada orang yang patah hati, dan Tuhan menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” (Mazmur 34:13-19), selayaknya menjadi pijakan hidup. Mazmur Daud mengajak kita agar cerdas melakukan yang baik, mencari perdamaian, berjuang menemukan kebaikan sebagaimana ‘keutamaan pohon pisang’.
Sudahkah, Mata Tuhan tertuju kepada orang yang benar, dan telinga-Nya kepada teriak minta tolong. Wajah Tuhan menentang orang yang berbuat jahat, untuk melenyapkan mereka dari muka bumi. Apabila orang benar berseru-seru, maka Tuhan mendengar, dan melepaskannya dari kesesakan. Tuhan itu dekat, kepada orang yang patah hati, dan Tuhan menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya” menjadi tiang-tiang penyangga pergulatan-pergumulan hidup kita. Kita menjalani hidup dengan lurus hati, dengan ikhlas, dengan penuh penyerahan pada penyelenggaraan ilahi.
Sahabat, kita harus berjuang untuk hidup benar-suci-baik-mulia. Yesus mempertegas dengan bersabda, “Angkatan ini adalah angkatan yang jahat. Mereka menghendaki suatu tanda, tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda Nabi Yunus,” (Lukas 11; 29)
Kita dikuatkan-dicerahkan akan jalan kebaikan-kebenaran-kesucian untuk berubah. Sebab, apapun bentuk kejahatan hanya dapat dilenyapkan dengan kebaikan-kebenaran-kesucian …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar